KESAKSIAN LAMPU NEON DAN TONG SAMPAH
DI POJOK VICTORIA PARK
Seperti biasa, bila hari Minggu tiba, saya dan temanteman
satu markas berkumpul dan lesehan untuk menggelar buku di bawah jembatan layang
sebelah kiri Victoria Park, Causeway Bay, Hong Kong. Ini adalah rutinitas kami
sebagai Buruh Migran Indonesia di hari libur.
Pagi hari ini pun kami memulai aktifitas yang sama. Dari
membongkar buku yang dipinjamkan kepada temanteman seperantauan yang mempunyai
hobi membaca sampai ngobrol ngalor ngidul seputar karya dan buku yang baru kami
terbitkan.
Di tengah kesibukan masingmasing, ada seorang teman anggota
markas, sebut saja namanya Lia, mencoba mengajak saya ngobrol.
"Luk, saya sudah putus dengan si Agung," Lia
berkata dengan cepat sehingga membuat saya tersentak. Saya amati saja wajahnya,
tidak ada sebentuk kesedihan di sana, yang ada justru wajah sumringah penuh
senyum.
"Kenapa Mbak?" tanyaku purapura bego. Padahal
seingat saya, dulu Lia bilang bahwa Lia dan Agung mau mengadakan antologi
bersama untuk mengabadikan hubungan mereka.
"Tidak ada apaapa, putus ya putus," jawab Lia
sambil tertawa. "Tetapi sekarang saya sudah menemukan pengganti yang
super, dia lebih ganteng, lebih mengerti agama, pokoknya super deh. Dan saya
merasa nyaman bersandar di dadanya."
Jleb... jantung ini seakan melompat, semudah itukah cinta,
ketika yang satu putus, yang lain dengan mudah menggantikannya. Saya
terbengongbengong.
"Siapa sih Mbak si pengganti itu? Kelihatannya wah
banget."
"Pokoknya nanti kamu akan tahu, biasa dech, kubuat kamu
penasaran, Luk."
Hari semakin panas, tidak ada waktu dan tempat di otak untuk
memikirkan orang lain, saya memilih untuk cuek bebek dan tidak peduli. Dengan kepercayaan diri, saya mencoba membuka
laptop yang sedari tadi terbiar begitu saja. Belum sampai setengah jam,
tibatiba Lia yang sedari tadi menelepon seseorang menyodorkan hapenya kepada
saya.
"Siapa?"
"Seseorang, mau bicara denganmu."
Saya terima hape itu dan mengucap salam. Diujung sana
terdengar suara lakilaki yang sedang tertawa renyah. Dia berbasabasi dan ingin
berkenalan dengan saya. Tetapi anehnya dia sudah tahu nama saya.
"Ini siapa ya?"
"Ini Luluk kan? Luluk yang rumahnya Trenggalek
itu?"
"Betul, kamu siapa?"
"Ah, begitu ya, kalau sukses di rantauan, lupa sama
orang sekotanya sendiri." Siapa? Saya tidak pernah kenal dengan orang dari
Trenggalek. Apalagi seorang lakilaki.
"Siapa sih?"
"Siapa yang kemarin kamu bilang sebagai pemberontak?
Masak lupa?"
"Ah, Mas Anton ya?" saya baru ingat kalau seminggu
yang lalu habis bentrok di sebuah group sastra, sebab Anton mem-posting sebuah
puisi yang bukan puisi dengan menjungkirbalikan licentia poetica. Di ujung sana
masih terdengar suara yang terkekehkekeh membenarkan ingatan saya.
"Owh jadi sampeyan tha, pacar barunya Mbak Lia?"
kembali saya buka percakapan.
"Ya begitulah!" jawab Anton senang.
"Apa motifmu memacari Mbak Lia, Mas? Setahu saya, anak
Trenggalek itu ya begitubegitu saja." Saya meragukan ketulusan
"cinta" sebab ada salah satu penjahat facebook dari Trenggalek dan kebetulan tetangga saya
sendiri yang tidak segansegan memloroti kepunyaan buruh migran.
"Tidak ada motif kok, Luk. Tenang saja!"
"Tetapi saya tidak mau nama Trenggalek menjadi lebih
buruk lagi dan saya juga tidak mau teman saya menjadi korban," kesabaran
saya sudah mulai menghilang.
"Hahahaha, bicara apa sih kamu Luk?"
"Kamu sendiri pun punya anak dan istri, Mas Anton,
ingatlah!"
"Anak dan istri? Saya tidak bahagia dengan istri saya,
lagi ada masalah."
"Lantas dengan adanya masalah itu, kamu bukan
memperbaiki malah selingkuh."
"Kamu belum tahu saya, Luk!"
"Ya sudah, terserah kamu. Tetapi awas jangan sampai
mencemarkan lagi nama Trenggalek! Wasalam!"
Buruburu saya kembalikan telepon itu kepada Lia dan
mengeratkan gigi hingga suara gemeletuknya terdengar. Jni adalah pertanda emosi
saya lagi memuncak.
***
Hari berlalu begitu cepat, menyeret saya untuk kembali
menjalani kewajiban sebagai babu. Membawa pulang segudang tanya ke rumah
majikan. Setelah menyelesaikan ritual malam (merebus air, mandi dan sembahyang)
saya langsung kabur menuju pulau kapas. Melayarkan segala beban di pulau ini.
Tetapi mata tak mau terpejam, jika hal ini terjadi hape adalah teman setia,
mengantarkan imajinasi saya menuju dunia maya.
Di facebook inbox, banyak sekali yang masuk, salah satunya
milik Anton, iseng dia menanyakan kabar. Ah, tetapi mengingat kejadian siang
tadi sungguh memukulku padahal saya pernah berikrar dengan dia untuk memajukan
kesusasteraan di Trenggalek, sebab dialah satusatunya orang yang saya kenal
yang berasal dari sana. Namun, semua harapan itu terkubur oleh
perselingkuhannya.
Malam ini juga saya meminta penjelasan Anton bahwa dia tidak
sedang selingkuh dan saya memintanya untuk tidak selingkuh, mengingat dia masih
punya tanggungan, anak dan istri. Tetapi jawaban bukan meredam ledakan emosiku,
justru memperparahnya.
Anton: "Kamu tidak tahu siapa saya, Luk. Ini saya
lakukan juga demi istri dan anak saya."
Saya: "Tetapi bagaimana kalau istrimu tahu, hormatilah
dan hargailah dia! Juga jangan selingkuh demi anakmu. Bagaimana perasaan anakmu
jika tahu bapaknya seperti ini?"
Anton: "Kamu tidak tahu saya, Luk, bapak saya saja juga
kawin cerai, kawin cerai, sampai berberapa kali. Saya ingin balas dendam
terhadap hal itu."
Degh... astagfirullahaladzim! Ya Allah beginikah orang yang
ingin saya percaya dan jadikan panutan itu, hatiku perih. Lalu saya tuliskan di
layar hp dengan tangan gemetar.
Saya: "Mas Anton, ketahuilah meskipun dalam Islam hukum
karma itu tidak ada, tetapi sebabakibat dan pembalasan itu nyata adanya. Kalau
kamu tidak mengubahnya, tidak akan ada yang mampu mengubahnya. Jadi secara
tidak langsung karma itu ada. Jika kita tidak memutusnya sekarang, hal itu akan
terus berkelanjutan, sampai kapanpun."
Anton: "Kamu tidak tahu saya, Luk, bagaimana saya dan
apa perasaan saya."
Saya: "Saya tahu, saya telah ditinggalkan oleh seorang
bapak sejak kecil. Jadi saya tahu bagaimana perasaan seorang anak, saya di sini
mengingakan kamu di pihak anak kamu, Mas Anton. Sehatusnya kamu juga paham
bagaimana nanti perasaan anak kamu. Apakah kamu mau anak kamu menderita seperti
kamu?"
Saya menunggu lama tidak ada lagi balasan, kemudian saya
tuliskan lagi.
Saya: "Dan perlu kamu ingat Mas Anton, saya tidak akan
membiarkan Trenggalek menjadi sarang dan sasaran keburukan. Kalau sampai hal
itu kamu letupkan, saya tidak segansegan
menjatuhkan kamu. Sebab saya ingin citra
buruk tentang Trenggalek tidak berkelanjutan, saya ingin berjuang demi
Trenggalek. Ingat itu!"
Selepas itu tidak ada balasan lagi, dan saya pun tidak mau
tahu. Ada hal yang lebih penting yang harus saya kerjakan, yaitu penyelesaian
antologi kedua saya. Saya harus memicingi hape, mengedit puisipuisi yang
bertebaran di dalam online drive, memilah dan memilih puisi mana dan mana yang
harus saya terbitkan nanti. Satu kata kunci "kualitas" yang harus
saya utamakan bukan kuantitas.
Sebagai akhir dari aktifitas dan pengantar tidur, saya
menuliskan sebuah status di dinding facebook :
"Karma itu tidak ada dalam Islam, tetapi sebab akibat
dan pembalasan itu ada. Maka berhatihatilah dengan kelakuan kita. Siapa yang
menanam pasti akan menuainya. Jangan sampai karma itu berkelanjutan sampai
keturunan atau anakcucu. Kalau bisa putuskan karma itu sesegera mungkin.
Ingatlah bagaimana derita kita, jangan sampai anakcucu kita merasakan derita
yang kita rasakan ini."
***
"Luk, kamu ikut antologi puisi "K"
tidak?" tanya De padaku.
"Antologi mana lagi tuh, De?"
"Masa kamu ga tahu, lawong yang mengadakan itu teman
satu kabupaten denganqmu gitu lho?"
"Siapa?"
"Anton dan Lia di group sebelah!"
"Wow... mereka tha? Noway De, lagian saya masih harus
mempersiapkan antologi duet yang ini kok." Saya tersenyum melihat ekspresi
Dea. Lalu dia mengangguk. Tetapi dalam matanya tersimpan satu pertanyaan yang
ragu untuk diucapkan.
Tibatiba Ayu dan Adin mengahampiri saya dan De yang
termanggu.
"De, saya sudah keluar dari group itu, saya tidak tahan melihat kelakuan Anton
dan Lia. Saya juga tidak jadi ikut antologi," suara cemprang Ayu
menguatkan dugaan saya.
"Saya juga telah menarik semua karya yang telah saya
masukan." Adin menimpali dengan mata sembab.
"Lho ini apa-apaan kok kalian keluar dan malah mencabut
semua karya yang akan diterbitkan? Ada masalah apa lagi?" saya mencoba
menyelidiki.
"Kamu di group "K" tidak sih Luk?" tanya
Dea.
"Tidak masuk kok. Group mana dan kenapa?"
"Dulu group itu kita yang buat Luk, saya, Adin dan Dea,
tujuannya adalah untuk belajar mendalami puisi. Tetapi tibatiba group itu
diambil alih seseorang. Malah sekarang dipakai untuk selingkuh lagi. Saya terpaksa relakan dan keluar. Meski
nantinya nama buku kita juga direbut oleh mereka," Ayu menjelaskan.
"Tahu tidak padahal Mas Anton juga punya anak dan
istri. Mbak Lia juga punya tanggungan. Tetapi diinggatkan mereka malah
menentang habishabisan," tambah Ayu.
Wah kenapa pagi ini? bisik hatiku. Ah, ternyata bukan hanya
saya saja yang tahu, member group sebelah pun tahu tentang perselingkuhan Mbak
Lia dan Mas Anton. Duh Gusti Allah!
Saya menepi, memadamkan api kebencian yang membara.
Bersandar di tiang lampu neon dan menghadap tong sampah. Lalu membuka facebok dari
handphone butut. Saya telusuri semua laporan yang masuk. Ternyata status yang
mampir di beranda adalah milik teman saya yang sekarang
ini tengah meletupkan emosi juga.
Mengingat status saya minggu lalu, saya pun jadi geram.
Memang di sini saya dan temanteman masih belum berkeluarga jadi tidak tahu
bagaimana permasalahan dalam rumah tangga. Saya pribadi ingin belajar dengan
dan dari orang yang lebih tahu. Namun saat kami menemukan seseorang yang kami
anggap mampu mengajari, justru dianya berkelakuan bejat. Tidak bisa diharapkan.
Kembali saya ingin mencoba menuliskan sebuah unekunek yang
berjejalan di kepala saya. Tetapi belum sampai terkirim, tiba tiba Ayu menjerit
memanggil saya.
"Luk, lihat inbox Anton ini!"
Saya terima handphone itu. Saya baca tulisan yang berderet
di sana. Tulisan itu membuatku tertegun sambil mengenang apa kesalahan yang
pernah saya lakukan. Tetapi tidak ada, saya hanya mengingatkan tetapi mengapa
justru nama saya diharamkan olehnya untuk disebut. Sampai seperti itukah?
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar