PELAJARAN NYATA DALAM KEPENYAIRAN MAYA
Dalam era internetisasi ini semua menjadi serba instant
dan mudah sekali kita mendapatkannya.
Tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak—cukup dengan membayar paket data kita
dapat menikmati dunia secara gratis. Untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan pun
kita cukup dengan satu kali klik sudah dapat menjangkau seluruh dunia. Seolah
segalanya telah menjadi milik kita. Apa yang kita mau seolah kita menggenggam
semuanya.
Hal ini tentu juga mempengaruhi dunia kepenyairan. Sebab terlalu mudahnya kita berkomunikasi lewat dunia internet, mengembangkan karya lewat dunia internet, telah muncul beberapa bahkan banyak manusia-manusia yang berbakat dalam dunia sastra.Memajang dan berargumentasi tentang karyanya. Bahkan mereka juga mendirikan sebuah kelompok atau komunitas-komunitas sastra. Komunitas-komunitas ini semakin lama semakin banyak layaknya laron musim penghujan.
Diantara sekian banyaknya komunitas yang berdiri di dunia maya ini ada sebagian yang memang diolah secara khusus oleh ahli sehingga menjadi tempat belajar yang menyenangkan bagi pemula-pemula yang betul-betul ingin belajar dan bisa menapakkan kakinya di dunia nyata. Namun untuk “menjadi” itu tidak akan mudah, akan banyak tantangan dan rintangan yang pasti dihadapi. Lalu apakah tantangan dan rintangan yang kita hadapi itu jugamudah meskipun di dunia yang serba mudah dan serba bisa? Jawabannya tentu “tidak!” sebab yang bernama tantangan dan rintangan (khusus bagi yang serius) tidak akan pernah habis.
Sebagian orang yang hanya beranggapan bahwa dunia maya ini mudah, mereka akan cepat frustasi jika apa yang mereka inginkan tidak tercapai. Bahkan ada yang lebih gila lagi yaitu menunjukkan ketidak puasan secara berlebihan dan menjatuhkan lawan maya dengan cara menyebar “fitnah” atau berganti-ganti wajah agar tidak dikenali atau dengan seenaknya mengumbar kata dari kebun binatang sampai neraka jahanam pun dikeluarkan.
Namun karena dunia maya memang hanya selebar imaji dan serba mudah, maka apapun usaha yang dilakukan akan ketahuan dengan mudah juga. Ya ibaratnya sepandai-pandainya membungkus bangkai pasti akan tercium juga baunya. Tulisan tidak akan pernah bisa mennutupi sifat asli dari seseorang yang menuliskannya. Kata-kata adalah pikiran dan hati seseorang yang menuliskan. Kata-kata yang tertulis adalah cermin dari keseharian di dunia nyata. Bahkan dunia maya ini aan bisa menampakkan wujud asli dari orang yang mengendalikanya, sebab pikiranlah yang mendominasi kerja dunia maya.
Kembali kepada persoalan kepenyairan, puisi atau karya penyair adalah wujud dari paduan pikiran, hati dan kemauan yang dilandasi oleh seni. Sudah tentu dalam hal ini puisi adalah kata-kata perwakilan hati yang ingin disuarakan oleh seorang penyair tersebut. Si penyair ingin orang lain tahu apa yang dimaunya, namun karena di sini mengacu seni, maka akan ada teknik yang digunakan seorang untuk meyampaikannya melalui unsur seni dan caranya tersendiri. Penyair akan memadupadatkan kata-kata agar tercipta sebuah karya sederhana, unik dan padat, namun memiliki keindahan dan menjangkau pengertian luas. Namun hal ini, tidak ditemukan dalam kepenyairan maya, sebab dalam dunia maya yang ada hanya imajinasi mudah dan indah. Sehingga jiwa-jiwa akan memberontak jika mereka tidak menemukan kemudahan dan keindahan seperti angannya.
Kekecewaan yang ada dalam benak akan keluar lewat tulisan juga, terpampang di mana-mana, mengumpat dan menyumpah-serapahi teman-temannya seperti api yang menjilat dan melahap daun kering.Tak pelak menimbulkan kontra dan perseteruan. Lalu pergi meninggalkan lubang di dada dan kembali dengan wajah baru bertopengkan entah apa namanya. Inilah yang membawa mereka sehingga mendapatkan julukan penyair maya(t). Berkeliaran kesana-kemari tanpa punya matahati.
Tak pelak juga kita akan keracunan kata “sombong” atau “arogan” sehingga kita menjadi lupa diri, lupa kawan nahkan lupa daratan. Tidak bisa disalahkan tapi gampang menyalahka seolah kita yang paling benar. Tidak mau menerima nasihat tapi sok jadi penasihat. Tidak mau masukan atau kritikan tapi sok jadi kritikus. Padahal apa yang kita dapat di dunia maya itu berasal dari dunia nyata yang mereka bermurah hati untuk berbagi dengan kita.
Menilik pertikaian-pertikaian dan kesombongan yang terjadi di dunia maya ini, seorang penyair dari Bali yang biasa saya panggil Bli—Widya Sudyatmika, melukiskan perasaannya dalam sebuah puisi yang terkesan agak aneh—sememangnya Widya adalah penyair yang aneh menurut saya. Kegelapan diksi selalu memenuhi puisinya sehingga tampak sulit untuk dijelajahi. Pilihan kata yang selalu berbeda, suka semaunya sendiri dan lain dari yang lain adalah gaya puisi Widya. Kali ini Widya menuangkan kekesalan, kesakitan dan kemarahan bahkan keharuan dalam puisinya.
Raj A Rogan
Aku meludah
api
jalan tangis
terbakar
menyimpan
bara di dada
maka aku
meludah api
jari tetap
lengket dengan minyak
tapi tak
terbakar
maka api
ludah
tak kubuang
dengan tangan
atau jabat
harapan
Aku meludah
api
meski deras
hujan mata
menatap
derita memupuk
bisa tahan
nondiri
jadi ini
sakit
ciri ini
ludahku
penanda
lahan kaki
penopang
linglung peraduan
yang lambat
hati tiada lepuh
Aku meludah
api
kemana saja
tak ada
amati
di situ raga
meledak
menahan
sekumpulan kelenjar
yang enggan
berkasih
dengan
tangan
apalagi
jemari
Aku meludah
api
kebiasaanku
sakitku
Maya tanpa
T,23/8/2012
Seperti yang
saya katakan sebelumnya, Widya memang selalu aneh, judul puisi ini dia buat
aneh sehingga mirip dengan nama-nama Hindustan (India). Tetapi sebenarnya ini
adalah bahasa Indonesia asli, yaitu RAJA dan AROGAN. Raja mempunyai kekuasaan
dan arogan adalah sifat yang paling berkuasa atau pongah, di sini mempunyai
hubungan yang kuat dalam hal menentukan atau menjatuhkan sesuatu yang bisa
mempengaruhi orang lain atau publik. Namun arogan justru membuat kita sendiri
yang terjatuh terjatuh. Namun dalam judul puisi ini, saya katakan kurang sampai
meskipun dari segi lain ada kreatifitas yang bisa dikembangkan. Tapi sampai
atau tidak sampai kepada pembaca iu adalah masalah si pembaca sendiri untuk
menggali kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Menilik bait
dan lariknya puisi ini mempunyai keunikan, seperti frase-frase patah tapi
saling berhubungan. pada bait pertama dan kedua, entah apakah ini satu bait
yang sebenarnya atau memang menjadi dua bait, sebab dalam bait selanjutnya
selalu diawali dengan kata “Aku meludah
api”.(Aku meludah api/jalan tangis
terbakar/menyimpan bara di dada/maka aku meludah api//jari tetap lengket dengan
minyak/tapi tak terbakar/maka api ludah/tak kubuang dengan tangan/atau jabat
harapan. Metafora api adalah simbol dari semangat dan kemarahan, tetapi
jika harus mengartikan dengan semangat, maka akan menyimpang jauh dari judul
juga kata yang sebelumnya. Api di sini menunjukan kemarahan dan kemuakan si aku
lirik dalam menghadapi sesuatu yang terjadi dalam hidupnya atau menghadapi
perilaku seseorang yang di sebutnya sebagai “raja” dalam judul. Api bisa juga
simbol dari kata-kata pedas dan tajam dari aku lirik.
Mungkin saat
itu hal yang dirasakan aku lirik telah mencapai puncak kerawanan sehingga apa
yang ada hanyalah seperti api, panas dan
mudah hangus terbakar, kebencian dan saling menjatuhkan. Tiada lagi kesedihan,
kasih sayang dan penghargaan juga penghormatan terhadap sesama. Sehingga mau
tidak mau si aku lirik harus melontarkan kata-kata yang bisa membakar atau
membahayakan atau menyulut pertikaian.
Dan satu
pesan yang dapat saya petik dari sini adalah jika emosi dan arogansi menyatu
dalam benak kita maka pintu maaf dan harapan tidak lagi terbuka, baik di dunia
nyata maupun dunia maya, Arogansi atau kesombongan adalah petaka yang harus
disingkirkan cepar-cepat.
Lalu
menyusul bait ketiga, Aku meludah api/meski deras hujan mata/menatap
derita memupuk/bisa tahan nondiri/jadi ini sakit/ciri ini ludahku/penanda lahan
kaki/penopang linglung peraduan/yang lambat hati tiada lepuh// . Kembali
setelah aku lirik melepaskan emosinya, sekarang Widya menggambarkan aku lirik
meratapi penderitaan yang mendalam tapi
siapa pun tidak ada yang peduli. Dan memang dalam dunia maya tidak akan
pernah ada yang benar-benar peduli meskipun kita menjerit, mereka hanya akan
menertawakan kita. Sebab memang dunia maya adalah tempat mencari hiburan atau
kesenangan. Lalu jika mereka menemui hambatan, hal yang dilakukan adalah
mengumpat dan menyumpah, tanpa peduli dengan hal itu banyak yang terluka. Tentu
karena kesombongan maka manusia tanpa pernah bisa berpikir tentang sesama, seolah
hanya ada diri mereka sendiri di dunia ini.
Lalu bait
keempat dari puisi ini, Aku meludah api/kemana saja/tak ada amati/di
situ raga/meledak/menahan sekumpulan kelenjar/yang enggan berkasih/dengan
tangan
apalagi
jemari//. Dalam bait ini Widya menggambarkan bahwa aku lirik melakukan
pencarian peleraian dari kemarahan namun karena kesombongan dan keangkuhan aku
lirik tidak menemukan apa-apa, masih tetap sama tidak ada yang mau peduli
terhadap apa yang dia lakukan. Merupakan sebuah pelajaran, jika kita sombong
maka apapun yang kita lakukan tidak berguna di mata orang lain.
Sebagai bait
penutup Widya menuliskan, Aku meludah api/kebiasaanku/sakitku//. Penjelasan
tiga larik ini sungguh unik, Widya menggambarkan bahwa melontarkan kata-kata pedas
atau sejenisnya merupakan kebiasaan aku lirik sekaligus kesakitannya atau
ketidakpuasannya.
Dengan
penjelasannya saya mengenai puisi ini dan pendahuluan mungkin seperti tidak ada
kaitan namun dengan penanda akhit (Maya Tanpa T, 23 Agustus 2012) kita bisa
mengambil kesimpulan, puisi ini dituliskan Widya untuk mengkritisi
ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di dunia kepenyairan maya yang selalu
penuh dinamika, penuh kesombongan, ingin diakui sebagai penyair, namun kita
belum bisa mengukur baju yang sesuai dengan tubuh kita sendiri.
Sebagai
pelajaran yang mendasar yaitu kita harus bisa menjauhkan diri dari sifat arogan
(sombong) sebab sifat ini akan menghancurkan kita sendiri. Kita harus bisa
menerima masukan dan menyaring apa yang baik kita simpan dan membuang apa yang buruk
atau tidak baik. Kesakitan dalam proses dan progress adalah syarat kita menjadi
penyair sejati, jangan mudah patah hati, sepahit apapun kritik adalah pupuk
yang baik guna kesuburan dunia kata-kata. Dalam kancah kepenyairan nyata lebih
kejam dan sengit lagi penyeleksiannya. Semua orang bisa menulis dan membaca
tapi tidak semua orang bisa menjadi penyair atau pujangga. Kenyataan yang harus
bisa kita terima.
Puisi ini
baik sebagai pelajaran bagi yang bisa mengambil hikmahnya, singkat dan padat,
punya alur dan gambar kreatifitas yang tinggi. Namun tidak ada gading yang tak
retak, karena kepekatannya mungkin tidak semua mengerti, bahkan saya juga tidak
mengerti sama sekali arah mana yang dituju. Punya alur namun alur yang diusung
samar-samar sehingga kelihatan semua penuh ketegangan dari bait ke bait. Juga
pemenggalan kata yang “semau gue”, membuat saya kebingungan membacanya sehingga
yang ada dalam puisi ini adalah keangkuhan, namun memang berhasil “angkuh”-nya
sebab judulnya ada “RAJA AROGAN”.
Akhir kata mari
berjabat tangan menuju kancah kepenyairan yang sebenar.
luluk, 24
Agustus 2012