MUARA DARI
PERBEDAAN DALAM KEHIDUPAN ADALAH MAUT
… karena tak seharusnya
perbedaan menjadi jurang
bukankah kita diciptakan
untuk dapat saling melengkapi
mengapa ini yang terjadi…
perbedaan menjadi jurang
bukankah kita diciptakan
untuk dapat saling melengkapi
mengapa ini yang terjadi…
Masih
ingat kan penggalan lirik lagu ini? Sebagai manusia kita memang diciptakan
berbeda, tapi perbedaan itu bukan hal untuk menimbulkan perpecahan. Perbedaan
adalah keanekaragaman, kalau dipadukan akan menhasilkan sesuatau yang luar
biasa. Perbedaan juga merupakan kekayaan, jadi tidak perlu diperdebatkan. Perbedaan
itu adalah wajar, kalau tidak ada perbedaan, mari kita bayangkan sejenak apa
yang akan terjadi apabila kita semua sama.
Bangsa
Indonesia mempunyai banyak suku bangsa, sudah tentu akan ada perbedaan yang
paling terlihat di antara suku-suku tersebut. Akan tetapi alangkah indahnya
saat ditemukannya alat pemersatu bangsa yang diperingati pada setiap tanggal 28
Oktober itu. Sumpah Pemuda, begitulah disebutnya, yang mengungkapkan bahwa
Bangsa Indonesia itu satu, berbahasa satu dan bertanah air satu. Semangat itu
tetap membara dalam dada pemuda Indonesia.
Namun
demikian meskipun manusia itu memnag diciptakan berbeda, namun akhirnya mereka
adalah sama, mempunyai tujuan yang sama yaitu menghadap Sang pencipta, untuk
mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya selama hidup di bumi.
Menyikapi
adanya perbedaan itu seorang pernyair
muda yang berasal dari provinsi termuda di Indonesia, Muhammad Rois Rinaldi,
menelurkan sebuah puisi yang sungguh mengelitik hati. Dengan gaya khasnya dia
menyajikan puisi yang sarat dengan suara lantangnya dalam meneriakkan isi hati.
DUA ALIRAN AIR
sahabatku, kita serupa dua aliran air, diam-diam bertanya akan keberadaan muara, dalam tenang riak-riak mendesah resah, juga kegamangan ini menghadirkan gelombang fatamorgana. tak usah risau serba tanya ketika aku menjadi genangan. meski perlahan akan menyusut, menjadi kerak-kerak bumi yang patah dan merabuk. aku enggan meminta agar tetap mengalir selamanya, biar menjadi kerak, biar menjadi rabuk, biar terbang dan hilang bentuk, biar! toh aku akan menjelma menjadi hujan, menyetubuhimu.
kau teruslah mengaliri fitrah juga titahNya yang tiada tertawar. sebelum kita bertemu dan aku serupa tamu membawa sebungkus kenangan. sampah-sampah akan silih datang menyelam dan tenggelam, kotoran manusia tercemplung lantas buyar, burung, bebek, ayam, apa saja yang berjenis binatang semuanya akan bertandang untuk mengucapkan salam juga menyekat aliran.
berhenti memberi tanda kurung pada makna, melarungkannya jauh ke laut lepas, sedangkan deburnya pun belum nampak, untuk apa merasa risih? takut berbaur dan tak lagi dikenali. bukankah tawar diri akan mengkristal di bawah terik matahari? teruslah mengalir hingga kelak kita akan sama-sama menemukan muara beraroma mawar. bening.
CILEGON-BANTEN
20-01-2012
sahabatku, kita serupa dua aliran air, diam-diam bertanya akan keberadaan muara, dalam tenang riak-riak mendesah resah, juga kegamangan ini menghadirkan gelombang fatamorgana. tak usah risau serba tanya ketika aku menjadi genangan. meski perlahan akan menyusut, menjadi kerak-kerak bumi yang patah dan merabuk. aku enggan meminta agar tetap mengalir selamanya, biar menjadi kerak, biar menjadi rabuk, biar terbang dan hilang bentuk, biar! toh aku akan menjelma menjadi hujan, menyetubuhimu.
kau teruslah mengaliri fitrah juga titahNya yang tiada tertawar. sebelum kita bertemu dan aku serupa tamu membawa sebungkus kenangan. sampah-sampah akan silih datang menyelam dan tenggelam, kotoran manusia tercemplung lantas buyar, burung, bebek, ayam, apa saja yang berjenis binatang semuanya akan bertandang untuk mengucapkan salam juga menyekat aliran.
berhenti memberi tanda kurung pada makna, melarungkannya jauh ke laut lepas, sedangkan deburnya pun belum nampak, untuk apa merasa risih? takut berbaur dan tak lagi dikenali. bukankah tawar diri akan mengkristal di bawah terik matahari? teruslah mengalir hingga kelak kita akan sama-sama menemukan muara beraroma mawar. bening.
CILEGON-BANTEN
20-01-2012
Di bumi air alami ada dua macam
yaitu asin (air laut) dan tawar. Dua air ini bertemu di muara dan menyatu di
lautan yang luas. Tuhan menciptakan segala sesuatu selalu berpasangan (dua). Rois
melukiskan hal ini dalam puisinya sebagai perbedaan yang dapat menyatu.
Perbedaan itu adalah hal yang biasa, jadi tidak perlu takut untuk berbeda.
“sahabatku,” inilah kata yang diucapkan Rois dalam mengawali
puisinya, menyapa pembaca sebagai sahabat. Sahabat ini dapat diartikan orang
yang mempunyai hubungan jiwa, tempat mengadu baik dalam suka maupun duka. Rois
mengharapkan pembacalebih dekat dengan dirinya. “ serupa dua aliran air,” ya, manusia memang berbeda, manusia kembar tetap berbeda dalam hal
apapun, namun pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama dan akhir hidup yang
sama. Pemilihan kata air di sini juga menyiratkan makna bahwa air itu sifatnya
dapat berubah menuru tempat yang ditempatinya. Air juga merupakan sumber
kehidupan yang utama, dan di muka bumi ini jumlah air juga lebih banyak.
Dua aliran air itu
seakan-akan resah dan gelisah menghadapi suatu yang pasti ada namun belum dapat
dilihat, “diam-diam bertanya akan
keberadaan muara,” kalau aliran
air itu ibaratnya kehidupan, maka muaranya adalah maut. Manusia akan selalu
gelisah bila membicarakan yang namanya kematian, entah itu apakah bekal mereka
kurang atau sebab yang lain. Tentang kapan maut berpihak kepadanya manusia juga
tidak mengetahuinya karena itu adalah rahasia Sang Pencipta. Rois juga
menggambarkan “dalam tenang riak-riak
mendesah resah, juga kegamangan ini menghadirkan gelombang fatamorgana.” Meskipun manusia itu sejati seperti
tidak peduli dengan apa yang namanya maut, sebenarnya hati mereka selalu
berontak dan terus mempertanyakan keadaannya. Apakah mereka akan hidup atau
akan mati saat itu juga. Manusia itu percaya atau bahwa yang hidup akan mati,
namun angan mereka kadang terlalu jauh atau terlalu sempit dalam mengartikannya
sehingga kepalsuan demi kepalsuan mereka tumpahkan di atas kanvas hidup, bahkan
ada diantara mereka secara sengaja mereka atau meramal tentang kematian padahal
kematian itu bukan hal untuk diramalkan. Kalau hal ini telah terjadi, maka
keadaan yang ada semua seperti bayang-bayang yang mungkin menakutkan.
Lalu dengan keadaan
yang seperti itu, Rois dengan tegas meminta “tak usah risau serba tanya ketika aku menjadi genangan. meski perlahan
akan menyusut, menjadi kerak-kerak bumi yang patah dan merabuk”. Kalimat
ini ironis, ada nada gelisah dan kekhawatiran yang tersembunyi diam-diam dalam
benak penulis meskipun dia telah mengartikan hakikatnya sendiri sebagai air dan
memberikan nasihat dengan tegas. Kepada sahabatnya (baca: pembaca) penulis juga
berpesan untuk tidak bertanya dan
mencari tahu tentang hakikat dirinya sebagai air. Namun penulis tidak berada
dalam aliran itu, dia ada dalam suatu tempat yang disebutnya genangan. Genangan
ini biasanya bersifat sementara dan penulis juga tahu bahwa nanti dia akan
hilang perlahan dan menjadi tiada sama sekali, bersatu dengan tanah tempatnya
kembali menjadi sari-sari dalam bumi.
“ku enggan meminta
agar tetap mengalir selamanya,” kalimat
sederhana ini adalah bentuk pemberontakkan penulis terhadap keadaan-- air itu
selamanya mengalir dan mempunyai siklus, airà uapà hujan (air). Mengapa penulis meminta untuk
tidak mengalir? Mau berada di manakah dia? Di tempat yang tertutup dan
terlindung dari cahaya matahari yang membakar dan menempanya. Kalau dikaitkan dengan
kehidupan keadaan yang seperti ini adalah sebuah nada keputusasaan, dan sungguh
ironis jika manusia tidak ingin mengikuti takdir, jika air mengalir sebagai
takdir, manusia ingin mengubah takdirnya. Inilah yang menjadikan penulis dan
pembaca itu berbeda. Namun akhirnya Rois
membuka permintaannya “biar menjadi
kerak, biar menjadi rabuk, biar terbang dan hilang bentuk, biar!” Di kalimat ini kita akan tahu bahwa
keinginannya ialah berkelana, dia tidak ingin dikurung oleh aturan yang harus
dipatuhi. Bila menjadi kerak manusia akan tahu keadaan yang berada di bawah
atau di dasar-dasar yang paling rendah dalam hidup ini. Lalu ada juga
keinginannya menjadi rabuk, rabuk itu serupa pupuk yang sangat diperlukan oleh
kehidupan, ingin berguna bagi yang lainnya dengan menyusupi seluruh kehidupan
dan berbaur dengan kehidupan itu sendiri. Juga ingin terbang, ya siapa manusia
yang tidak ingin berada di atas atau berada dalam tahap mulia? Semua manusia
menginginkan kemulian dan itu pasti tempatnya di tempat tertinggi. Intinya di
sini penulis ingin berbeda dan menentang takdir—atau ingin berusaha mengubah
takdirnya. Meskipun nanti akan mengalah juga kepada keputusan akhir Sang
Pencipta atau bisa disebut pasrah kepada takdir. Hal ini dilukiskan dalam diksi
toh aku akan menjelma menjadi hujan,
menyetubuhimu. Itulah hakikatnya manusia, seberapa banyak usaha yang
dilakukan untuk mengubah dirinya, hakikatnya nanti dia akan tetap menjadi air
yang mengalir pada tenmpat yang semestinya. Sadar atau tidak manusia masih pada
siklusnya—lahir, hidup dan akhirnya kembali ke tanah.
Lalu bersama dengan hal itu Rois berpesan kepada pembaca agar pembaca tidak berontak kepada takdir kau teruslah mengaliri fitrah juga titahNya yang tiada tertawar. Di sinilah kita tahu bahwa memang benar si penulis ingin berbeda dengan yang lainnya, kalau yang lain berserah pada takdir, mengikuti yang sudah menjadi garis tangan tiap-tiap insan. Menjaga kesucian dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya yang setiap manusia tidak akan mampu melawannya. Namun jika melihat larik seterusnya sebelum kita bertemu dan aku serupa tamu membawa sebungkus kenangan.sepertinya penulis menuliskan pesan ini kepada seseorang yang dia anggap sebagai aliran yang lain itu dan mengenali seseorang yang disebut “kau” lirik di sini. Atau bisa juga sebagai langkah untuk Rois bisa dekat dengan pembaca. Meskipun hakikatnya berbeda. Membuat sebuah perjanjian dengannya meskipun mereka dalam kehidupan berbeda dan jalan hidupnya beraneka ragam, namun semuanya nanti pasti bertemu dan dikumpulkan di Padang Maksyar untuk mempertanggung jawabkan apa yang menjadi perbuatannya di dunia. Manusia di dunia hanyalah tamu, itulah peribahasa yang dipakai untuk menggambarkan keadaan singkat sebuah kehidupan. Manusia harus mencari bekal yang nanti akan dipakai untuk menghadap Illahi, dan di puisi ini penulis menggambarkannya sebagai “kenangan”. Berbagai macam dan ragam manusia akan menunjukan apa yang diperbuatnya di muka bumi. Di Padang Maksyar pun manusia berbeda semua amal dan perbuatan mereka dihisab dan akan memperoleh balasan setimpal dan serupa perbuatannya. “sampah-sampah akan silih datang menyelam dan tenggelam, kotoran manusia tercemplung lantas buyar, burung, bebek, ayam, apa saja yang berjenis binatang semuanya akan bertandang untuk mengucapkan salam juga menyekat aliran.”
Namun sepertinya si penulis tidak ingin hanya berangan-angan lagi tentang perbedaan yang ada di kehidupan abadi. Dia mengajak pembaca untuk menjalani kehidupan yang saat ini nyata dan berjalan. “berhenti memberi tanda kurung pada makna,” Diksi ini menginginkan manusia agar manusia itu tidak mengurung dirinya atau selalu menutupi apa yang tersembunyi atau apa yang seharusnya dirahasiakan. Manusia harus bisa lebih terbuka agar keselarasan tercapai dalam perbedaan itu. Biarkan semua terlihat apa adanya dan biarkan semua mengembara mencari hakikatnya untuk sampai pada muara.
Namun untuk sampai
pada muara itu kita belum tahu kapan dan bagaimana muara itu manusia juga
tidak mengetahui. Manusia belum tahu
namun karena kepercayaannya kan muara kehidupan adalah maut itu sudah pasti. “melarungkannya jauh ke laut lepas, sedangkan
deburnya pun belum nampak,” Lalu
Penulis juga berpesan “untuk apa
merasa risih? takut berbaur dan tak lagi dikenali.” Bahwa manusia tidak
perlu merasa rendah diri dalam hidup ini. Tidak perlu takut mengahdapi kemelut
dalam kehidupan. Juga tidak perlu takut untuk berbeda meski nantinya perbedaan
itu akan menyebabkan dia tak lagi diketahui oleh orang lain. Atau dengan
perbedaan dia akan dikucilkan oleh kelompoknya. “bukankah tawar diri akan mengkristal di bawah terik matahari? teruslah
mengalir hingga kelak kita akan sama-sama menemukan muara beraroma mawar.
bening.” Meskipun manusia selalu memberontak untuk berbeda namun juga
pemberontakkannya itu tidak berfungsi. Karena akhirnya harus berada di salah
satu aliran air yang dia gambarkan itu. Tinggal memilih yang mana. Aliran-aliran
itu akhirnya akan berkumpul dalam satu muara. Berusahalah untuk menjadi yang
terbaik, berbuat baik dan tetaplah pada aliran itu. Sehingga suatu saat nanti
akan menemukan sebuah akhir yang baik dan indah. Sebuah ketenangan jiwa di alam
baka.
Luluk Andrayani
Ma On Shan, 13032012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar