MERENUNGKAN HAKIKAT
DIRI AGAR TAHU DIRI BERSAMA LARONNYA HAMBERAN SYAHBANA
Manusia adalah makhluk
yang sempurna dengan akalnya, namun dia juga menjadi tidak sempurna karena
akalnya juga. Dikatakan sempurna dengan aklanya jika manusia itu bisa
menggunakan akalnya di jalan yang telah ditentukan, sesuai dengan norma, hukum
dan agama. Namun manusia kadang akan lupa diri jika kesenangan dan kebahagiaan
telah dicapainya, kesombongan akan menutupi hatinya. Meskipun pada awalnya
manusia itu berada pada titik terendah.
Dalam peribahasa Jawa
ada yang namanya “kere munggah bale”,
ini menjelaskan bahwa ada seseorang yang kaya mendadak atau mendapat kedudukan
secara mendadak, akhirnya dia lupa diri, melupakan seluruh orang
terdekatnya—sahabat, sanak family bahkan orang tuanya atau anak istinya.
Melihat fenomena yang
ini, seorang pernyair dari pulau Borneo bernama Hamberan Syahbana ingin
menyedarkan kepada kita dengan petuah-petuah yang sepele namun menggigit—nylekit.
Renungan saat ini
Meski kita sudah
mencoba menahannya, ternyata
kita juga bisa berubah
peran menjadi seperti angin
di saat orang saling
kejar saling tumpang tindih
rayap-rayap itu
diam-diam menjadi laron
yang beterbangan
mengejar cintanya di nyala api
Meski kita sudah
mencoba menahannya, ternyata
kita hanyalah kapal
selam yang terdampar di gurun
padahal kapal selam
itu selamanya sering di dalam air
sementara sesama kita
sudah saling tuduh bagai
orang buta yang
menyalahkan orang buta lainnya
Banjarmasin, Juni 2012
Judul puisi ini adalah
“renungan saat ini”, terlalu bening menurut
pembacaan saya karena memang tiada majas ataupun ungkapan-ungkapan yang
sulit, melainkan sebuah ajakan kepada kita untuk merenungi diri, koreksi diri
dan juga membenahi apa yang salah dalam diri kita. Kapan waktunya? “saat ini”, ya kapan pun itu waktunya, waktu
yang tepat adalah saat ini,bukan tadi atau nanti, sebab tadi adalah masa yang
telah lalu dan nanti adalah masa yang akan datang. Meskipun rentangnya hanya
detik namun telah mencakup. Tidak boleh ditunda lagi dan harus tepat yaitu saat
ini.
Memasuki bait pertama,
Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita juga bisa berubah peran menjadi seperti
angin
di saat orang saling kejar saling tumpang
tindih
rayap-rayap itu diam-diam menjadi laron
yang beterbangan mengejar cintanya di nyala api
Saya merasaan ada satu
kecamuk atau permasalahan yang sering kali dihadapi oleh semua manusia namun
masalah ini terabaikan. Meski kita sudah
mencoba menahannya, ternyata/ kita juga bisa berubah peran menjadi seperti
angin, kedua larik ini mengingatkan saya pada “nafsu” dan “nurani” yang
sejatinya dalam diri manusia nurani
selalu berperang melawan nafsu untuk menentukan pilihan pilihan yang ada
di hadapannya. Nafsu itu akan kuat sekali pengaruhnya untuk mengelabuhi nurani.
Dalam perang ini manusia selalu gelisah dan kalau kata gaulnya adalah “galau”
antara ya dan tidak.
Akhir dari perang
antara nurani dan nafsu itu pasti ada satu keputusan, jika nurani lebih kuat
maka nafsu akan menyingkir dan manusia tetap istiqomah di jalan-Nya, namun jika
nurani kalah maka manusia akan menghindar dari jalan-Nya. Seperti dalam puisi
Hamberan ini, nafsu telah memenangkan pertarungan sehingga manusia selalu
berubah-ubah sesuai dengan tempat yang ditempatinya—seperti bunglon yang
berubah warna (hal ini ditunjukan dari diksi seperti angin). Pendirian manusia tersebut tidak kuat atau tanpa
tonggak kuat di dalam hatinya, Sehingga mudah berubah.
Lalu larik selanjutnya
menjelaskan bahwa selalu ada perbedaan antara orang satu dengan yang lainnya.
Dalam larik di saat orang saling kejar
saling tumpang tindih/rayap-rayap itu diam-diam menjadi laron/yang beterbangan
mengejar cintanya di nyala api mengandung sebuah metafora kontemplasi yang
sangat menyentuh, juga ada majas ironi yang bikin gereget sekaligus nylekit dirasakan. Gabungan metafora dan
ironi yang saya sebutkan adalah subyek
“rayap-rayap menjadi laron”, siapakah rayap-rayap yang menjadi laron itu?
Penggambaran manusia
yang hanya bisa menggerogoti sisa-sisa manusia yang lainnya. Pada saat ada
berkah (hujan) dia akan bermetamorfosis atau berubah mempunyai sayap. Lalu saat
ada cahaya—entah itu cahaya lampu atau matahar—laron akan keluar dari sarang
memamerkan bahwa dia bisa terbang membubung. Namun sang laron itu tidak
menyadari bahwa dia hanya mampu bertahan beberapa menit saja pada ketinggian
itu sebelum akhirnya dia kembali lagi ke tanah. Begitu juga yang terjadi pada
manusia saat dia meresa paling tinggi, maka ia akan lupa segalanya, bahkan dia
akan lupa pada hakikatnya bahwa dia juga akan kembali ke tanah. Saya jadi ingat
suatu peribahasa, setinggi-tinggi tupai
melompat jatuhnya ke tanah juga.
Juga pada saat itu,
manusia tidak akan sadar pada keindahan-keindahan (cahaya) yang mereka datangi itu berbabaya atau membahayakan dirinya, pada
mata mereka yang penting itu adalah indah. Karena hati mereka telah tertutup
oleh kebahagiaan semu.
Dari sini Hamberan
mengharapkan manusia yang merasa telah tinggi kedudukannya untuk selalu ingat
kepada Tuhan dan hakikatnya, juga kepada kita semua—karena hakikatnya manusia
itu adalah makhluk yang tertinggi derajatnya dibandingkan makhluk yang lainnya.
Hamberan mengharapkan agar kita selalu berhati-hati dalam memandang setiap
keindahan dunia—sebab keindahan dunia ini hanya palsu dan juga membayakan
layaknya bahan bakar yang berapi yang bisa membakar kita sewaktu-waktu.
Serta diteruskan pada
bait ke dua,
Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita hanyalah kapal selam yang terdampar di
gurun
padahal kapal selam itu selamanya sering di
dalam air
sementara sesama kita sudah saling tuduh bagai
orang buta yang menyalahkan orang buta lainnya
Dalam bait ini terjadi
pengulangan kalimat di baris pertamanya yaitu Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata, tulisan yang sama
persis namun berbeda dalam artinya karena frase selanjutnya kita hanyalah kapal selam yang terdampar di
gurun/ padahal kapal selam itu selamanya sering di dalam air. Merujuk frase
ini saya menemukan apa yang kita coba tahan kedua adalah takdir. Takdir yang
berisi seluruh kemungkin dan ketidakmungkinan yang tidak dapat ditebak oleh
otak manusia.
Namun dalam tiga baris
pertama bait ke dua itu menunjukan suatu kemustahilan yang terjadi di kehidupan
manusia (kapal selam di tengah gurun). Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak
pernah puas akan apa yang dicapainya saat ini dan akan terus melakukan percobaan-percobaan
yang sungguh di luar kemungkinan. Juga mengacu kepada penempatan hal yang tidak
pada tempatnya—seiring dengan kemajuan zaman dan era globalisasi manusia akan
lupa diri juga. Contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah dunia
entertainment yang semakin marak, yang menyuguhkan tontonan yang hanya pantas
ditonton dan dilakukan oleh pasangan suami istri—pornografi dan pornoaksi. Ini
adalah hal yang patut kita renungkan karena membuat orang semakin lupa diri.
Dari sini anak-anak di bawah umur yang tadinya belum tahu hal ini menjadi lebih
tahu. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah banyak anak-anak remaja bawah umur
yang telah berani melakukan seks bebas.
Namun siapa yang
disalahkan dalam hal ini kita tidaklah tahu persis, semua orang saling
menyalahkan satu sama lain, tuding menuding tanpa jawab pasti. Memang di sisi
lain menguntungkan, tapi di lain merugikan. Seperti yang tertulis dalam larik
selanjutnya, sementara sesama kita sudah
saling tuduh bagai/ orang buta yang menyalahkan orang buta lainnya. Dalam
larik ini Hamberan mengusung metafor “orang buta”. Namun apakah manusia itu
buta dan seperti apakah orang buta itu? Ya, mereka hanya tidak bisa melihat
dengan mata kepala saja, namun mereka mempunyai hati jika mau menggunakan juga
punya akal jika masih sehat dan terawat.
Dari larik tersebut
Hamberan mengajak kita untuk koreksi diri—bukan menuding dan menodong—apa yang
harus kita lakukan saat ini untuk mengahadapi fenomena yang memilukan dan
mencoreng harkat dan martabat sebagai manusia. Juga tuntutan untuk kita selalu
menggunakan nurani dan hati untuk berpikir bukan hanya emosi dan ambisi yang
maju.
Sebagai penutup, saya
merasa kecil sebab belum melakukan apapun melihat fenomena-fenomena yang
semakin jungkir balik oleh kemajuan teknologi dewasa ini. Saya merasa malu
kepada Tuhan, bahwa sebagai makhluk yang sempurna dan diberi akal namun belum
menggunakan akla dengan sempurna. Serta semoga jika kita suatu saat berada di
atas sekali-kali marilah kita tengok ke bawah ke tempat kita yang dahulu, sebab
di sana pun masih banyak tangan-tangan yang meminta uluran tangan kita.
Renungan yang mantab, semoga kita bisa berkaca dan selalu di jalan-Nya. Salam.
LA1562012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar