ANAKKU
"Mama, Papa dimana Ma? Kenapa Asma tidak punya papa,
Ma?" tanya gadis kecil yang baru berumur tiga tahun suatu senja pada Dara.
Dara tersentak dari lamunananya, apa yang harus aku katakan? Kalimat apa yang harus kurangkai agar anak
ini mengerti? Aku tahu hal ini pasti terjadi, namun ini terlalu cepat namun ini
terlalu cepat dari yang kuperkirakan. Aku belum menyiapkan kata yang tepat.
"Mama, kok diam?" suaranya kembali memecah lamunan
Dara. "Mama aku juga ingin seperti teman yang di ujung itu," kata Asma
lagi sambil menunjuk keluarga kecil yang jalan-jalan juga di taman itu.
Dara hanya diam, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang
sedang,dia alami selama ini. Ada kebahagian sekaligus bencana dalam hidupnya.
Kejadian ini sungguh di luar skenario yang dia ingin tulis selama ini.
Di kampungnya, Dara adalah bunga desa, hidup sederhana
sebagai seorang bidan muda yang baru menyelesaikan pendidikannya. Karena di
puskesmas desanya belum ada bidan yang menggantikan bidan yang sebelumnya, maka
dengan mudah dia mendapatkan kerja itu.
Meskipun dibilang dia sudah mapan, namun jika ditanya
masalah pasangan hidup dia akan menjawab dengan senyuman dan kata yang sama,
aku sedang menunggu seseorang yang telah mengikat janji denganku.
Namun takdir berkata lain, selama ini dia hanya menanti
kekosongan. Keyakinannya mulai berkurang ketika Arya, seseorang yang
ditunggunya itu tidak pernah menghubunginya. Dara hanya berharap dan janji
adalah janji yang harus ditepati sebab
janji adalah hutang yang harus dibayar. Dara tidak mau nmengigkarinya dan dia
hanya berpikir mungkin kekasihnya itu sibuk dengan pekerjaannya.
Hingga suatu senja yang muram sebab hujan tak berhenti dari
pagi, Dara menerima sebuah telepon dari nomor yang tidak dia kenal namun
setelah dia angkat dia tahu betul siapa yang meneleponnya itu. Yang tak lain
adalah Arya, kekasihnya yang dia tunggu selama ini.
“Maafkan aku Dara…”
“Tidak apa-apa aku mengerti kok, kamu pasti sibuk Mas Arya,
sebab kerjamu sekarang di rumah sakit besar ibukota.”
“Bukan itu yang kumaksud, Dara.”
“Lalu kapan kamu ke sini Mas Arya?”
“Dara aku minta maaf, tentang janji kita…”
“Iya saya mengerti, tapi pulanglah dulu Mas!” suara Dara
penuh harap dan haru.
“Bukan itu yang kumaksud Dara, tolong dengarkan dulu
penjelasan saya.” Suasana menjadi hening, Dara dan Arya sama-sama diam. “Dara
aku terpaksa tidak bisa menepati janji setia kita.”
Dara terdiam, benarkah apa yang dia dengar itu,”Kapan Mas
Arya pulang?” hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
“Dara aku benar-benar minta maaf, Dara. Tolong jangan
menantiku lagi. Dan berbahagialah kamu.”
Senja yang hujan, senja yang berkabung, membanjir airmata
dan bah bersamaan. Dara melarikan segala kenangannya hari itu juga. Tiada siapa
yang tahu, tiada siapa yang mengerti rasanya saat itu. Dia masih belum percaya
tentang apa yang didengarnya. Da masih menumpukan harapnya pada kekosongan.
Ambulance baru saja tiba di puskesmas tersebut, mengangkut
dua tubuh yang bersimbah darah. Dara mematung bisu, menghadapi salah satu
pasien dari ambulance tersebut, seorang wanita muda sedang hamil tua dengan
darah bersimbah di sana sini. Wanita itu masih setengah sadar dan mengerang
kesakitan sambil memegang perutnya.
“Tolong selamatkan anak saya… tolong!” suaranya terbata dan
memandang penuh harap terhadap Dara.
Belum pernah Dara menghadapi situasi yang seperti ini, namun
Dara harus menyelamatkan dua nyawa sebisa mungkin, dia pun secepat kilat
beraksi sambil membersihkan darah yang bersimbah di kepala wanita tersebut. Dia
harus membantu persalinan darurat ini. Lalu dia pun mengisyaratkan
perintah-perintah kepada wanita itu, namun keadaan wanita itu terlalu lemah
sehingga keadaan semakin memburuk.
“ Tolong selamatkan anakku dan berjanjilah untuk mengasuhya
kelak, Mbak.” Kata itu terbata lirih dari suara wanita itu disaksikan beberapa
perawat pembantu Dara.
“Ya, Mbak, tapi Mbak harus kuat dulu.”
Dengan mengerahkan sekuat tenaga terakhirnya, wanita itu
akhirnya bisa melahirkan anaknya, namun kebahagiaan itu justru akhir dari hidup
wanita itu. Tangis bayi itu adalah tangis kepedihan kehilangan seorang ibu. Bayi
itu sudah dicap sebagai anak piatu. Dan Dara baru sadar bahwa janjinya adalah
janji yang harus ditepati.
Sementara di ruangan lain, seorang laki-laki berusaha
berjuang melawan malaikat yang ingin menjemput nyawanya. Dialah bapak dari anak
yang baru lahir tersebut. Sebab mereka adalah sepasang suami istri yang
berkunjung ke desa tersebut. Alangkah terkejutnya Dara, setelah tahu bahwa
lelaki tersebut adalah kekasihnya, Arya.
Lelaki tersebut sadar namun luka parah di kepalanya tidak
bisa menjamin untuk hidupnya, ketika dara mendekatinya dan menyorongkan
bayinya. Arya hanya tersenyum tipis.
Dara menghela nafas, ketika tangan mungil mengentuh pipinya.
Lembut tangan itu menerbangkan lamunannya.
“Mama, papa dimana, Ma?” tanyanya kembali berulang.
“Asma…” suara Dara tersendat. “Asma harus belajar dan jadi
anak yang pandai agar kelak kalau papa pulang, papa bangga terhadap Asma.”
Kata itulah yang Dara ucapkan, benarkah kalimat ini? Sedangkan pada kenyataannya ayah dan ibunya
tidak mungkin lagi kembali ke dunia ini. Mungkin mereka telah bahagia di alam
sana.
Dara tidak merasa terbebani dengan semua kecelakaan ini,
sebab dia harus membesarkan anak dari orang yang dia cintai. Dan dia tahu bahwa
semua ini sudah diatur oleh-Nya. Dia juga teringat cerita terakhir dari
almarhum Arya, bahwa pernikahan mereka tidak direstui oleh kedua belah pihak,
namun karena kecelakaan—istri Arya hamil duluan, mereka menikah siri dan Arya
mengkhianatinya.
Asma telah resmi menjadi anak angkat Dara, sejak anak itu
baru lahir, namun Dara tidak tahu harus bagaimana meghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi esok hari, dia hanya bisa berserah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar