BERKAH DAN PENYUCIAN
DIRI DALAM HUJAN SEPTEMBER-NYA DAM
Membaca sketsa dari
buku SKETSA SAJAK dari seorang penyair
yang bernama Dimas Arika Mihardja (selanjutnya DAM) ini, saya merasa seperti
menikmati gado-gado. Saya menemukan berbagai macam tipogafi dan cara
penulisannya. Selain indah, sajak sajak dalam buku ini juga dapat memuaskan
dahaga baca dan tidak membosankan. Meskipun dengan kesederhanaan yang telah
melekat pada pemilihan kata, DAM sanggup membawa berbagai macam perenungan
dalam puisinya, sehingga berbagai macam pemahaman sering terjadi ketika DAM
mempublikasikan puisinya dalam sebuah group cyber yang bernama Bengkel Puisi
Swadaya Mandiri—karena saya mengenal DAM dari group sastra yang dibangunnya ini
dan belajar menekuni puisi juga di sini.
Dari sekian banyak
judul yang ditawarkan dalam buku ini, sebagai pemula yang masih harus banyak
belajar, saya tergelitik untuk menelisik sebuah puisinya yang berjudul HUJAN
SEPTEMBER. Entah mengapa waktu membaca sekilas puisi ini begitu menggoda saya
pada pandangan pertama. Seperti ada unsur yang menggerakkan hati saya untuk
mencoba merenungkannya lebih mendalam. Namun demikian di sini saya hanya
mengapresiasi saja sebagai seorang penikmat karena saya bukan seorang kritikus
dan juga hanya bisa mengapresiasi sesuai dengan pengetahuan minim.
HUJAN SEPTEMBER
/1/
lantaran debu nempel di tangkai dan lembarlembar
daun
kuangkat selang sebelum matahari bangkit dari
rasa sakit
kemarau meruang dalam kamar jiwa kuncup bunga
berguguran sebelum jadi buah
satusatu kupungut tetes hujan
menyiram dahaga jiwa
/2/
mencintai ranah ini
serupa membalut luka bernanah
teriris oleh sayatan sejarah
yang dibelah
bendera setengah tiang tertunduk gamang
penuh genang kenang cahaya kunangkunang
/3/
"pa, mari kubantu punguti daun dan
bunga"
nurani tersenyum tawar, terasa benarbenar
hambar
"inikah makam pahlawan itu pa?"
debu menutup segala pandang
tubuhku mengabu dan mengejang
september 2011
Puisi ini secara
keseluruhan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing bagian terdiri tiga
bait dan tentunya mengusung makna tersendiri dari judulnya. Membaca judul puisi
HUJAN SEPTEMBER saja, pikiran saya mengatakan bahwa hal ini sungguh berlawanan
dengan apa yang sesungguhnya ada di Indonesia, seperti yang telah kita ketahui
bahwa Indonesia mempunyai dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Kalau dilihat dari waktunya bulan September itu adalah musim kemarau atau kalau
orang jawa bilang waktu itu adalah “mongso ketigo” yaitu masa-masa musim
kemarau mencapai puncaknya. Lalu DAM menuliskan bahwa bulan September ada
hujan, sungguh ironis, jika memang ada adalah sebagai suatu keajaiban atau anugerah
yang sangat luar biasa. Namun metafore “hujan” dalam judul puisi ini adalah
sebagai suatu berkah atau suatu hal yang dapat menyejukan jiwa pada saat-saat
yang rawan atau gersang. Sesuatu yang dapat menyucikan diri dari hal-hal yang
mengotori jiwa. Atau bisa juga sebagai pengharapan kebanyakan orang jika mereka
berada pada situasi dan kondisi yang sulit.
Sedangkan “September”
sendiri adalah bulan kesembilan dalam perhitungan tahun Masehi, entah kebetulan
atau kesengajaan, angka sembilan merupakan angka tertinggi dalam perhitungan
satuan bilangan. Jadi menurut pendapat saya makna yang ingin disampaikan DAM
dalam judul puisi ini adalah suatu harapan tertinggi seseorang saat jiwanya
dalam keadaan yang prihatin atau memprihatikan. Disambung dengan bagian
pertamanya,
lantaran
debu nempel di tangkai dan lembarlembar daun
kuangkat
selang sebelum matahari bangkit dari rasa sakit,
kemarau
meruang dalam kamar jiwa kuncup bunga
berguguran
sebelum jadi buah
satusatu
kupungut tetes hujan
menyiram
dahaga jiwa
Dalam bagian pertama
ini, saya seperti diajak oleh DAM untuk merenungi siapa dan bagaimana keadaan
diri dan hati saat ini. lantaran debu nempel di tangkai dan lembarlembar daun
baris pertama ini mengingatkan
pada saya hakikat manusia ialah tempatnya kotoran yang berupa dosa-dosa baik
disengaja maupun tidak. Dosa itupun bertebaran di seluruh tubuh, pikiran,
perbuatan dan ucapan manusia. Lalu dengan tenang DAM diam-diam juga mengajak
saya untuk menyucikan diri apapun jalannya. kuangkat selang sebelum matahari bangkit dari rasa sakit, baris ini mengandung metafore “selang”
sungguh sederhana bila dipikir, namun selang di sini adalah sebagai alat untuk
mengalirkan air yang bersih dari sumbernya yang biasanya berada di sebuah
tempat yang sulit terjangkau menuju tempat yang manusia bisa gunakan dengan
mudah, sehingga tujuan untuk menyucikan diri dan menyejukan hati dapat tercapai
dengan mudah. DAM juga ingin menyadarkan
kepada kita bahwa sebelum terlambat dan semua menjadi serba sulit, marilah kita
mulai melakukan persiapan agar nanti saat datang masalah-masalah yang paling
menggelisahkan dan mencapi puncaknya kita tidak
lagi kebingungan menyeslaikan masalah itu.
Penegasan pada bait
kedua menjelaskan pada kita bahwa setiap masalah yang serius pasti akan kita
hadapi dan masalah itu tidak akan mengenal situasi dan kondisi jiwa kita. Bila
permasalahan hidup itu telah hadir dalam diri kita, maka sudah tidak dapat
dielakan lagi, semua bergantung kepada kita bagaimana menyikapi keadaan itu (kemarau meruang dalam kamar
jiwa kuncup bunga).Apakah kita bisa menyelesaikan dengan baik atau kita justru terpuruk
bersama keadaan yang sangat genting, hancur dan luruh seperti dijelaskan pada diksi
berguguran sebelum
jadi buah.
Sebuah pengharapan
yang sangat diidamkan dalam menghadapi situasi yang memanas adalah suatu
kesejukan yang dapat melepaskan dahaga jiwa, dapat menyuburkan kegersangan
tanah hati dan melapangkan dada. Jika hal itu dikiaskan kepada alam maka larik
puisi DAM satusatu kupungut tetes hujan/menyiram dahaga jiwa ini telah memberikan jawaban kepada kita, bahwa tetes hujan itu dapat
berupa siraman rohani dan petuah-petuah
bijak, sehingga jiwa seseorang yang sedang dalam permasalahan atau sedang
memanas berangsur dapat tersejukan atau emosi dapat terkendali.
Lalu memasuki bagian kedua,
mencintai ranah ini
serupa membalut luka bernanah
teriris oleh sayatan sejarah
yang dibelah
bendera setengah tiang tertunduk gamang
penuh genang kenang cahaya kunangkunang.
Dari tubuh puisi bagian
ini saya merasa terkejut, terlihat semacam pesimis terhadap sesuatu yang selama
ini menggelisahkan jiwa. Timbul pula berbagai pertanyaan mengapa memilih diksi mencintai ranah ini/serupa membalut luka
bernanah ini? Seperti ada penyesalan terhadap kebaikan yang selama ini DAM
pelihara. Seperti sebuah kesia-siaan dan keputusasaan terhadap upaya yang dia
lakukan. Kemudian DAM meneruskan lagi bait keduanya teriris oleh sayatan sejarah/yang dibelah, di sini saya menemukan sebab
kegelisahan mengapa DAM merasa putus asa terhadap usahanya selama ini. Ya,
berbagai masalah yang ada di dunia timbul karena ulah manusia itu sendiri.
Bermacam bencana baik alam maupun bencana yang lainnya itu timbul karena
pergeseran sejarah dan kebudayaan. Mungkin saat itu DAM gelisah karena usahanya
terhadap dunia yang selama ini dia geluti telah teracuni oleh pergeseran
kebudayaan yang akan mengubah budaya timur menjadi kebarat-baratan. Kedukaannya
juga tidak berakhir di sini, DAM pun
mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda dia turut berduka atas
amburadulnya sistem yang ada di tanah kita tercinta tercinta ini (bendera setengah tiang tertunduk gamang/penuh
genang kenang cahaya kunangkunang.). Hal-hal yang terdahulu akan terus
menjadi kenangan dan kemungkian tidak akan orang yang peduli lagi sehingga
ketersesatan semakin jauh. Dari sinilah kita tahu mengapa kita perlu penyejuk
tadi, menghadapi hal-hal yang rumit seperti ini seharusnya kita perlu tetesan hujan
yang siap menyuburkan jiwa, meredakan amarah dan melapangkan dada.
Kemudian pada bagian
ketiga,
"pa, mari kubantu punguti daun dan
bunga"
nurani tersenyum tawar, terasa benarbenar
hambar
"inikah makam pahlawan itu pa?"
debu menutup segala pandang
tubuhku mengabu dan mengejang
Saya seperti mendapati
sebuah bisikan halus yang ditujukan kepada lirik “pa”. Sebenarnya yang selalu
dipanggil “pa” oleh kebanyakan orang adalah seseorang kepala rumah
tangga—sebutan modern untuk “bapak”. Yaitu seseorang yang mempunyai wibawa,
kebijakan dan juga ketegasan dalam menyelesaikan masalah. Orang yang sanggup
melindungi dari berbagai ancaman yang terjadi dalam sebuah wadah—baik dalam
makna luas maupun sempit. Dengan sebuah ketulusan dan terdengar perih seseorang
mengucap "pa, mari kubantu punguti daun dan bunga”
. Daun dan bunga adalah bagian utama tanaman yang mempunyai peran penting
untuk kelangsungan hidup tanaman tersebut yang selalu saja bersiklus. Bisa jadi
metafore ini adalah bagian-bagian yang terpenting dalam kehidupan atau
masalah-masalah yang paling utama dalam hidup yang terus berputar dan berubah
dai waktu ke waktu. Menyikapi hal itu “pa” lirik yang masih memiliki nurani merasakan
kebahagiaan dan keharuan meskipun rasa itu terlalu dipaksakan (nurani tersenyum tawar, terasa benarbenar
hambar) adanya namun hal itulah yang sanggup mengobati atau menyejukkan
jiwa.
Seseorang itu juga
bertanya, "inikah makam pahlawan itu
pa?". Dengan kata “pahlawan” dalam baris ini saya seperti melihat
kembali peristiwa yang sudah lama terjadi di Indonesia yaitu peristiwa pembunuhan
6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 (G30S/PKI). Dalam
gerakan ini begitu banyak darah yang tercecer menodai putihnya jiwa. Juga
peristiwa yang ada di luar negeri yaitu pengeboman gedung WTC Amerika Serikat.
Serta masih banyak peristiwa-peristiwa lainnya yang melibatkan nyawa-nyawa yang
tidak berdosa berdosa menjadi korban. Sebagai seorang penyair tentu DAM
menyaksikan peristiwa itu dalam keadaan prihatin, sehingga gejolak jiwanya
selalu gelisah, juga serta perlu siraman agar kembali tenang menghadapi
ujian-ujian itu. Kata “makam” sendiri adalah tempat peristiahatan manusia yang
terakhir dan biasanya “pahlawan” adalah orang yang berjasa dan gugur dalam
melaksanakan tugasnya. Dalam metafore ini sepertinya DAM menyuruh kita merenung
kembali tentang perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh leluhur kita.
Sudahkah kita mengisi dengan kebaikan atau justru kita berbuat kerusakan di
atasnya.
Kemudian sebagai
penutup DAM mengajak kita untuk mencermati kehidupan, jika semua keburukan
telah menguasai hati, pikiran dan perbuatan, sudah pastilah manusia itu akan
tertimpa dosa, bahkan dengan mata kepala pun sudah tidak mampu melihat lagi (debu menutup segala pandang). Semua
inderanya seperti mati, hanyalah suatu kerusakan yang dapat mereka lihat. Hanyalah
kesenangan pribadi yang mereka agungkan, tanpa mengenal saudara bahkan keluarga
sendiri. Lalu muncullah “ku” lirik dalam baris tubuhku mengabu dan mengejang, hal ini sungguh mengejutkan, yang
tadinya begitu rapat dapat bersembunyi dan merekat dalam kata yang lain,
mengapa tiba-tiba bisa dimunculkan? Lalu pada kata “mengabu dan mengejang” jika ini adalah sebuah peritiwa dan
dianalisa pakai logika sungguh tidak masuk akal jika tubuh yang mengabu dapat
mengejang. Mungkin di sini DAM hanya mengejar rima akhir saja, agar rimanya
sama dengan baris sebelumnya. Namun demikian tetap saja kembali ke awal,
manusia akan kembali ke asalnya. Segala beban yang ditanggung di dunia ini
pasti akan berakhir dan dimintai pertanggungjawaban kelak. Dalam hal inilah
peran pentingnya siraman rohani di tengah kegersangan dan kemarau jiwa. Dengan
dosa-dosa yang diperbuat, DAM berharap kepada kita untuk segera bertobat dan
menyucikan diri supaya dosa-dosa terampuni oleh Sang Pencipta.
Sebagai penutup saya
mengutip kata mutiara, “manusia adalah makhluk yang sempurna dengan akhlaknya,
namun manusia yang hidup di dunia ini tiada yang sempurna”. Oleh karenanya
marilah kita segera mengoreksi diri, menyadari kesalahan dan segera bersuci
serta taubat sebelum ajal menjemput.
Luluk Andrayani
Ma On Shan, 22 Mei
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar