Rabu, 04 April 2012

Ketika Dedet Setiadi Menghitung Umur


MENGHITUNG UMUR: BISAKAH?


Urip ning alam donya iku paribasane mung mampir ngombe (hidup di dunia ibaratnya singgah untuk minum), begitu pepatah jawa mengatakan. Benarkah seperti itu?.

Allah berfirman:
"Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. 23:114)

"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. 23:115)

Dari kedua firman di atas kita bisa mengetahui bahwa manusia hidup di bumi ini memang hanya sementara. Suatu saat pasti akan kembali kepada Allah yang menciptakan kehidupan ini. Dan Tuhan menciptakan manusia itu tidak untuk bermain-main, melainkan dalam “sementara” manusia diharapkan mempunyai bekal untuk memcahkan rumus kehidupan dan siap kembali kepada-Nya. Namun semakin lama manusia semakin melupakan kodratnya, berbuat sesuka hatinya, dan tidak lagi mengenal apa itu dosa dan pertanggung jawaban. manusi alebih menyukai keindahan, walaupun mereka tidak tahu apakah dalam keindahan itu ada kebaikan atau tidak.

Meskipun demikian, manusia hakikatnya masih diberikan rasa takut untuk menghadapi kematian dan mereka akan meramalkan, menerka dan mengira-ngira kapan datangnya. Padahal apa yang mereka lakukan itu semua tidak berguna, karena jodoh, rezeki dan mati tetap menjadi rahasia Illahi. Melihat atau bahkan merasakan kepincangan-kepincangan yang terjadi di bumi ini seorang penyair yang selalu menyuarakan sindiran halusnya tetapi langsung menancap ke sasaran, Dedet Setiadi, menuliskan puisi yang menarik untuk ditelisik, apa sebenarnya yang terkandung di dalamnya. Sebuah sajak yang sederhana memang, tapi mengungkap kenyataan yang terjadi.


PROSA UNTUK PARA PEJALAN

berapa lembar kalender tersisa pada dinding semesta
kita tak usah menghitungnya -- biarlah tetap menjadi Rahasia!

seperti juga kalian
saya pun ingin berjalan sampai lembar kalender penghabisan
membaca tanda-tanda zaman
yang tercantum di catatan kaki peradaban
sebelum segalanya roboh bergelimpangan

saya pun merasa hanya sebagai pejalan
mengisahkan debu pada jejak sepatu, mengisahkan keinginan pada setiap percakapan
mengubur apa yang layak sebagai kenangan
mengabadikan apa yang harus diabadikan

berapa lembar kalender tersisa pada dinding semesta
saya pun tak hendak menghitungnya -- biarlah tetap menjadi Rahasia!

Magelang, 2012

Dari judul yang diberikan yaitu PROSA UNTUK PARA PEJALAN, secara tidak langsung akan muncul pertanyaan dan pernyataan. Pertanyaannya mengapa Dedet menggunakan kata “prosa” sebagai judul, padahal tulisannya ini tergolong  pendek  yaitu hanya terdiri dari empat bait (tiga belas baris) sedangkan prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh kaidah perpuisian dan biasanya berbentuk panjang. Namun apapun itu penyairnya telah menyebutnya prosa, mungkin di sini mempunyai makna lain yaitu kebebasan seseorang untuk tidak terikat kepada aturan-aturan kehidupan. Memang benar, manusia itu pada dasarnya ingin bebas yang sebebas-bebasnya, namun tetap saja tidak bisa bebas karena terbentur juga dengan hak orang lain. Kebebasan ini oleh penyair ditujukan atau dipesan kepada para pejalan. Siapakah para pejalan di sini? Kembali kepada hakikat manusia yang hanya sebentar saja di muka bumi. Kita akan mengetahuinya, bahwa sesungguhnya manusia itu adalah para pejalan dalam perjalanan menuju kehidupan abadi, dan masa mereka berjalan itu dinamakan umur. Masa berjalan manusia satu dengan yang lainnya itu berbeda-beda. Ada yang lama ada pula yang sekejap saja, tergantung kehendak Sang Pencipta.

Menurut saya, prosa untuk para pejalan di sini mempunyai maksud yaitu kebebasan seseorang untuk menentukan jalan yang menjadi pilihannya dalam menghadapi kehidupan yang sementara ini. Mungkin juga kebebasan sang penulisnya untuk berada di mana. Lalu memasuki bait pertamanya yang hanya terdiri dari dua baris yang berbunyi berapa lembar kalender tersisa pada dinding semesta/ kita tak usah menghitungnya -- biarlah tetap menjadi Rahasia!.

Kalender, siapa sih yang tidak tahu apa itu kalender, semua manusia pasti akan mengenalnya sebagai alat untuk mengetahui waktu, yang terdiri dari angka-angka yang menunjukan tahun, bulan, tanggal dan hari. Manusia tidak mungkin lepas dari perhitungan yang ada di kalender tersebut, membuat perencanaan di atasnya. Jika dilihat dari persamaan sebagai alat penghitung waktu, kalender itu adalah umur manusia, yang setiap hari selalu saja berkurang hitungannya. Meskipun kelihatannya bertambah namun sebenarnya adalah berkurang dari jatah yang diberikan. Kalau zaman dahulu, kalender itu berupa lembaran-lembaran per hari. Dan setiap harinya akan selalu disobek untuk menunjukkan bahwa waktu telah berganti.

Larik pertama, beberapa lembar kalender tersisa pada dinding semesta, ya, hal ini menunjukkan bahwa umur yang kita punyai itu hanya tinggal beberapa lembar. Manusia tidak mungkin bisa menghitungnya apalagi meramalkannya berapa lama lagi dia hidup di dunia. Mungkin esok atau mungkin seribu tahun lagi, akan datang menemui Kekasih Sejati. Yang diharapkan penulis adalah jangan berandai-andai jalani saja apa adanya, kerena semua itu tetap menjadi rahasia Illahi. Hal ini tercermin pada baris kita tak usah menghitungnya -- biarlah tetap menjadi Rahasia!. Namun di sini kita akan bertanya mengapa dalam kata Rahasia memakai “R”, bila itu ingin menunjukkan pada Allah SWT, akankah hal ini dapat tertangkap oleh awam. Kemungkinan besar bila yang menikmati hanya kalangan tertentu—misal kalangan agamis dan penyair—saja memang dapat langsung ditangkap dan dimengerti. Mengapa Dedet menulisnya seperti itu, bukan menuliskan rahasia Illahi, ya tentu, setiap penyair memang punya kebebasan, tapi kalau puisi ini adalah kaca bening dan ingin dinikmati oleh kalangan luas, menulis yang lengkap akan mudah dipahami.

Memang penulis berpesan atau menulis lewat puisinya ini bukan hanya orang lain, tapi juga untuk dirinya sendiri. Dia ingin meniti kehidupan ini, berjalan apa adanya sampai maut menjemputnya. Keinginannya itu terlihat dari dua baris bait duanya yang berbunyi seperti juga kalian/ saya pun ingin berjalan sampai lembar kalender penghabisan. Dia pun ingin mengerti apa yang terjadi di dunia ini, mempelajari seluk-beluk  yang mungkin akan berubah dari satu masa ke masa yang lain. Dia pun ingin tahu bagaiman kehidupan sebelumnya dan apa yang menjadi sejarah, kemudian dia ingin membandingkannya mana yang lebih tepat untuk dia simpan sebagai memori dalam hidupnya yang singkat itu. Mempelajari hal yang baik dan mengamalkannya selama jiwa masih bersatu dengan raganya dan menjadikannya bekal di akhirat nanti, sebelum hari kiamat datang meratakan semua yang ada di bumi ini. membaca tanda-tanda zaman/ yang tercantum di catatan kaki peradaban/ sebelum segalanya roboh bergelimpangan.

Dalam hal ini Dedet juga sebagai pengembara kehidupan itu sendiri, dia pun mengakui bahwa dia pun sedang mencari bekal, saya pun merasa hanya sebagai pejalan. Sebagai pengembara dia berpikir bahwa kehidupan ini selalu penuh dengan dosa yang harus dibersihkan agar hidupnya nanti tidak penuh kotoran-kotoran, sebelum terlambat maka dia pun ingin menghapusnya, karena hakikat mengisahkan debu pada jejak sepatu, adalah masalah yang setiap hari lakukan namun tidak disadari bahwa hal itu adalah menjadi dasar untuk memudahkan kita mengarungi perjalanan. Jika debu itu dibersihkan setiap hari, maka akan berjalan di mana pun pejalan itu akan merasa percaya diri karena apa yang dipakainya bersih. Begitupun dengan keadaan jiwa manusia, apabila jiwanya bersih maka, dia akan tenang dan akan siap suatu saat dipanggil menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Meskipun demikian sebagai seorang pejalan pasti mempunyai tujuan atau yang menjadi keinginan hatinya. Di sana semua akan menyatakan dan mengungkapkan serta berusaha untuk mewujudkan keinginanannya itu. Penulis menuliskan, mengisahkan keinginan pada setiap percakapan, percakapan dengan siapakah yang dimaksud. Kemungkinan adalah percakapan dengan Tuhan, melalui doanya, atau bisa juga percakapan antara manusia yaitu komunikasi untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginannya, mencari informasi dan lain sebagainya. Lalu dari semua yang dilakukannya manusia harus bisa menyaring mana yang baik dan mana yang buruk, yang baik harus dia kerjakan dan lestarikan dan yang buruk haruis dia tinggalkan bahkan harus dijauhinya agar mereja selamat, mengubur apa yang layak sebagai kenangan/ mengabadikan apa yang harus diabadikan.

Lalu pada bait terakhir penyair juga mengingatkan lagi berapa lembar kalender tersisa pada dinding semesta/saya pun tak hendak menghitungnya -- biarlah tetap menjadi Rahasia!, namun hal ini adalah untuk dirinya sendiri agar selalu ingat kepada Tuhan, jangan meramalkan apa yang menjadi rahasia Illahi biar itu tetap menjadi rahasia. Ynag terpenting adalah tetaplah beribadah, berusaha dan berserah kepada-Nya, apapun yang terjadi agar manusia siap menerima apapun yang terjadi ke depannya.

Jika dilihat dari keseluruhan jumlah baris dari puisi adalah 13 dan angka ini adalah angka ganjil dan penuh rahasia seperti halnya umur manusia. Apapun yang terjadi manusia tidak akan pernah bisa untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Jika Tuhan belum berkehendak di atasnya, maka semua itu tidak akan pernah terjadi.

Luluk Andrayani
Ma On Shan 3412