PERMAINAN BUNYI DEDET SETIADI
Judul Buku: Gembok Sang Kala
Penulis: Dedet Setiadi
Tebal: viii + 100 halaman
ISBN: 978-979-185-385-9
Penerbit: Forum Sastra Surakarta (Cetakan I, Juli 2012)
Pertama kali buku ini sampai di tangan, saya terpana dengan
sampulnya yang memadukan warna biru dengan gambar gembok yang telah berkarat.
Hal ini memutar pikirannku untuk mengingat harta karun yang karam di lautan
lepas. Yang berkemungkinan, Dedet ingin memberitahukan bahwa untuk memahami isi
puisi serupa berburu harta karun.
Di dalam buku ini terdapat 87 puisi Dedet Setiadi yang
ditulis pada tahun 2011-2012. Buku ini diawali dengan puisi berjudul Potret
Diri dan diakhiri dengan Sajak Para Pendaki. Hampir semua puisi yang tertulis
dalam buku ini bertemakan kehidupan atau bisa dikatakan secara khusus yaitu perjalanan
manusia dalam mengisi waktu selama manusia itu hidup di dunia ini—yang berawal
dari perpaduan darah merah dan darah putih sampai kembali merata tanah.
Ada juga puisi-puisi yang menunjukkan nasehat turun-temurun.
Puisinya berjudul Fragmen Perjalanan 1, Fragmen Perjalanan 2 dan Fragmen
Perjalanan 3. Ketiga puisi ini
menjelaskan kepada kita tentang riwayat empat keturunan, yang terhitung dari
kakek/nenek, ayah/ibu. diri kita dan anak-anak kita. Isinya berkisah tentang
perbandingan bagaimana perubahan zaman itu terjadi baik dilihat dari cara
berpakaian, tata letak rumah, sarana transportasi juga kebiasaan-kebiasaan
manusianya. Pada Fragmen Perjalanan 1 menunjukkan itu masih zaman dahulu kala
waktu kakek/nenek Dedet, pada zaman itu semua masih serba sederhana, merka
menggunakn blangkon dan surjan, mainannya gasing, duduk di tikar sambil makan
ubijalar rebus. Lalu pada Fragmen Perjalanan 2 mengalami perkembangan yaitu
pada zaman bapak/ibu dan kelahiran Dedet, waktu itu banyak anak-anak yang telah
mengenal huruf hijaiyah, tidak main gundu lagi, lalu pakaiannya sudah berubah
memakai sarung dan kopiah, dan tempat duduknya sudah di kursi rotan. Sedang
pada Fragmen perjalanan 3, nah… ini dia zaman modern yang saat ini kita semua
lalui, semua serba modern dan zaman internetisasi. Dari ketiga puisi itu saya
menyaksikan betapa drastic perubahan hidup yang dialami oleh manusia, padahal
masih empat keturunan saja.
Uniknya lagi, puisi-puisi Dedet yang tertulis di dalam buku
ini adanya mengambil tiruan bunyi dari benda-benda yang ada di sekitar kita.
Contohnya,
…
segerombol anak berlarian,
bermain ketapel
main perang-perangan
seperti barisan
tenntara di medan gerilya
plok!
seorang menembakkan
ketapel ke udara
…
(KISAH SEEKOR BURUNG SAJAK, Hal. &7)
…
tiba-tiba dari ceruk
malam
berkelibat sebilah
kelewang, menebas-nebas keheningan
crak!
crak!
darah menyembur dari
kesadaran
yang terpotong dan
tergeletak di lantai ruangan
…
(NOCTURNO, Hal. 16)
…
pyar!
suara embun itu pecah,
menebarkan jutaan cahaya
cinta menujju alam
baka
(PELUKIS EMBUN, Hal. 64)
dan masih banyak lagi tiruan-tiruan bunyi lainnya. Hal ini bisa membuat imajinasi atau bayangan saya seandainya benar-benar menghadapi sesuatu yang ingin Dedet ungkapkan dalam puisinya itu. Misalkan saja saya saat itu sedang bermain ketapel dan melentingkan batu lalu batu itu mengenai sasaran pasti suaranya jelas terdengar.
Dedet juga mengubah seluruh benda-benda mati menjadi seolah-olah
hidup dalam puisinya. Semuanya berbicara sendiri-sendiri menurut tempat dan
waktunya. Bebatuan, pepohonan, debu, air, udara bahkan sampai ke toilet pun
bisa hidup dalam diksi puisinya.
Ada satu puisi yang sungguh menggelitik hati, mengajarkan
kepada kita tentang kesederhaan namun justru dari sederhana itu menjadikan kita
sebagai kekuatan yang tidak terbandingi. Bahwa semua orang saling melengkapi
satu dengan yang lainnya. semua mendapatkan tempat sesuai dengan peranan dan
kemampuan masing-masing. Kita semua adalah berbeda, namun perbedaan itu
bukanlah hal yang menjadikan perpecahan, tapi perbedaan adalah kekayaan dalam
kehidupan.
MOZAIK TAMBAL SULAM
:
kepada semua
Jadilah pecahan batu
Untuk menjadi fondasi
rumahmu
Jadilah sebatang kayu
Untuk menjadi tiang
yang menyangga rumahmu
Jadilah selembar sirap
Untuk menjadi atap
bagi rumahmu
Jadilah apa saja
Untuk mengisi yang
belum ada
Itulah hakikat beda
Untuk menuju bangunan
yang sempurna
Magelang, 2012
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar