MENGHITUNG UMUR: BISAKAH?
Urip ning alam donya iku paribasane mung mampir
ngombe (hidup di dunia
ibaratnya singgah untuk minum), begitu pepatah jawa mengatakan. Benarkah
seperti itu?.
Allah berfirman:
"Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. 23:114)
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. 23:115)
Dari kedua firman di atas kita bisa mengetahui bahwa manusia hidup di bumi ini memang hanya sementara. Suatu saat pasti akan kembali kepada Allah yang menciptakan kehidupan ini. Dan Tuhan menciptakan manusia itu tidak untuk bermain-main, melainkan dalam “sementara” manusia diharapkan mempunyai bekal untuk memcahkan rumus kehidupan dan siap kembali kepada-Nya. Namun semakin lama manusia semakin melupakan kodratnya, berbuat sesuka hatinya, dan tidak lagi mengenal apa itu dosa dan pertanggung jawaban. manusi alebih menyukai keindahan, walaupun mereka tidak tahu apakah dalam keindahan itu ada kebaikan atau tidak.
"Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. 23:114)
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. 23:115)
Dari kedua firman di atas kita bisa mengetahui bahwa manusia hidup di bumi ini memang hanya sementara. Suatu saat pasti akan kembali kepada Allah yang menciptakan kehidupan ini. Dan Tuhan menciptakan manusia itu tidak untuk bermain-main, melainkan dalam “sementara” manusia diharapkan mempunyai bekal untuk memcahkan rumus kehidupan dan siap kembali kepada-Nya. Namun semakin lama manusia semakin melupakan kodratnya, berbuat sesuka hatinya, dan tidak lagi mengenal apa itu dosa dan pertanggung jawaban. manusi alebih menyukai keindahan, walaupun mereka tidak tahu apakah dalam keindahan itu ada kebaikan atau tidak.
Meskipun demikian,
manusia hakikatnya masih diberikan rasa takut untuk menghadapi kematian dan
mereka akan meramalkan, menerka dan mengira-ngira kapan datangnya. Padahal apa
yang mereka lakukan itu semua tidak berguna, karena jodoh, rezeki dan mati
tetap menjadi rahasia Illahi. Melihat atau bahkan merasakan
kepincangan-kepincangan yang terjadi di bumi ini seorang penyair yang selalu
menyuarakan sindiran halusnya tetapi langsung menancap ke sasaran, Dedet
Setiadi, menuliskan puisi yang menarik untuk ditelisik, apa sebenarnya yang
terkandung di dalamnya. Sebuah sajak yang sederhana memang, tapi mengungkap
kenyataan yang terjadi.
PROSA UNTUK PARA PEJALAN
berapa lembar kalender tersisa pada dinding
semesta
kita tak usah menghitungnya -- biarlah tetap
menjadi Rahasia!
seperti juga kalian
saya pun ingin berjalan sampai lembar kalender
penghabisan
membaca tanda-tanda zaman
yang tercantum di catatan kaki peradaban
sebelum segalanya roboh bergelimpangan
saya pun merasa hanya sebagai pejalan
mengisahkan debu pada jejak sepatu,
mengisahkan keinginan pada setiap percakapan
mengubur apa yang layak sebagai kenangan
mengabadikan apa yang harus diabadikan
berapa lembar kalender tersisa pada dinding
semesta
saya pun tak hendak menghitungnya -- biarlah
tetap menjadi Rahasia!
Magelang, 2012
Dari judul yang
diberikan yaitu PROSA
UNTUK PARA PEJALAN, secara
tidak langsung akan muncul pertanyaan dan pernyataan. Pertanyaannya mengapa
Dedet menggunakan kata “prosa” sebagai judul, padahal tulisannya ini
tergolong pendek yaitu hanya terdiri dari empat bait (tiga
belas baris) sedangkan prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh
kaidah perpuisian dan biasanya berbentuk panjang. Namun apapun itu penyairnya
telah menyebutnya prosa, mungkin di sini mempunyai makna lain yaitu kebebasan
seseorang untuk tidak terikat kepada aturan-aturan kehidupan. Memang benar,
manusia itu pada dasarnya ingin bebas yang sebebas-bebasnya, namun tetap saja
tidak bisa bebas karena terbentur juga dengan hak orang lain. Kebebasan ini
oleh penyair ditujukan atau dipesan kepada para pejalan. Siapakah para pejalan
di sini? Kembali kepada hakikat manusia yang hanya sebentar saja di muka bumi.
Kita akan mengetahuinya, bahwa sesungguhnya manusia itu adalah para pejalan
dalam perjalanan menuju kehidupan abadi, dan masa mereka berjalan itu dinamakan
umur. Masa berjalan manusia satu dengan yang lainnya itu berbeda-beda. Ada yang
lama ada pula yang sekejap saja, tergantung kehendak Sang Pencipta.
Menurut saya, prosa
untuk para pejalan di sini mempunyai maksud yaitu kebebasan seseorang untuk
menentukan jalan yang menjadi pilihannya dalam menghadapi kehidupan yang
sementara ini. Mungkin juga kebebasan sang penulisnya untuk berada di mana.
Lalu memasuki bait pertamanya yang hanya terdiri dari dua baris yang berbunyi berapa lembar kalender tersisa
pada dinding semesta/ kita tak usah
menghitungnya -- biarlah tetap menjadi Rahasia!.
Kalender, siapa sih
yang tidak tahu apa itu kalender, semua manusia pasti akan mengenalnya sebagai
alat untuk mengetahui waktu, yang terdiri dari angka-angka yang menunjukan
tahun, bulan, tanggal dan hari. Manusia tidak mungkin lepas dari perhitungan
yang ada di kalender tersebut, membuat perencanaan di atasnya. Jika dilihat
dari persamaan sebagai alat penghitung waktu, kalender itu adalah umur manusia,
yang setiap hari selalu saja berkurang hitungannya. Meskipun kelihatannya
bertambah namun sebenarnya adalah berkurang dari jatah yang diberikan. Kalau
zaman dahulu, kalender itu berupa lembaran-lembaran per hari. Dan setiap
harinya akan selalu disobek untuk menunjukkan bahwa waktu telah berganti.
Larik pertama, beberapa lembar kalender tersisa pada
dinding semesta, ya, hal ini menunjukkan bahwa umur yang kita punyai itu hanya
tinggal beberapa lembar. Manusia tidak mungkin bisa menghitungnya apalagi
meramalkannya berapa lama lagi dia hidup di dunia. Mungkin esok atau mungkin
seribu tahun lagi, akan datang menemui Kekasih Sejati. Yang diharapkan penulis
adalah jangan berandai-andai jalani saja apa adanya, kerena semua itu tetap
menjadi rahasia Illahi. Hal ini tercermin pada baris kita tak usah menghitungnya --
biarlah tetap menjadi Rahasia!. Namun di sini kita akan bertanya mengapa dalam kata Rahasia memakai “R”, bila itu ingin
menunjukkan pada Allah SWT, akankah hal ini dapat tertangkap oleh awam.
Kemungkinan besar bila yang menikmati hanya kalangan tertentu—misal kalangan
agamis dan penyair—saja memang dapat langsung ditangkap dan dimengerti. Mengapa
Dedet menulisnya seperti itu, bukan menuliskan rahasia Illahi, ya tentu, setiap penyair memang punya kebebasan,
tapi kalau puisi ini adalah kaca bening dan ingin dinikmati oleh kalangan luas,
menulis yang lengkap akan mudah dipahami.
Memang penulis
berpesan atau menulis lewat puisinya ini bukan hanya orang lain, tapi juga
untuk dirinya sendiri. Dia ingin meniti kehidupan ini, berjalan apa adanya
sampai maut menjemputnya. Keinginannya itu terlihat dari dua baris bait duanya
yang berbunyi seperti
juga kalian/ saya pun ingin berjalan
sampai lembar kalender penghabisan. Dia pun ingin mengerti apa yang terjadi di dunia ini, mempelajari
seluk-beluk yang mungkin akan berubah
dari satu masa ke masa yang lain. Dia pun ingin tahu bagaiman kehidupan
sebelumnya dan apa yang menjadi sejarah, kemudian dia ingin membandingkannya
mana yang lebih tepat untuk dia simpan sebagai memori dalam hidupnya yang
singkat itu. Mempelajari hal yang baik dan mengamalkannya selama jiwa masih
bersatu dengan raganya dan menjadikannya bekal di akhirat nanti, sebelum hari
kiamat datang meratakan semua yang ada di bumi ini. membaca tanda-tanda zaman/ yang
tercantum di catatan kaki peradaban/ sebelum
segalanya roboh bergelimpangan.
Dalam hal ini Dedet
juga sebagai pengembara kehidupan itu
sendiri, dia pun mengakui bahwa dia pun sedang mencari bekal, saya pun merasa hanya sebagai
pejalan. Sebagai pengembara
dia berpikir bahwa kehidupan ini selalu penuh dengan dosa yang harus
dibersihkan agar hidupnya nanti tidak penuh kotoran-kotoran, sebelum terlambat
maka dia pun ingin menghapusnya, karena hakikat mengisahkan debu pada jejak sepatu,
adalah masalah yang setiap
hari lakukan namun tidak disadari bahwa hal itu adalah menjadi dasar untuk
memudahkan kita mengarungi perjalanan. Jika debu itu dibersihkan setiap hari,
maka akan berjalan di mana pun pejalan itu akan merasa percaya diri karena apa
yang dipakainya bersih. Begitupun dengan keadaan jiwa manusia, apabila jiwanya
bersih maka, dia akan tenang dan akan siap suatu saat dipanggil menghadap Tuhan
Yang Maha Kuasa. Meskipun demikian sebagai seorang pejalan pasti
mempunyai tujuan atau yang menjadi keinginan hatinya. Di sana semua akan
menyatakan dan mengungkapkan serta berusaha untuk mewujudkan keinginanannya
itu. Penulis menuliskan, mengisahkan keinginan pada setiap percakapan, percakapan dengan siapakah yang dimaksud.
Kemungkinan adalah percakapan dengan Tuhan, melalui doanya, atau bisa juga
percakapan antara manusia yaitu komunikasi untuk mewujudkan apa yang menjadi
keinginannya, mencari informasi dan lain sebagainya. Lalu dari semua yang
dilakukannya manusia harus bisa menyaring mana yang baik dan mana yang buruk,
yang baik harus dia kerjakan dan lestarikan dan yang buruk haruis dia
tinggalkan bahkan harus dijauhinya agar mereja selamat, mengubur apa yang layak
sebagai kenangan/ mengabadikan apa yang
harus diabadikan.
Lalu pada bait
terakhir penyair juga mengingatkan lagi berapa lembar kalender tersisa pada dinding semesta/saya pun tak hendak menghitungnya -- biarlah tetap menjadi Rahasia!, namun hal ini adalah untuk dirinya sendiri agar
selalu ingat kepada Tuhan, jangan meramalkan apa yang menjadi rahasia Illahi
biar itu tetap menjadi rahasia. Ynag terpenting adalah tetaplah beribadah,
berusaha dan berserah kepada-Nya, apapun yang terjadi agar manusia siap
menerima apapun yang terjadi ke depannya.
Jika dilihat dari
keseluruhan jumlah baris dari puisi adalah 13 dan angka ini adalah angka ganjil
dan penuh rahasia seperti halnya umur manusia. Apapun yang terjadi manusia
tidak akan pernah bisa untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Jika Tuhan belum
berkehendak di atasnya, maka semua itu tidak akan pernah terjadi.
Luluk Andrayani
Ma On Shan 3412
Salut.. salut.
BalasHapusTeruslah berkarya Dindaku. :)
matur suwun Yunda
Hapus