Jumat, 07 Desember 2012

KUMPULAN CERITA PENDEK

SENJA TEMARAM DI PANTAI BLADO
: Kumpulan Cerita Pendek 28 Cerpenis Trenggalek







Editor : Misbahus Surur
Cetakan Pertama: Desember 2012
ISBN: 978-979-185-400-9

Hak cipta dilindungi undang-undang
All Right reserved

Penerbit: Quantum Litera Center (QLC)
Trenggalek, Jawa Timur
Bekerjasama dengan Penerbit Elmatera
Jl. Waru 73 kav 3, Sambilegi Baru, Maguwoharjo Yogyakarta
Telp. 0274-4332287, 486466
email: penerbitelmatera@yahoo.co.id
Anggota IKAPI

KISAH TENTANG ALAM, SITUASI SOSIAL, SUKA DUKA DAN HARAPAN MANUSIA-MANUSIA TRENGGALEK DARI PANDANGAN 28 PENULIS CERITA TRENGGALEK
 
 ”Cerita yang ditulis lebih dari duapuluh delapan orang dengan beragam usia dan pekerjaan yang hampir keseluruh
annya berasal dari Trenggalek ini, penting. Setidaknya untuk menandai sebuah kota kabupaten kecil bergelung bukit, gunung, dan hijau hutan. Dan ber-airmata-kan sungai dan lautan... Penting juga misalnya kelak, bagaimana dan seberapa kuat mereka kemudian, para cerpenis di buku ini, berhasrat menyuarakan—meski dengan srawang-srawang—apa yang namanya kekhasan daerah serta lokalitasnya. Siapa tahu juga, di sini ada yang mencatatkan hal-ihwal itu. Atau bahkan mengakomodasi sesuatu yang sebenarnya tak sempat terpikirkan atau masih bersembunyi dan perlu didedahkan. Barangkali mulanya memang hanya itulah passion dari kumpulan cerita yang telah terbukukan ini. Ya, semata untuk menandai Trenggalek melalui cerita pendek”.

MISBAHUS SURUR, Komite Sastra Dewan Kesenian Trenggalek; dosen Bahasa Indonesia UIN Maaliki Malang

Kamis, 15 November 2012

ESAI PUISI



MENEMBUS MISTERI PUISI WIDYA
: Menyibak Hubungan Manusia


Dunia puisi memang kadang membingungkan, tetapi asyik untuk ditelisik sebab setiap puisi selalu mempunyai daya tarik tersendiri, baik itu puisi terang, remang bahkan yang gelap sekalipun. Sebagai seorang apresiator seharusnya tidak perlu takut tentang benar atau tidaknya apresiasi tentang puisi itu. Sebab puisi tidak melulu menuju kepada satu titik, melainkan bisa jadi penafsiran pembaca satu dengan lain berbeda-beda.

Dalam mengapresiasi puisi seorang apresiator akan mencari titik-titik tertentu yang menjadi  kunci utama puisi yang diapresiasinya. Jika telah menemukan kunci ini maka tidak akan ada istilah puisi terang, remang dan gelap. Tinggal bagaimana selanjutnya apresiator itu mengaitkannya dengan seluruh elemen kehidupan.

Salah satu contoh puisi terang.

Ini bicara blak-blakan saja, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehinga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang

Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Sehingga buat apa basi dan basa
Sila kami Keuangan Yang Maha Esa

Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kuasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah

Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan
Setiap jeroan berjajar kelihatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku memang keserakahan.

1998 (SYAIR EMPAT KARTU DI TANGAN, MAJOI hal. 28)

Puisi Taufik Ismail ini adalah puisi terang, sebab apa yang dimaksud oleh penyair dapat langsung diketahui tanpa harus bersusah payah mencari kunci dan kaitannya. Kunci utama puisi ini adalah kata “uang” yang kemudian dijabarkan atau dikaitkan sedemikian rupa dengan keadaan atau hal-hal yang berbeda sehingga tercipta seolah-olah membentuk suatu pemikiran yang berbeda. Namun pada hakikatnya masih tetap kembali kepada kunci utama.

Berbeda lagi dengan puisi di bawah ini.

HUJAN SEPTEMBER

/1/
lantaran debu nempel di tangkai dan lembarlembar daun
kuangkat selang sebelum matahari bangkit dari rasa sakit

kemarau meruang dalam kamar jiwa kuncup bunga
berguguran sebelum jadi buah

satusatu kupungut tetes hujan
menyiram dahaga jiwa

/2/
mencintai ranah ini
serupa membalut luka bernanah

teriris oleh sayatan sejarah
yang dibelah

bendera setengah tiang tertunduk gamang
penuh genang kenang cahaya kunangkunang

/3/
"pa, mari kubantu punguti daun dan bunga"
nurani tersenyum tawar, terasa benarbenar hambar

"inikah makam pahlawan itu pa?"

debu menutup segala pandang
tubuhku mengabu dan mengejang

september 2011
(SKETSA SAJAK DIMAS ARIKA MIHARJA, 2012)

Puisi yang ini membuka gerbang remang-remang sehingga dalam pengapresiasiannya harus mengetahui seluk-beluk kunci utama yang ada dalam puisi itu. Penggalian puisi remang-remang juga memerlukan jalur alternatif tentang pengetahuan situasi dan kondisi pada puisi bisa berupa tempat, waktu atau kejadian-kejadian yang mengikuti kunci utama. Bedanya dengan puisi terang adalah dimana saat puisi terang meruncing ke satu titik sedangkan puisi remang-remang bermula dari satu titik.


Lalu bagaimana nasib puisi yang ditulis oleh Widya Arternia ini? Masuk dalam kategori manakah?


Proklamator Tangis

Ketika pena pertama bertinta puisi
menorehkan kata-kata rapuh
yang meyakini kesendirian
adalah sebuah jawaban
dari pengembaraan
jemari-jemari letih
maka terlahirlah
cermin muda
berembun
air mata

Ketika puisi merasa senasib padaku
bersedih deru wanita dipangkuan
melunglai sebagai kekasih hati
mengisyaratkan pengorbanan
perjalanan liku tanpa asa
maka bebas batin ini
meradang larutan
asin menetes
menghiasi
kertas
putih

Ketika puisi jadi pencerah harapan
lalangbuana kalbu pendosaMu
bersujud cari paduan jiwa
yang Kau sembunyikan
sebagai misteri hidup
di benak rangkaian
makna renungan
sepih kesunyian
awali sebentuk
bait pendasar
baris goyah
emosi diksi
menajam
hasrat
bebas
untuk
nulis
aku

Oleh: Widya
Kuta,6/8/2012

Puisi ini tampil dengan tiphografi meruncing ke bawah, mirip segitiga siku-siku terbalik. Dari ketiga bait tersebut ukuran segitiganya berbeda-beda—bait pertama tersusun dari 10 larik, bait kedua 11 larik dan bait ketiga 18 larik. Jumlah larik dalam bait ini sendiri memiliki makna yang tersendiri, pada bait pertama terdapat sepuluh larik dan angka 10 mewakili perintah Tuhan terhadap hamba-Nya. Sepuluh perintah ini berasal dari kitab Taurat yang diturunkan kepada  Nabi Musa AS dan dikenal sebagai “10 Hukum Taurat.” Sampai saat ini semua agama menganjurkan umatnya untuk menjalankan sepuluh perintah tersebut. (Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Sepuluh_Perintah_Allah).

Pada bait kedua mempunyai sebelas larik dan angka 11 itu sendiri mempunyai peran penting dalam berbagai bidang kehidupan, misal dalam bidang  matematika, sains, agama, musik, olahraga dan hal-hal lainnya. Angka 11 ini pula bisa menunjuk kepada kepastian-kepastian yang berluku( http://en.wikipedia.org/wiki/11_%28number%29).

Bait terakhir ada delapanbelas larik dan  delapanbelas adalah jumlah kitab dari karya sastra kuno Mahabarata yang ditulis oleh Begawan Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi. Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari. Jadi jika dikaitkan dengan kebudayaan, maka angka delapanbelas adalah angka akar peradapan kerajaan Hindu di Indonesia. (Wikipedia, Kitab Mahabarata)

Namun demikian bagaimana dengan isi puisi, bisakah menembus akar dari kisah di sebalik tersusunnya jumlah larik dalam bait tersebut? Di sini saya mencoba mengupas dengan segala keterbatasan dan ingin menentukan puisi ini masuk jenis mana?

“PROKLAMATOR TANGIS” adalah judul yang unik dan sepertinya dalam metafora Widya ingin mengungkapkan perpaduan antara jiwa semangat dan  jiwa kerapuhan. Sebab dalam kata “proklamator” itu sendiri berarti orang yang memberitahukan kepada umum/khalayak secara resmi, biasanya proklamator itu mempunyai semangat yang tinggi serta mempunyai pengaruh yang besar terhadap lingkungannya. Sedangkan kata “tangis” ini lebih cenderung mendekati lemah atau rapuh dibanding mendekati kebahagiaan atau haru, dan biasanya tangis itu lebih cenderung mendekati wanita. Sehingga bisa mengambil kesimpulan bahwa judul ini mengungkapkan tentang semangat dan kelemahan jiwa dalam berbagai kehidupan, sebab dalam diri manusia pasti terjadi hal tersebut. Di satu sisi ada semangat yang membara dan di sisi lain ada ketakutan-ketakutan yang menjegal semangat itu sendiri.

Dalam bait yang pertama tertulis,
Ketika pena pertama bertinta puisi
menorehkan kata-kata rapuh
yang meyakini kesendirian
adalah sebuah jawaban
dari pengembaraan
jemari-jemari letih
maka terlahirlah
cermin muda
berembun
air mata

dan seperti penjelasan sebelumnya tentang kaitan jumlah bait dan angka 10, dalam bait ini ada sebuah penjelasan tentang kewajiban seorang penyair (penyair adalah pemilik pena bertinta puisi). Bahwa seorang penyair yang baik adalah seorang penyair yang mampu berdiri sendiri dalam kembara katanya. Juga harus mampu mengajari penyair pemula yang saat ini masih belum mengerti apa itu sebenarnya tujuan seorang penyair menulis puisi meskipun harus menuai kepedihan yang mendalam (air mata).

Pada bait kedua,
Ketika puisi merasa senasib padaku
bersedih deru wanita dipangkuan
melunglai sebagai kekasih hati
mengisyaratkan pengorbanan
perjalanan liku tanpa asa
maka bebas batin ini
meradang larutan
asin menetes
menghiasi
kertas
putih
Pada kaca mata bacaku, terlihat ada takdir yang pasti dalam bait ini yaitu penciptaan pria dan wanita sebagai pasangan. Jika meraka telah berjodoh maka sehidup semati mereka akan menjaga kesucian ikatan yang telah dibangun dalam rumah tangga. Meskipun tak jarang juga halangan dan rintangan itu selalu ada.

Selanjutnya bait terakhir yang berbunyi, 
Ketika puisi jadi pencerah harapan
lalangbuana kalbu pendosaMu
bersujud cari paduan jiwa
yang Kau sembunyikan
sebagai misteri hidup
di benak rangkaian
makna renungan
sepih kesunyian
awali sebentuk
bait pendasar
baris goyah
emosi diksi
menajam
hasrat
bebas
untuk
nulis
aku
dalam bait ini ada penjelasan tentang taubat kepada Tuhan dan juga tentang penyerahan diri kepada Tuhan. Pengakuan aku lirik tentang tujuannya dalam mennuliskan puisi (ketika puisi jadi pencerah harapan). Dalam larik pembuka itu Widya mengatakan bahwa puisi bisa menjadi pencerah bila dituliskan dengan hati dan tujuan hanya kepada Tuhan.

Namun hal itu juga tidak terlepas dari hubungan manusia dengan Tuhan. Semua agama pasti ada patokan tersendiri yang mengatur seluk beluk antara hubungan manusia dengan Tuhan, Islam telah diatur sedemikian rupa dan detail dalam AlQuran, Kristen dalam Injil, Budha dalam Tripitaka, serta Hindu dalam kitab Weda/Veda.

Lalu apa hubungan Weda/Veda dan Mahabarata—sebab dalam puisi ini mengacu pada angka 18 dan 18 merupakan jumlah kitab dari Mahabarata? Di dalam Chandogya Upanisad  (VII.1.2, dan VII.2.1) dinyatakan bahwa Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan Purana (kitab-kitab kuno) adalah Veda yang ke-5 (itihasa-puranam pañcamam vedanam vedam), dan mengingat Mahabharata adalah salah satu dari kitab Itihasa, maka Bhagavadgita dengan sendirinya merupakan Veda yang ke-5, di samping kitab Catur Veda  (Rigveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda) yang dikodifikasikan terlebih dahulu. (Dikutip dari BhagavadgitaAjaran Moralitas, Kemanusiaan dan Kerukunan Umat Beragama, http://www.parisada.org/index.php?Itemid=29&id=501&option=com_content&task=view).

Menjawab pertanyaan, masuk bagian puisi manakah puisi ini? Bagi saya, puisi ini adalah puisi remang-remang menuju terang, sebab secara kasat kita akan tahu bagaimana maksud dari puisi tersebut, namun di samping itu masih ada maksud yang tersembunyi dari puisi tersebut.

Secara keseluruhan puisi ini mengacu kepada hubungan yang diciptakan manusia yaitu hubungan manusia dengan manusia(baik dengan orang lain lain maupun dirinya sendiri), hubungan manusia dengan kekuatan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini merupakan sebuah segitiga yang seharusnya samasisi, sebab hubungan-hubungan itu harus harmoni, selaras dan seimbang, agar tercipta kehidupan bahagia dunia akhirat. Namun puisi ini jika memakai tipografi semacam ini bagi saya kurang memenuhi, sebab memakai segitiga siku-siku. Kekurangan lain dari puisi ini adalah serasa patah dan berdiri sendiri setiap baitnya jika tidak bisa mengungkapkanapa yang sebenarnya ingin diangkat, lalu pemilihan judul juga tidak ada hubungan yang klop dengan isi puisi.


Esais,

Luluk Andrayani
Ma On Shan, November 15, 2012

Selasa, 06 November 2012

[PUISI] BAYOLAN PERANG



BAYOLAN PERANG


kesekian kalinya engkau berteriak
lawan, Bung!
lawan!
roda berputar di dada
melindas tebas
hilang sisa tawa
yang asin dalam kerak
peadaban terbelah

ini perang, Bung!
serumu kembali
bangunkan mimpi buta
peluru tembus lurus
tubuh kurus anak sendiri
kejang tiang
noda tercecer
dalam lembar sejarah
yang terkoyak

konon inilah namanya perang
gulingkan tiang di jantung
sendiri!


mos71112la


Selasa, 30 Oktober 2012

KUMPULAN CERITA PENDEK

HASIL MATA PENA KITA



Judul: Kemboja Bercerita
Penulis: 12 Pengarang Perempuan
Penyunting: Adi Toha
Penerbit: Abatasa Publishing
Terbit: November 2012
Tebal: 276 hal
ISBN: 978-602-17081-0-1

Cerita-cerita pendek yang terkumpul dalam buku ini hampir merangkum seluruh persoalan hidup yang kerap dihadapi oleh manusia, terutama kaum perempuan. Ada persoalan cinta yang tak pernah selesai dikisahkan, ketika dihadapkan pada persoalan kematian dan kesetiaan; ada liku-liku kehidupan rumah tangga dan perselingkuhan; ada perjuangan wanita-wanita tangguh anak negeri dalam mengadu nasib di negeri seberang. Diceritakan dengan jujur dan apa adanya. Membaca cerita-cerita dalam buku ini kita akan menemukan suatu mozaik kehidupan, tempat kita barangkali bisa bercermin sekaligus membaca diri, apa yang sudah kita berikan pada kehidupan, apa yang sudah kehidupan berikan kepada kita, dan sudah sejauh mana kita melangkah dalam perputaran nasib. Barangkali, salah satu cerita dalam buku ini adalah ceritamu sendiri.
***

“Buku ini ditulis oleh tangan anak-anak muda yang tangguh, menyajikan pengalaman batin yang hebat. Melalui cerita-cerita yang sederhana tapi mendalam, Anda akan diajak berkelana ke tempat-tempat yang unik, termasuk ke kota-kota yang jauh di Korea, Cina, Jalur Gaza di Palestina, dan tentu seputar Hong Kong tempat mereka kini bermukim. Tutur yang jujur tentang khayalan dan kenyataan melebur dalam kisah-kisah tentang pengembaraan dan kebahagiaan, tentang cinta dan pengkhianatan, juga tentang kritik sosial dan pahitnya kehidupan. Buku ini menjadi rekaman amat penting tentang perjalanan anak negeri yang matang menjalani sekolah kehidupan.”

—Fahmi Panimbang
Aktivis sosial, tinggal di Hong Kong

"Saya tidak piawai merangkai kata-kata indah. Sebagai jurnalis, saya terbiasa merangkai kata-kata lugas, ringkas, to the point. Maka saya selalu kagum kepada para penyai, cerpenis, dan novelis yang mahir merangkai kata-kata berona (colorful word) dalam bercerita, dalam puisi, cerpen atau novelnya. Tak terkecuali terhadap para penulis (cerpenis) di buku ini. Saya kagum. Lebih kagum lagi, para cerpenis di buku ini adalah mereka yang memiliki energi luar biasa! Karena di tengah kesibukan teramat padat sebagai 'migrant worker' mereka masih sempat berkarya, memainkan imajinasi dan merangkai kata-kata indah untuk menyampaikan pesan dalm cerita demi cerita. Lihat saja, judulnya pun sudah indah dan bikin kita penasaran. Salut! Buku ini bukti kesekian bahwa BMI Hong Kong memang bukan BMI biasa! Barokallah.

--- Syamsul M. Romli Praktisi Media Bandung, Jurnalis dan penyiar Radio


“Sebuah karya yang harus diapresiasi dari mereka yang berjuang dan berkarya. A must-read untuk siapa saja yang mampu mengapresiasi eksistensi para pahlawan devisa. I believe the more you read, the more you understand their rich life experiences. Do not put this book down. It is a real eye-opener.”
—Eva F. Nisa
University of Hamburg

REVIEW BUKU



PERMAINAN BUNYI DEDET SETIADI



Judul Buku: Gembok Sang Kala
Penulis: Dedet Setiadi
Tebal: viii + 100 halaman
ISBN: 978-979-185-385-9
Penerbit: Forum Sastra Surakarta (Cetakan I, Juli 2012)


Pertama kali buku ini sampai di tangan, saya terpana dengan sampulnya yang memadukan warna biru dengan gambar gembok yang telah berkarat. Hal ini memutar pikirannku untuk mengingat harta karun yang karam di lautan lepas. Yang berkemungkinan, Dedet ingin memberitahukan bahwa untuk memahami isi puisi serupa berburu harta karun.

Di dalam buku ini terdapat 87 puisi Dedet Setiadi yang ditulis pada tahun 2011-2012. Buku ini diawali dengan puisi berjudul Potret Diri dan diakhiri dengan Sajak Para Pendaki. Hampir semua puisi yang tertulis dalam buku ini bertemakan kehidupan atau bisa dikatakan secara khusus yaitu perjalanan manusia dalam mengisi waktu selama manusia itu hidup di dunia ini—yang berawal dari perpaduan darah merah dan darah putih sampai kembali merata tanah.

Ada juga puisi-puisi yang menunjukkan nasehat turun-temurun. Puisinya berjudul Fragmen Perjalanan 1, Fragmen Perjalanan 2 dan Fragmen Perjalanan 3. Ketiga  puisi ini menjelaskan kepada kita tentang riwayat empat keturunan, yang terhitung dari kakek/nenek, ayah/ibu. diri kita dan anak-anak kita. Isinya berkisah tentang perbandingan bagaimana perubahan zaman itu terjadi baik dilihat dari cara berpakaian, tata letak rumah, sarana transportasi juga kebiasaan-kebiasaan manusianya. Pada Fragmen Perjalanan 1 menunjukkan itu masih zaman dahulu kala waktu kakek/nenek Dedet, pada zaman itu semua masih serba sederhana, merka menggunakn blangkon dan surjan, mainannya gasing, duduk di tikar sambil makan ubijalar rebus. Lalu pada Fragmen Perjalanan 2 mengalami perkembangan yaitu pada zaman bapak/ibu dan kelahiran Dedet, waktu itu banyak anak-anak yang telah mengenal huruf hijaiyah, tidak main gundu lagi, lalu pakaiannya sudah berubah memakai sarung dan kopiah, dan tempat duduknya sudah di kursi rotan. Sedang pada Fragmen perjalanan 3, nah… ini dia zaman modern yang saat ini kita semua lalui, semua serba modern dan zaman internetisasi. Dari ketiga puisi itu saya menyaksikan betapa drastic perubahan hidup yang dialami oleh manusia, padahal masih empat keturunan saja.

Uniknya lagi, puisi-puisi Dedet yang tertulis di dalam buku ini adanya mengambil tiruan bunyi dari benda-benda yang ada di sekitar kita. Contohnya,

segerombol anak berlarian, bermain ketapel
main perang-perangan
seperti barisan tenntara di medan gerilya
plok!
seorang menembakkan ketapel ke udara
(KISAH SEEKOR BURUNG SAJAK, Hal. &7)

tiba-tiba dari ceruk malam
berkelibat sebilah kelewang, menebas-nebas keheningan
crak!
crak!
darah menyembur dari kesadaran
yang terpotong dan tergeletak di lantai ruangan
(NOCTURNO, Hal. 16)

pyar!
suara embun itu pecah, menebarkan jutaan cahaya
cinta menujju alam baka
(PELUKIS EMBUN, Hal. 64)

dan masih banyak lagi tiruan-tiruan bunyi lainnya. Hal ini bisa membuat imajinasi atau bayangan saya seandainya benar-benar menghadapi sesuatu yang ingin Dedet ungkapkan dalam puisinya itu. Misalkan saja saya saat itu sedang bermain ketapel dan melentingkan batu lalu batu itu mengenai sasaran pasti suaranya jelas terdengar.

Dedet juga mengubah seluruh benda-benda mati menjadi seolah-olah hidup dalam puisinya. Semuanya berbicara sendiri-sendiri menurut tempat dan waktunya. Bebatuan, pepohonan, debu, air, udara bahkan sampai ke toilet pun bisa hidup dalam diksi puisinya.

Ada satu puisi yang sungguh menggelitik hati, mengajarkan kepada kita tentang kesederhaan namun justru dari sederhana itu menjadikan kita sebagai kekuatan yang tidak terbandingi. Bahwa semua orang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. semua mendapatkan tempat sesuai dengan peranan dan kemampuan masing-masing. Kita semua adalah berbeda, namun perbedaan itu bukanlah hal yang menjadikan perpecahan, tapi perbedaan adalah kekayaan dalam kehidupan.
MOZAIK TAMBAL SULAM
: kepada semua


Jadilah pecahan batu
Untuk menjadi fondasi rumahmu

Jadilah sebatang kayu
Untuk menjadi tiang yang menyangga rumahmu

Jadilah selembar sirap
Untuk menjadi atap bagi rumahmu

Jadilah apa saja
Untuk mengisi yang belum ada
Itulah hakikat beda
Untuk menuju bangunan yang sempurna

Magelang, 2012


(bersambung)

Minggu, 28 Oktober 2012

[PUISI] TENTANG MIMPI



TENTANG MIMPI

pada jendela kugantung rangkaian
kenangan mawar dan purnama
yang bercerita tentang lembar
almanak berjatuhan
punguti sisa matahari
pada ujung jingga

jendela I
angin berhembus
bawakan wangi ibu
mengaduk ranah
bersimbah darah
lesap debar di dada
obor pun padam

jendela II
lautan bersitegang
amanah terkoyak
gugurlah seroja

jendela III
langit hitam
bintang berguguran
cerita telah usai
mungkin?

hingga lembar terakhir
masih kudekap selimut peradaban
dan berteriak
"akulah pemimpi"


mos27102012la