MENEMBUS MISTERI PUISI WIDYA
: Menyibak Hubungan Manusia
Dunia puisi memang kadang membingungkan, tetapi asyik untuk
ditelisik sebab setiap puisi selalu mempunyai daya tarik tersendiri, baik itu
puisi terang, remang bahkan yang gelap sekalipun. Sebagai seorang apresiator
seharusnya tidak perlu takut tentang benar atau tidaknya apresiasi tentang
puisi itu. Sebab puisi tidak melulu menuju kepada satu titik, melainkan bisa
jadi penafsiran pembaca satu dengan lain berbeda-beda.
Dalam mengapresiasi puisi seorang apresiator akan mencari
titik-titik tertentu yang menjadi kunci
utama puisi yang diapresiasinya. Jika telah menemukan kunci ini maka tidak akan
ada istilah puisi terang, remang dan gelap. Tinggal bagaimana selanjutnya
apresiator itu mengaitkannya dengan seluruh elemen kehidupan.
Salah satu contoh puisi terang.
Ini bicara blak-blakan saja, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehinga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami
sebenarnya pada uang
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Sehingga buat apa basi dan basa
Sila kami Keuangan
Yang Maha Esa
Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kuasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu
jelas ideologi rupiah
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan
Setiap jeroan berjajar kelihatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku memang
keserakahan.
1998 (SYAIR EMPAT KARTU DI TANGAN, MAJOI hal. 28)
Puisi Taufik Ismail ini adalah puisi terang, sebab apa yang
dimaksud oleh penyair dapat langsung diketahui tanpa harus bersusah payah
mencari kunci dan kaitannya. Kunci utama puisi ini adalah kata “uang” yang
kemudian dijabarkan atau dikaitkan sedemikian rupa dengan keadaan atau hal-hal
yang berbeda sehingga tercipta seolah-olah membentuk suatu pemikiran yang
berbeda. Namun pada hakikatnya masih tetap kembali kepada kunci utama.
Berbeda lagi dengan puisi di bawah ini.
HUJAN SEPTEMBER
/1/
lantaran debu nempel di tangkai dan lembarlembar daun
kuangkat selang sebelum matahari bangkit dari rasa sakit
kemarau meruang dalam kamar jiwa kuncup bunga
berguguran sebelum jadi buah
satusatu kupungut tetes hujan
menyiram dahaga jiwa
/2/
mencintai ranah ini
serupa membalut luka bernanah
teriris oleh sayatan sejarah
yang dibelah
bendera setengah tiang tertunduk gamang
penuh genang kenang cahaya kunangkunang
/3/
"pa, mari kubantu punguti daun dan bunga"
nurani tersenyum tawar, terasa benarbenar hambar
"inikah makam pahlawan itu pa?"
debu menutup segala pandang
tubuhku mengabu dan mengejang
september 2011
(SKETSA SAJAK DIMAS ARIKA MIHARJA, 2012)
Puisi yang ini membuka gerbang remang-remang sehingga dalam
pengapresiasiannya harus mengetahui seluk-beluk kunci utama yang ada dalam
puisi itu. Penggalian puisi remang-remang juga memerlukan jalur alternatif
tentang pengetahuan situasi dan kondisi pada puisi bisa berupa tempat, waktu
atau kejadian-kejadian yang mengikuti kunci utama. Bedanya dengan puisi terang
adalah dimana saat puisi terang meruncing ke satu titik sedangkan puisi
remang-remang bermula dari satu titik.
Lalu bagaimana nasib puisi yang ditulis oleh Widya Arternia
ini? Masuk dalam kategori manakah?
Proklamator Tangis
Ketika pena pertama bertinta puisi
menorehkan kata-kata rapuh
yang meyakini kesendirian
adalah sebuah jawaban
dari pengembaraan
jemari-jemari letih
maka terlahirlah
cermin muda
berembun
air mata
Ketika puisi merasa senasib padaku
bersedih deru wanita dipangkuan
melunglai sebagai kekasih hati
mengisyaratkan pengorbanan
perjalanan liku tanpa asa
maka bebas batin ini
meradang larutan
asin menetes
menghiasi
kertas
putih
Ketika puisi jadi pencerah harapan
lalangbuana kalbu pendosaMu
bersujud cari paduan jiwa
yang Kau sembunyikan
sebagai misteri hidup
di benak rangkaian
makna renungan
sepih kesunyian
awali sebentuk
bait pendasar
baris goyah
emosi diksi
menajam
hasrat
bebas
untuk
nulis
aku
Oleh: Widya
Kuta,6/8/2012
Puisi ini tampil dengan tiphografi meruncing ke bawah, mirip
segitiga siku-siku terbalik. Dari ketiga bait tersebut ukuran segitiganya
berbeda-beda—bait pertama tersusun dari 10 larik, bait kedua 11 larik dan bait
ketiga 18 larik. Jumlah larik dalam bait ini sendiri memiliki makna yang
tersendiri, pada bait pertama terdapat sepuluh larik dan angka 10 mewakili
perintah Tuhan terhadap hamba-Nya. Sepuluh perintah ini berasal dari kitab
Taurat yang diturunkan kepada
Nabi Musa
AS dan dikenal sebagai “10 Hukum Taurat.” Sampai saat ini semua agama menganjurkan
umatnya untuk menjalankan sepuluh perintah tersebut. (Sumber
http://id.wikipedia.org/wiki/Sepuluh_Perintah_Allah).
Pada bait kedua mempunyai sebelas larik dan angka 11 itu
sendiri mempunyai peran penting dalam berbagai bidang kehidupan, misal dalam
bidang
matematika, sains, agama, musik,
olahraga dan hal-hal lainnya. Angka 11 ini pula bisa menunjuk kepada
kepastian-kepastian yang berluku(
http://en.wikipedia.org/wiki/11_%28number%29).
Bait terakhir ada delapanbelas larik dan delapanbelas adalah jumlah kitab dari karya
sastra kuno Mahabarata yang ditulis oleh Begawan Vyasa dari India. Buku ini
terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa
= 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini
sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula
terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi. Secara
singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan
saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan
tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra
dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari. Jadi jika dikaitkan
dengan kebudayaan, maka angka delapanbelas adalah angka akar peradapan kerajaan
Hindu di Indonesia. (Wikipedia, Kitab Mahabarata)
Namun demikian bagaimana dengan isi puisi, bisakah menembus
akar dari kisah di sebalik tersusunnya jumlah larik dalam bait tersebut? Di
sini saya mencoba mengupas dengan segala keterbatasan dan ingin menentukan
puisi ini masuk jenis mana?
“PROKLAMATOR TANGIS” adalah judul yang unik dan sepertinya
dalam metafora Widya ingin mengungkapkan perpaduan antara jiwa semangat dan jiwa kerapuhan. Sebab dalam kata “proklamator”
itu sendiri berarti orang yang memberitahukan kepada umum/khalayak secara
resmi, biasanya proklamator itu mempunyai semangat yang tinggi serta mempunyai
pengaruh yang besar terhadap lingkungannya. Sedangkan kata “tangis” ini lebih
cenderung mendekati lemah atau rapuh dibanding mendekati kebahagiaan atau haru,
dan biasanya tangis itu lebih cenderung mendekati wanita. Sehingga bisa
mengambil kesimpulan bahwa judul ini mengungkapkan tentang semangat dan
kelemahan jiwa dalam berbagai kehidupan, sebab dalam diri manusia pasti terjadi
hal tersebut. Di satu sisi ada semangat yang membara dan di sisi lain ada
ketakutan-ketakutan yang menjegal semangat itu sendiri.
Dalam bait yang pertama tertulis,
Ketika pena pertama bertinta
puisi
menorehkan kata-kata
rapuh
yang meyakini
kesendirian
adalah sebuah jawaban
dari pengembaraan
jemari-jemari letih
maka terlahirlah
cermin muda
berembun
air mata
dan seperti penjelasan sebelumnya tentang kaitan jumlah bait
dan angka 10, dalam bait ini ada sebuah penjelasan tentang kewajiban seorang
penyair (penyair adalah pemilik pena
bertinta puisi). Bahwa seorang penyair yang baik adalah seorang penyair
yang mampu berdiri sendiri dalam kembara katanya. Juga harus mampu mengajari
penyair pemula yang saat ini masih belum mengerti apa itu sebenarnya tujuan
seorang penyair menulis puisi meskipun harus menuai kepedihan yang mendalam (air mata).
Pada bait kedua,
Ketika puisi merasa
senasib padaku
bersedih deru wanita
dipangkuan
melunglai sebagai
kekasih hati
mengisyaratkan
pengorbanan
perjalanan liku tanpa
asa
maka bebas batin ini
meradang larutan
asin menetes
menghiasi
kertas
putih
Pada kaca mata bacaku, terlihat ada takdir yang pasti dalam
bait ini yaitu penciptaan pria dan wanita sebagai pasangan. Jika meraka telah
berjodoh maka sehidup semati mereka akan menjaga kesucian ikatan yang telah
dibangun dalam rumah tangga. Meskipun tak jarang juga halangan dan rintangan
itu selalu ada.
Selanjutnya bait terakhir yang berbunyi,
Ketika puisi jadi
pencerah harapan
lalangbuana kalbu
pendosaMu
bersujud cari paduan
jiwa
yang Kau sembunyikan
sebagai misteri hidup
di benak rangkaian
makna renungan
sepih kesunyian
awali sebentuk
bait pendasar
baris goyah
emosi diksi
menajam
hasrat
bebas
untuk
nulis
aku
dalam bait ini ada penjelasan tentang taubat kepada Tuhan
dan juga tentang penyerahan diri kepada Tuhan. Pengakuan aku lirik tentang
tujuannya dalam mennuliskan puisi (ketika puisi jadi pencerah harapan). Dalam
larik pembuka itu Widya mengatakan bahwa puisi bisa menjadi pencerah bila
dituliskan dengan hati dan tujuan hanya kepada Tuhan.
Namun hal itu juga tidak terlepas dari hubungan manusia
dengan Tuhan. Semua agama pasti ada patokan tersendiri yang mengatur seluk
beluk antara hubungan manusia dengan Tuhan, Islam telah diatur sedemikian rupa
dan detail dalam AlQuran, Kristen dalam Injil, Budha dalam Tripitaka, serta
Hindu dalam kitab Weda/Veda.
Lalu apa hubungan Weda/Veda dan Mahabarata—sebab dalam puisi
ini mengacu pada angka 18 dan 18 merupakan jumlah kitab dari Mahabarata? Di
dalam Chandogya Upanisad (VII.1.2, dan VII.2.1) dinyatakan bahwa Itihasa
(Ramayana dan Mahabharata) dan Purana (kitab-kitab kuno) adalah Veda yang ke-5
(itihasa-puranam pañcamam vedanam vedam), dan mengingat Mahabharata adalah
salah satu dari kitab Itihasa, maka Bhagavadgita dengan sendirinya merupakan
Veda yang ke-5, di samping kitab Catur Veda (Rigveda, Yajurveda, Samaveda
dan Atharvaveda) yang dikodifikasikan terlebih dahulu. (Dikutip dari
Bhagavadgita—
Ajaran Moralitas,
Kemanusiaan dan Kerukunan Umat Beragama, http://www.parisada.org/index.php?Itemid=29&id=501&option=com_content&task=view).
Menjawab pertanyaan, masuk bagian puisi manakah puisi ini?
Bagi saya, puisi ini adalah puisi remang-remang menuju terang, sebab secara
kasat kita akan tahu bagaimana maksud dari puisi tersebut, namun di samping itu
masih ada maksud yang tersembunyi dari puisi tersebut.
Secara keseluruhan puisi ini mengacu kepada hubungan yang
diciptakan manusia yaitu hubungan manusia dengan manusia(baik dengan orang lain
lain maupun dirinya sendiri), hubungan manusia dengan kekuatan alam dan
hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini merupakan sebuah segitiga yang seharusnya
samasisi, sebab hubungan-hubungan itu harus harmoni, selaras dan seimbang, agar
tercipta kehidupan bahagia dunia akhirat. Namun puisi ini jika memakai
tipografi semacam ini bagi saya kurang memenuhi, sebab memakai segitiga
siku-siku. Kekurangan lain dari puisi ini adalah serasa patah dan berdiri
sendiri setiap baitnya jika tidak bisa mengungkapkanapa yang sebenarnya ingin
diangkat, lalu pemilihan judul juga tidak ada hubungan yang klop dengan isi
puisi.
Esais,
Luluk Andrayani
Ma On Shan, November 15, 2012