Rabu, 20 Juni 2012

PEREMPUAN MEMBACA SASTRA PEREMPUAN : MEMBACA JEJAK MATA PENA


PEREMPUAN MEMBACA SASTRA PEREMPUAN : MEMBACA JEJAK MATA PENA
By : Sus Setyowati Hardjono



Percakapan-percakapan jadi api. Tubuhku menjelma kayu .Kutanam dalam bara.Aku mulai rajin menjilati tubuh, menyimpan hati yang mulai hitam . Mana kuburku?.( KUPU-KUPU,Kartini 2012: 170)

Aku pun mulai pandai menanak hati, juga jantung dengan sop darah yang kuisap dari permainan ini. Seorang lelaki dan seorang perempuan menanamku mulai menanam manusia baru.Tak ada lagiu wajahku. Mereka menari-nari sendiri, dengan barisan anak-anak yang pandai melepaskan busur ke jantungku. Lelaki itu hanya bisa diam.Bahkan ikut menyantap tubuhku.Orang-orang dating dan memakinku.

”Sebuah pementasan kau mainkan lagi “
Mereka menyulam darahku di atas batu .
(KEPOMPONG ,Kartini 2012: 169).

Pernahkah kau jatuh cinta? Cinta yang sesungguhnya? Cinta yang membuatmu patah dan tidak memiliki otak (Tempurung, Oka Rusmini)

****

Indonesia krisis perempuan penyair! Indonesia paceklik perempuan penyair ! Itulah keluhan yang kita dengar sejak puluhan tahun silam. Dunia kepenyairan Indonesia didominasi kaum laki-laki .Kanon sastra Indonesia - tentu saja hanya dengan beberapa pengecualian- merupakan tulisan kaum laki-laki . Sejumlah besar bentuk sastra , kiritk sastra , terutama puisi , sejak Amir hamzah sampai hari ini ,sangat sedikit yang menyinggung penyair perempuan penyair (tim editor buku Kartini, 2012)


****

Dan tentu kabar menggembirakan terbitnya buku kumpulan delapan penyair perempuan dari Hongkong ini akan mewarnai jejak puisi di Indonesia, sangat menarik untuk kita apresiasikan dan untuk menambah literasi khazanah sastra kita.

Pada kepenyairan Indonesia saat inimakin meriah ,heboh ,dan bergairah .Niscaya dalam kememarakan itu, hadir 8 Srikandi sastra Indonesia, kesungguhan untuk coba menyuarakan kegelisahan, mencoba menegaskan jati dirinya ,disitulah perempuan bukan makhluk yang “ bodoh” dengan segala kebodohannya ,namun juga kecerdasannya menjadi semacam kekuatan khas untuk merenung dan mengelitik pikiran.

****

Ada empat judul puisi Oka Rusmini dalam buku Kartini 2012, yakni Kepompong, Kupu-kupu, 1967, dan Lumut. Puisi Oka Rusmini (pemilik buku “Pandora”) yang sangat momumental dan mempunyai kekuatan tersendiri dalam peta perpuisian kita . Penyair perempuan no satu di Indonesia menjadi semangat laksana api bagi penyair lain dalam sastra Indoinesia yaitu penyair perempuan di Indonesia .Tentu menjadi sangat terhormat dan menjadi kekuatan para penyair lain di tengah-tengah bukunya muncul penyair perempuan terkuat di Indonesia , di antara nama – nama “kuat “ lainnnya misalnya Dorothea Rosa Herliany , Abidah El Khalieqy ,Ulfatin Ch, Diah Hadaning , Rita Oetoro, SusyAyu , Nia Samihono, Cok Sawitri, De Kemalawati, Dhenok Kristanti, Dianing Widya Yudistira, helvy Tiana Rosa,Hanna Yohanna, Ivone De Fretes , Sandra Palupi , Syrikit Syah , Nenden Lilis, Nona G.Mochtar ,Fanny J.Poyk dan nama penyair perempuan lain yang tak bisa disebut satu persatu.

****

Mengapa di awal saya tuliskan puisi Oka Rusmini, dan sederet nama penulis hebat perempuan (baca perempuan lho bukan perempukan, perempuan dari kata empu: pemilik rahim) yang nota bene banyak menginspirasi bahwa penyair perempuan takkan pernah mati. Artinya semangatnya, apinya tak padam terus menyuarakan “jerit hewan yang terluka “ dan meskipun “ tak ada dewa di rawa-rawa “ mengisyaratkan perpuisian perempuan di Indonesia terus berkembang pesat seperti tak ada “dewa yang mati”.

****

Dan membaca karya perempuan di mata perempuan menemukan keasyikan tersendiri, kenapa saya pilih Oka Rusmini dan kawan –kawan perempuan di atas dapat menjadi referensi kita untuk mengenal diri dan lingkungan agar kita tak lekas cepat puas dengan hasil karya kita dan tak lekas marah atau menyerah bisa tertebas pedang kata “ jelek “ hehehe , semua masih belajar menuju dan menjadi.

Jadi kita bisa belajar berderet nama besar di atas untuk referensi. Selain puisinya mereka bagus , berkarakter kuat dapat menyihir banyak perempuan penyair dan laki-laki , membuka kesadaran siapa, apa , mengapa, bagaimana dan apa yang dimaui perempuan banyak terwakilkan dalam puisi perempuan .

Saya hanya mencoba sebagai pembaca perempuan sedang membaca karya penyair perempuan. Tentunya hasilnya akan lain jika perempuan dibaca laki-laki (baik penyair bukan penyihir …lho laki-laki maupun pembaca laki-laki). Sebelum lanjut akan saya kutibkan beberapa hal mengenai sastra dan mengapa saya ingin membaca Jejak Mata Pena dengan kaca mata sebagai pembaca perempuan.Yang ingin saya baca melalui kaca mata pembesar saya sebagai pembaca perempuan menbaca karya sastra perempuan . (tolong para pakar kalau keliru ya mohon dibenarkan dan dimahfumi dengan halus yo sebab luka tebasan parang sangat lama sembuhnya jadi perlu hati-hati bermain kata dan komen hehehe), sebab saya bukan pakar hanyalah akar saja itupun akar serabut yang kecil untuk mengambil unsure zat hara dalam puisi para Srikandi dari Hongkong yang saya acungi jempol sebagai “pahlawan ekonomi: “ keluarga .

****

Yang mana mereka mampu membuat antologi yang cukup solid keren dan sangat mewailkan suara perempuan. Mereka tergabung dalam antologi “Kamboja mencari Warna : Jejak Mata Pena” yang digawangi oleh delapan bidadari yaitu: Adhe Bintang Generasi Biru, Astry Anjani, Lentera al Jaziran, Lintang Panjer Sore, Luluk Andrayani, Mei Triwahyuni, Nurul Rahmayanti dan Yulia Kadam.

****

Nama – nama yang tak asing lagi di Bengkel tentunya , dan apapun sekecil apa pun atau sebesar apapun mereka telah menjejakkan mata pena (sastra ) di peta perpuisian Indonesia yang harus kita sambut dengan apresiasi dan penghargaan sebagai pembaca puisi Indonesia. Apapun dan siapapun mereka, sebab terkadang kita hanya melihat “ siapa” yang berbicara , namun kurang menghargai “ apa yang dibicarakan (isi) nya.Maka sebagai warga pembelajar hendak nya kita bisa memilah dan memilih untuk belajar demokratis menghargai siapapun yang berbicara dan isi pembicaraan . Ok khan biar mantap.Mbak bro dan Mas bro, jangan marah dulu.

****

Buku manis dengan ketebalan halaman 172 halaman dengan cover warma coklat ini tentu dapat dibawa dan dibaca kemana – mana sambil perjalanan sebagai teman sepi dan rindu,sangat asyik untuk dibedah isinya. Hampir ssaya tersihir oleh semua puisi dalam buku ini.Dengan dikata pengantari para wiku sastra yang telah terkenal abis di negeri ini tak lain adalah Dimas Arika Mihardja (yang mumpuni soal teori sastranya ,jangan dikritik pedas ya prof tulisan sekadarnya dari penghuni lembah tak sekolah ini ) , Puja Sutrisna , dan Lik Bonari Nabonenar (yang pakar sastra Jawa dari tlatah Jawa Timur ini) juga tentunya kata penerbit dari Abatasa Pekalongan . Kedelapan penulis ini akan mewarnai kegelisahan saya sebagai penulis dan pembaca yang tentunya akan juga saya sampaikan kepada sidang pembaca budiman.

****


Definisi sastra tergantung dari kulturgebundenheid atau ikatan budaya masing-masing masyarakat dan juga cara memandang terhadap dunia dan realitas suatu masyarakat atau individu itu (Dwi Susanto, 2012: 1).
Sastra sebagai institusi atau lembaga masyarakat memiliki peran mengontrol misalnya sastra dengan tema-tema pendidikan dan agama(moral).Karya sastra lahir didasarkan atas kesadaran pengarang dalam melihat realitas masyarakatnya .(Dwi Susanto,2012:45). Plato menganggap bahwa seniman adalah tukang fotocopy dari kenyataan alam , namun mimesis menurut Aristoteles memiliki unsur kreasi .
Sastra yang mampu menggungkapkan kesadaran dengan bahasa yang estetik dan indah memiliki peran yang strategis dalam menentramkan hati masyarakat sekaligus melembutkannya. Dalam konteks ini sastra dengan demikian memiliki fungsi atau nilai estetik.Sastra sendiri merupakan pemuas kebutuhan emosi manusia .

****

Mengutip pernyataan Dedet Setiadi bahwa menurutnya karya sastra selalu bertolak dari realitas kebudayaan , namun bukanlah sebuah reportase wujudnya sudah bercampur baur dengan diksi , imaji dan rasa. Puisi merupakan metamorphose pengolahan imajinasi . Misalnya realitasnya adalah seekor ulat kemudian diolah “ mengepompong “ menjadilah kupu - kupu nan cantik, demikian juga dalam mengolah puisi.
Mimesisme (tiruan kenyataan) dalam karya sastra tidak harus kenyataan itu sendiri (Ismet NM Haris ,Merapi Minggu , 27 Mei 2012).


****


Dari definisi dan tautan teori sekadarnya tadi saya ingin menarik benang merah bahwa karya sastra diciptakan tak lepas dari kenyataan social budayanya.Akar budaya yang melingkupi para kreator nya dalam mensikapi hidup dan kehidupan.
Sejak zaman dahulu kala , persoalan perempuan menjadi menarik untuk diperhatikan. Feminisme sebagai salah satu ideology dan gerakan pembebasan perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki atau melawan paham androsentris / patriakhis membawa dampak yang luar biasa bagi berbagai bidang kehidupan , baik budaya ekonomi,politik , pendidikan dan lain-lain. (Dwi Susanto,2012 : 25)

****

Pemikiran feminisme juga masuk dalam teori sastra dengan aneka bentuk dan kritik sastra nya dengan menamakan dirinya sebagai kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis mempersoalkan bagaimanakah perempuan dipresentasekan dalam teks – teks sastra , baik yang ditulis oleh laki-laki maupun yang ditulis oleh perempuan sendiri. Pada perkembangan berikutnya munculah istilah gynocritic dalam kritik sastra fenimis , yakni mempelajari para penulis perempuan yang menuliskan dirinya. Dalam pandangan kelompok ini persoalan bagaimanakah pengalaman sebagai perempuan dituliskannya kembali oleh perempuan menjadi titik perhatian utama. Menurutnya ,penulis laki-laki dan penulis perempuan memiliki perbedaan sebagai “ menjadi perempuan “ tidak sama dengan “menjadi laki-laki “. Tidak hanya berhenti di titik itu saja kritik sastra feminis juga mempersoalkan hubungan karya sastra yang ditulis perempuan dengan sistem sirkuit budaya , misalnya proses produksi, distribusi , dan konsumen atau pembaca. Pada intinya kritik sastra feminisme ini mempersoalkan relasi antara laki-laki dengan peremuan dalam dunia sastra dan kebudyaan.(Dwi Susanto, 2012:27)

****

Jejak Mata Pena dibagi dalam enam bab masing – masing adalah : 1.Persembahan untuk Sepasang Bidadari 2.Asmara 3.Suara hati Rakyat 4. Alam Bersenandung 5 .Bisikan Hati Pada Rabbi 6. Gejolak Jiwa dalam Lara

Tiap bab dimaksudkan untuk mengelompokkan tema- tema yang berbeda – beda. Dalam bab 1 memuat 16 puisi yang bertema kerinduan kepada Ayah, Ibu ,sosok- sosok yang paling dekat di hati para perempuan penyair ini. Dan isinya curahan kasih sayang , kerinduan dan pengharapan kepada mereka.Terwakili sajak “Perempuan Melati” yang ditulis oleh Astri Anjani .
Bahasa perempuan lihatlah semacam puisi Oka Rusmini dan seterusnya mengalami persegeran makna dan interprestasi.Perempuan memiliki ruang kebebasan untuk menyuarakan hati nurani melalui pengucapan bahasa yang merdeka dan tidak lagi didikotomikan sebagai bahasa milik laki-laki,sebab bahasa adalah ruang pengucapan universal,bukan hanya milik laki-laki atau perempuan. Dan pemberontakan bahasa . Dan lebih diterima laki bahasa –bahasa perempuan itu oleh dunia yang serba patriakhi.

*****

Perjuangan delapan bidadari dari Hongkong yang menurut Puja Sutrisna adalah “ orang - orang pinggiran “ ,setelah saya baca memang ada ruang “ pemberontakan “ terhadap kekuasaaan sesuatu yang menelikung untuk disuarakan misalnya keadaan social ekonomi politik yang terangkum dalam bab 3 Suara Hati Rakyat. Di samping keseluruhan puisi dalam buku ini yang paling kuat pergeseran bahasa dan kekuatan interprestasi ada dua penulis punya karakter kuat yaitu Astry Anjani dan Luluk Andrayani.

Persoalan bahasa yang dipakai para penyair perempuan kita sudah mengalami pergeseran dari budaya yang melingkupinya.Ini adalah wujud pemberontakan juga dalam pengucapan , dalam tradisi Patriakhi seorang perempuan (baca perempukan karena wanita harus empuk memang empuk, lemah lembut bahasanya ,halus budi bawa laksana seperti perempuan Kraton , secara fisik dan kodrat harus manut mituhu konsep budaya Jawa ) ini sudah menmgalami perubahan , baik diksi kosa kta maupun isi puisi para penyair dalam deretan di atas hingga kedelapan penyair dalam buku antologi ”Jejak Mata Pena”. Tentu ini hal yang sangat menarik untuk dikaji dengan pas,saya hanya membaca sekilas dan tidak sampai menggunakan konsep-konsep dan barometer teori tertentu yang njlimet tertentu, saya hanya perempuan pembaca yang mencoba menguak tabir puisi perempuan masa kini ,bagaimana seharusnya membaca karya sastra perempuan ya saya harus menjadi perempuan dengan kaca mata perempuan.bahwa mereka( perempuan ) itu subjek bukan objek semata,itu sangat terlihat saya simpulkan dari beberapa puisi Luluk dan kawan- kawannya. Mereka bukan objek ekonomi dalam puisi” Pahlawanku Devisamu””Kobar Kebebasan” oleh Luluk Andrayani”,”Mari Berjuang oleh Nurul Rahmayanti, “”Tumbal Kedudukan oleh Luluk, dsb.

*****


Jadi pergeseran bahasa dan nilai rasa yang berubah dari zaman dulu ke zaman perempuan sekarang dalam bahasa penulis di buku ini saya rasakan kental sekali baik isi maupun diksi yang dipakai. Secara lahir merekapun juga pemberontakan budaya . Dulu dalam tradisi Jawa ada kata mangan ora mangan yen ngumpul,coba didaur ulang dengan lompatan kreatif ke Hongkong, mereka “ berani”untuk keluar dari wilayah budaya mereka asalnya. Maka meskipun kedelapan penyair ini mengalami perpindahan “ akar budaya “masih terlihat jelas dalam puisi mereka.

*****
Kita masih ingat lagu Sabda Alam ada baris “wanita dijajah pria sejak dulu “ tetapi sekarang banyak berbanding terbalik banyak juga wanita bisa menjajah pria,tak berkutik di kaki istri ada ISTI ikatan suami takut istri…hehehe. Yang jelas peran perempuan sekarang sudah mulai terasakan gerakan “ jender” bukan “ gender lho,saling sejajar kedudukan dalam pendidikan ,politik ,ekonomi , hukum, seks, budaya dan sastra sudah tidak ada istilah penjajahan lagi bersyukurlah perempuan Indonesia.


****


Ada pergeseran pemilihan diksi sebagai corong bicara,pada kata yang bicara.Mereka sudah keluar dari diksi diksi lama sebagai perempuan , dan ada kecenderungan untuk mengadakan menggunakan eksprimen diksi diksi “ yang mempunyai nilai rasa “ perang ,kuat , tegas , tak pantang menyerah , dsb.Misalnya dalam puisi yang memang bagus saya suka, Anakku Apinya Belum Padam oleh Luluk Andrayani “diksi yang muncul sumber energi yaitu” api, bandel, omelan , mencakar. Dalam “Pejuang Cinta Sejati “juga kita temukan diksi diksi kuat yang kesannya tidak seperti yang budaya tradisikan dan wariskan ke kita misalnya :jeruji ,perang , arus angkara , pedang , pejuang , darah ,rajam , hantam ,tegar .

*****


Sedang dalam puisi milik Asrtry Anjani juga banyak menggunakan diksi-diksi yang juga kuat sebagai perempuan yang telah “ sadar “untuk terbebas dari keterbelengguan bahasa dan warisan tradisi terlihat dari kata :saat darah - darah kami dikebiri , peluh kami yang terkucur najis, babat habis, dalam Pahlawanku Devisamu.Dan juga diksi lintah,cacing ,dsb milik Mei Triwahyuni.Mereka tak segan untuk megnggunakan bahasa terkesan “kotor” dan jauh dari kelemah lembutan perempuan secara budaya yang halus dan lemah lembut. Perempuan seringkali hanya menjadi objek fantasi dan imajinasi kaum laki-laki.itu pun juga sah-sah saja karena perempuan adalah puisi kongkrit , iya khan Mas-Mas bro semua.

*****

Dalam buku antologi ini selain pergeseran bahasa dan pergeseran interpretasi perempuan membaca karya sastra perempuan saya juga menemukan relasi objek yang mengedepankan teori pengalaman wanita sebagai Ibu yang membawa efek pada anak-anaknya mereka dari dua jenis kelamin.Pengalaman menjadi Ibu dan mempunyai rahim, menstruasi , melahirkan itu hanya dipunyai perempuan .Maka banyak sekali puisi perempuan yang mengangkat tema - tema seperti itu ,dan menjadi kekuatan bahasa pengucapannnya bahwa menjadfi perempuan itu sakit.Dan persoalan ini bukan tidak ada artinya …seperti lagu begadang jangan begadang kalau tidak ada artinya, artinya pengalaman ini bukan persoalan remeh temeh perempuan yang ga bisa diterima budaya feodal atau Patriakhi yang meremehkan perempuan dari segi rahimnya ,tidak saya kira. Karena bahasa perempuan memang dibesarkan dengan azali kodrati yang tak bisa dipungkiri.

Meniscayai ada sisi lebih pada kerja otak perempuan dibandingkan laki-laki dalam hal mengindera yang tak tertangkap oleh segala segenap panca indera itu alasan dampak puisi perempuan jauh melebar justru oleh peran gendernya sebagai kekasih , istri , dan ibu lebih dari sekadar karena perempuan punya rahim.Bahwa dibalik sukses anak ada ibu , dan dibalik sukses suami ada istri, maka melalui puisi perempuan , kesusuksesan kehidupan setiap keluarga , masyarakat, dan bangsa , selaiknya lebih dapat mengalir melalui puisi ( Dr. Hendrawan Nadesul)

******

Demikian juga banyak puisi yang lahir difokuskan pada persoalan keluarga , baik dalam persoalan keibuan , atau menjadi ibu, dan perkawinan yang mana perempuan menjadi kelas kedua dalam posisi social, objek seks,objek kemarahan , objek kesalahan mendidik anak, seolah – olah Ibu adalah dewa , harus dewa ,sempurna, bidadari yang harus sempurna,lalu bagaimana dengan mereka yang harus terpaksa bubar pernikahannnya karena tidak menemukan kebahagiaaan.Banyak perempuan yang bersikukuh mempertahankan bahtera rumah tangganya untuk alasan social yang bukan atas dasar hati dan perasaannnya , takut dicap janda , perempuan yang ganggu suami orang dsb. Fenomenologis perempuan sebagai pihak yang harus terkalahlah mengorbankan kebahagiaannnya demi sebuah perkawinan , ia ogah menjadi janda , takut menjadi sampah masyarakat, dsb – dsb. Bahkan dalam kasus - kasus KDRT yang masuk klien kami di APPS (Aliansi Peduli Perempuan Sragen) – mengindikasikan kasus seperti gunung es , banyak tetapi tak terlaporkan sampai pada kasus – kasus kekerasan fisik baik laki-laki atau perempuan, kasus pembuangan bayi, perkosaaan , pembunuhan , tracfiking dsb –dsb.

*****

Saya sampai bingung memilih beberapa puisi dalam buku antologi delapan penulis Jejak Mata Pena, semua bagus semua indah.Ibarat bunga bermacam – macam rona yang saya tidak bisa atau bingung memilih yang paling indah ada kenanga ,melati,mawar , kamboja,semua memiliki kekuatan masing-masing. Namun karena keterbatasan tenaga dan waktu saya harus memilih tidak kuasa atau tidak mampu semua puisi akan saya ulas disini.Maka saya memilih beberapa puisi pilihan yang saya tergores tersambar sambar disana,dengan tidak mengurangi rasa puisi lainnya yang juga sedap dinikmati.Saya suka semua puisi karya penyair di buku ini.

******

Sosok Ibu atau Ayah ditulis lebih dari masing-masing sekitar tujuh puisi jadi ada 16-an puisi yang dua adalah sosok anak. Semua tentang kerinduan dan semangat serta doa untuk orang –orang dalam keluarga. Penggambaran Ibu sebagai perempuan yang tabah, kuat, lemah  dan tanpa pantang menyerah digambarkan dalam bab satu.

Di tema Asmara(baca asmara lho bukan asamara : asam datang ) ada 17 puisi yang elegik, romantis dan melankolis,kita ingin membacanya lagi dan lagi untuk larut dalam diksi mereka.Salah satunya Cawan Rindu dan Cemburu karya Lentera al- Jaziran. Cinta yang syahdu , mengharu biru antara cinta kesejatian dan perpisahan:

tentang kisah kita yang belum usai//”jangan pergi”//kata yang baru saja kau ucap//….tetapi engkau tetap mematungsendiri//bersama irama detak di hati//”aku rindu perhatianmu //
Ada juga yang takkalah indah ada kesetiaan , ada janji, ada komitmen ,misalnya pada puisi Elegi Cinta “: merilis janji suci…// meluruhnya ego dalam satu titian//tersemat ikrar setiahingga ajalmemisahkan //mengalunlah elegi cinta dengan hembusan napas asmara

Hampir semua puisi dalam bandrol Asmara ini tema-tema cinta sejati ,kesempurnaan cinta , janji setia, kerinduan , terangkat tema – teman cinta nan indah syahdu mengharu biru , Yang paling saya suka sajak cinta adalah “Duhai Kekasih by Lintang Panjer Sore “indah dan menawan, serta kesahajaan yang dalam. Selain puisi yang indah juga yaitu : Antara pulau Borneo dan Negeri Beton “ karya penulis yang sama.

****

Keseluruhan delapan penyair ini sudah jadi puisi. Puisi yang matang untuk dikonsumsi. Dan pemberdayaan TKW ditengah minirnya pandangan terhadap BMI dan saratnya kekerasan di dalam kasus-kasus TKW buku ini adalah angin segar potret TKW tak selamanya buram . Mereka sangat cerdas dalam menggoreskan pengalaman hidup , kesaksian hidup di kanvas kata-kata.
Dalam banyak diksi para TKW ini juga menyuarakan “ pemberontakan terhadap pemelecehan TKW dan suara minoritas mereka terdengar dalam baid-baid puisi.Mereka bermaksud mengadakan perlawanan melalui bahasa melalui kata dan puisi terhadap segala penjajahan dan penindasan atas kemanusiaan, dan mencapai hakikat eksistensi manusia yang butuh layak dihargai, juga untuk perempuan penyair semua , bagaimana pun usaha mereka merebut makna patut kita acungi jempol.Kesadaran akan penindasan patriakhal dan system budaya Patriakhi juga jelas dalam penulisan isi – isi puisi mereka. Struktur kekuasaan yang bersifat maskulin pun juga mengalir dalam benak kesadaran memberikan ruang untuk bagaimana memperoleh akses yang lebih dihargai di tengah maskulinitas segala bidang baik politik , ekonomi dan sebagainya.
Perempuan (penyair perempuan ) adalah makluk unik. Unik karena mempunyai beberapa sisi ambivalensi yang bermakna ganda . Dini menyebutnya sebagai dua dunia,dunia domestic dan non domestik, dunia dirinya dan di luar dirinya ,dunia kewajiban pengabdian dan tanggung jawab. Berbagai sisi inilah yang menyebabkan keunikan perempuan.

*****

Maka dapat disimpulkan bahwa ke delapan penulis dalam Jejak Mata Pena, ini merupakan satu representasi perlawanan terhadap subjektivitas, harsat dan perbedaan seksual. Buku ini mencerminkan tema- tema tentang subjektivitas, cinta , alam ,akar bahasa , feminitas , relasi dengan Sang Tuhan, usaha pada gerakan atau perubahan social (bagaimana memandang TKW atau BMI) coba didedah.

Kebudayaaan ,identitas , logika dan rasionalitas tradisi ini merupakan symbol dari laki-laki , dan perempuan seolah terbuang jauh di luar . Namun membaca puisi – puisi perempuan rasanya terpatahkan anggapan tersebut.

****
Dan semua akan kembali pada sebuah ayat Tuhan bahwa laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Tuhan melebihkan diatasnya kaum laki-laki itu beberapa diatas kaum wanita. Dan kita sepakat bahwa surga tak jauh - jauh dari kaki Ibu kita . Dan wanita adalah sumber inspirasi dan tiang untuk generasi bangsa. Penerus keturunan yang akan melahirkan pemimpin bangsa. Bagaiamanakah kita memperlakukannya? Kita sangat miris beberapa ABG sudah ”lost virgin”, perempuan – perempuan kita ini bagaimana dia bisa menjadi tiang bangsa ?. beberapa wanita muda diperkosa di angkot oleh anjing kelaparan, para ibu membuang bayinya dan melati berdarah - dan berdarah lagi….
Dan akar budaya tanah asal mereka menjadi akar pengungkapan puisi. menurutnya karya sastra selalu bertolak dari realitas kebudayaan , namun bukanlah sebuah reportase wujudnya sudah bercampur baur dengan diksi , imaji dan rasa.Karya sastra puisi dari delapan penyair dalam buku ini tetap bertolak dari akar budayanya yaitu Jawa (terlihat tradisi 1000 hari ada yang memunculkan dalam kerinduan untuk sang Ayah )

***

Demikianlah beberapa hal pembacaaan puisi saya selaku pembaca perempuan membaca karya sastra perempuan dalam buku Jejak Mata Pena ini. Apabila saya kurang pas dalam menuliskannya saya hanya manusia biasa banyak khilaf dan banyak kekurangan mohon untuk dimaafkan. Saya ucapkan selamat kepada para penulis dalam buku ini,semoga menjadi isnpirasi wanita Indonesia . Salam 123 sayang semuanya(mohon maaf pinjam salammnya DAM ).


Sragentina,17/6/2012

Jumat, 15 Juni 2012

MERENUNGKAN HAKIKAT DIRI AGAR TAHU DIRI BERSAMA LARONNYA HAMBERAN SYAHBANA


MERENUNGKAN HAKIKAT DIRI AGAR TAHU DIRI BERSAMA LARONNYA HAMBERAN SYAHBANA


Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan akalnya, namun dia juga menjadi tidak sempurna karena akalnya juga. Dikatakan sempurna dengan aklanya jika manusia itu bisa menggunakan akalnya di jalan yang telah ditentukan, sesuai dengan norma, hukum dan agama. Namun manusia kadang akan lupa diri jika kesenangan dan kebahagiaan telah dicapainya, kesombongan akan menutupi hatinya. Meskipun pada awalnya manusia itu berada pada titik terendah.

Dalam peribahasa Jawa ada yang namanya “kere munggah bale”, ini menjelaskan bahwa ada seseorang yang kaya mendadak atau mendapat kedudukan secara mendadak, akhirnya dia lupa diri, melupakan seluruh orang terdekatnya—sahabat, sanak family bahkan orang tuanya atau anak istinya.

Melihat fenomena yang ini, seorang pernyair dari pulau Borneo bernama Hamberan Syahbana ingin menyedarkan kepada kita dengan petuah-petuah yang sepele namun menggigit—nylekit.

Renungan saat ini

Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita juga bisa berubah peran menjadi seperti angin
di saat orang saling kejar saling tumpang tindih
rayap-rayap itu diam-diam menjadi laron
yang beterbangan mengejar cintanya di nyala api

Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita hanyalah kapal selam yang terdampar di gurun
padahal kapal selam itu selamanya sering di dalam air
sementara sesama kita sudah saling tuduh bagai
orang buta yang menyalahkan orang buta lainnya

Banjarmasin, Juni 2012

Judul puisi ini adalah “renungan saat ini”, terlalu bening menurut  pembacaan saya karena memang tiada majas ataupun ungkapan-ungkapan yang sulit, melainkan sebuah ajakan kepada kita untuk merenungi diri, koreksi diri dan juga membenahi apa yang salah dalam diri kita. Kapan waktunya?  “saat ini”, ya kapan pun itu waktunya, waktu yang tepat adalah saat ini,bukan tadi atau nanti, sebab tadi adalah masa yang telah lalu dan nanti adalah masa yang akan datang. Meskipun rentangnya hanya detik namun telah mencakup. Tidak boleh ditunda lagi dan harus tepat yaitu saat ini.

Memasuki bait pertama,
Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita juga bisa berubah peran menjadi seperti angin
di saat orang saling kejar saling tumpang tindih
rayap-rayap itu diam-diam menjadi laron
yang beterbangan mengejar cintanya di nyala api

Saya merasaan ada satu kecamuk atau permasalahan yang sering kali dihadapi oleh semua manusia namun masalah ini terabaikan. Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata/ kita juga bisa berubah peran menjadi seperti angin, kedua larik ini mengingatkan saya pada “nafsu” dan “nurani” yang sejatinya dalam diri manusia nurani  selalu berperang melawan nafsu untuk menentukan pilihan pilihan yang ada di hadapannya. Nafsu itu akan kuat sekali pengaruhnya untuk mengelabuhi nurani. Dalam perang ini manusia selalu gelisah dan kalau kata gaulnya adalah “galau” antara ya dan tidak.

Akhir dari perang antara nurani dan nafsu itu pasti ada satu keputusan, jika nurani lebih kuat maka nafsu akan menyingkir dan manusia tetap istiqomah di jalan-Nya, namun jika nurani kalah maka manusia akan menghindar dari jalan-Nya. Seperti dalam puisi Hamberan ini, nafsu telah memenangkan pertarungan sehingga manusia selalu berubah-ubah sesuai dengan tempat yang ditempatinya—seperti bunglon yang berubah warna (hal ini ditunjukan dari diksi seperti angin). Pendirian manusia tersebut tidak kuat atau tanpa tonggak kuat di dalam hatinya, Sehingga mudah berubah.

Lalu larik selanjutnya menjelaskan bahwa selalu ada perbedaan antara orang satu dengan yang lainnya. Dalam larik di saat orang saling kejar saling tumpang tindih/rayap-rayap itu diam-diam menjadi laron/yang beterbangan mengejar cintanya di nyala api mengandung sebuah metafora kontemplasi yang sangat menyentuh, juga ada majas ironi yang bikin gereget sekaligus nylekit dirasakan. Gabungan metafora dan ironi yang saya sebutkan adalah  subyek “rayap-rayap menjadi laron”, siapakah rayap-rayap yang menjadi laron itu?

Penggambaran manusia yang hanya bisa menggerogoti sisa-sisa manusia yang lainnya. Pada saat ada berkah (hujan) dia akan bermetamorfosis atau berubah mempunyai sayap. Lalu saat ada cahaya—entah itu cahaya lampu atau matahar—laron akan keluar dari sarang memamerkan bahwa dia bisa terbang membubung. Namun sang laron itu tidak menyadari bahwa dia hanya mampu bertahan beberapa menit saja pada ketinggian itu sebelum akhirnya dia kembali lagi ke tanah. Begitu juga yang terjadi pada manusia saat dia meresa paling tinggi, maka ia akan lupa segalanya, bahkan dia akan lupa pada hakikatnya bahwa dia juga akan kembali ke tanah. Saya jadi ingat suatu peribahasa, setinggi-tinggi tupai melompat jatuhnya ke tanah juga.

Juga pada saat itu, manusia tidak akan sadar pada keindahan-keindahan (cahaya) yang mereka datangi  itu berbabaya atau membahayakan dirinya, pada mata mereka yang penting itu adalah indah. Karena hati mereka telah tertutup oleh kebahagiaan semu.

Dari sini Hamberan mengharapkan manusia yang merasa telah tinggi kedudukannya untuk selalu ingat kepada Tuhan dan hakikatnya, juga kepada kita semua—karena hakikatnya manusia itu adalah makhluk yang tertinggi derajatnya dibandingkan makhluk yang lainnya. Hamberan mengharapkan agar kita selalu berhati-hati dalam memandang setiap keindahan dunia—sebab keindahan dunia ini hanya palsu dan juga membayakan layaknya bahan bakar yang berapi yang bisa membakar kita sewaktu-waktu.
Serta diteruskan pada bait ke dua,

Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita hanyalah kapal selam yang terdampar di gurun
padahal kapal selam itu selamanya sering di dalam air
sementara sesama kita sudah saling tuduh bagai
orang buta yang menyalahkan orang buta lainnya

Dalam bait ini terjadi pengulangan kalimat di baris pertamanya yaitu Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata, tulisan yang sama persis namun berbeda dalam artinya karena frase selanjutnya kita hanyalah kapal selam yang terdampar di gurun/ padahal kapal selam itu selamanya sering di dalam air. Merujuk frase ini saya menemukan apa yang kita coba tahan kedua adalah takdir. Takdir yang berisi seluruh kemungkin dan ketidakmungkinan yang tidak dapat ditebak oleh otak manusia.

Namun dalam tiga baris pertama bait ke dua itu menunjukan suatu kemustahilan yang terjadi di kehidupan manusia (kapal selam di tengah gurun). Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak pernah puas akan apa yang dicapainya saat ini dan akan terus melakukan percobaan-percobaan yang sungguh di luar kemungkinan. Juga mengacu kepada penempatan hal yang tidak pada tempatnya—seiring dengan kemajuan zaman dan era globalisasi manusia akan lupa diri juga. Contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah dunia entertainment yang semakin marak, yang menyuguhkan tontonan yang hanya pantas ditonton dan dilakukan oleh pasangan suami istri—pornografi dan pornoaksi. Ini adalah hal yang patut kita renungkan karena membuat orang semakin lupa diri. Dari sini anak-anak di bawah umur yang tadinya belum tahu hal ini menjadi lebih tahu. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah banyak anak-anak remaja bawah umur yang telah berani melakukan seks bebas.

Namun siapa yang disalahkan dalam hal ini kita tidaklah tahu persis, semua orang saling menyalahkan satu sama lain, tuding menuding tanpa jawab pasti. Memang di sisi lain menguntungkan, tapi di lain merugikan. Seperti yang tertulis dalam larik selanjutnya, sementara sesama kita sudah saling tuduh bagai/ orang buta yang menyalahkan orang buta lainnya. Dalam larik ini Hamberan mengusung metafor “orang buta”. Namun apakah manusia itu buta dan seperti apakah orang buta itu? Ya, mereka hanya tidak bisa melihat dengan mata kepala saja, namun mereka mempunyai hati jika mau menggunakan juga punya akal jika masih sehat dan terawat.

Dari larik tersebut Hamberan mengajak kita untuk koreksi diri—bukan menuding dan menodong—apa yang harus kita lakukan saat ini untuk mengahadapi fenomena yang memilukan dan mencoreng harkat dan martabat sebagai manusia. Juga tuntutan untuk kita selalu menggunakan nurani dan hati untuk berpikir bukan hanya emosi dan ambisi yang maju.

Sebagai penutup, saya merasa kecil sebab belum melakukan apapun melihat fenomena-fenomena yang semakin jungkir balik oleh kemajuan teknologi dewasa ini. Saya merasa malu kepada Tuhan, bahwa sebagai makhluk yang sempurna dan diberi akal namun belum menggunakan akla dengan sempurna. Serta semoga jika kita suatu saat berada di atas sekali-kali marilah kita tengok ke bawah ke tempat kita yang dahulu, sebab di sana pun masih banyak tangan-tangan yang meminta uluran tangan kita. Renungan yang mantab, semoga kita bisa berkaca dan selalu di jalan-Nya.  Salam.


LA1562012

 

Selasa, 12 Juni 2012

Review Jejak Mata Pena By Usup Supriyadi

Sehimpun Puisi Dari Hati BMI

 

Kehidupan yang paling menyedihkan adalah ketidakberanian mengambil risiko sekecil apapun (safety player) - Parlindungan Marpaung

Pada sebuah kesempatan, saya berkunjung ke rumah kawan baru saya, ketika sampai di halaman depan rumahnya, saya melihat ada beberapa pohon bunga kemboja tengah mekar-mekarnya. Dalam hati saya langsung teringat bahwa bunga yang satu ini lebih sering dijumpai di pemakaman. Karena ini kali pertama, akhirnya saya tidak lantas bertanya soal itu. Singkat cerita, selepas saya menerima jamuan dan berbincang dengan kawan saya itu. Saya pun bertanya soal bunga kemboja yang ditanam di depan rumahnya. Dan jawabannya mengejutkan saya, katanya, "Saya menanam kemboja di depan rumah, agar selalu ingat, bahwa bukan soal di mana saya memulai, tetapi di mana nanti berakhir".

Dunia adalah tempatnya ujian. Kelebihan dan kekurangan sejatinya juga ialah ujian. Dan saya baru saja membaca sehimpun puisi dari hati BMI-Buruh Migran Indonesia, bertajuk Kemboja Mencari Warna: Jejak Mata Pena, Penerbit Abatasa Publishing. Sebuah antologi puisi bersama dari delapan perempuan yang kesemuanya berstatus-sampai tulisan ini dibuat-sebagai buruh migran Indonesia di Hong Kong. Sebagaimaa kebanyakan kasusu mengapa seseorang itu menjadi buruh migran, karena faktor kemiskinan yang menjerat (secara tidak wajar). Tetapi delapan puan tersebut termasuk manusia pemenang sebab tidak berpangku tangan. Adalah benar orang berpunya harus tahu diri bahwa sebagian harta mereka adalah milik yang tidak punya. Malah ada seorang yang berkata: "Harta saya adalah apa yang sudah saya berikan kepada orang lain". Namun, yang berkurangan pun jangan hanya berpangku tangan. Siapakah kedelapan bidadari yang saya maksudkan itu? Mereka adalah Adhe Bintang Generasi Biru, Astry Anjani, Lentera al Jaziran, Lintang Panjer Sore, Luluk Andrayani, Mei Triwahyuni, Nurul Rahmayanti, Yulia Kadam. Dengan kesederhana mereka menuliskan sebuah kata pengantar yang menggetarkan hati saya, "Jejak mata pena kami (ini) adalah tulisan yang berbentuk puisi ataupun sajak sederhana. Terurai dari bahasa kalbu, curahan sanubari, dari relung jiwa yang terdalam. Semoga sesuatu yang datang dari hati, maka hati pulalah yang akan menerimanya ... ".

Ya, sebuah harapan yang begitu menawan. Dari hati ke hati. Begitu berarti. Barangkali, sudah tidak asing lagi tema ke-BMI-an dijadikan puisi oleh para penyair, saya sendiri kerap menuangkan asa dan rasa lantas hal tersebut masuk ke dalam sajak (salah satunya termaktub dalam buku kumpulan sajak "Jembatan Sajadah: Kabar dari Negeri Seberang" Terbitan UmaHaju Publisher). Namun, tetap saja, kala saya membaca antologi dari mereka yang statusnya memang BMI rasanya begitu beda, meskipun, tentu saja setiap buku selalu ada kurang dan lebihnya. Secara afektif dan emotif saya dibawa hanyut ke dalam bait-bait yang tertoreh. Delapan wanita yang mengabarkan diri mereka sebagai delapan kuntum kemboja yang berani menghadapi apapun, termasuk kematian itu sendiri sebagai lambang dari kemboja. Dan itu, tentu saja, bukanlah tanpa perjuangan. Maka apa-apa saja yang selama ini dirasai sekaligus dialami secara sadar, kemudian dikristalkan dalam baris-baris puisi dalam antologi tersebut.

Ke-102 sajak yang menjejak kesaksian yang menurut Dimas Arika Miharja, 'kesaksian yang sexy', terbagi ke dalam enam bab atau tema besar yang hendak diungkap-sampaikan oleh ucap aksara. Di sini, saya akan mencoba menuliskan pandangan apa yang saya dapati dari 'gambaran' yang mereka 'lukiskan' melalu media bahasa Indonesia.

Pertama, "Persembahan untuk Sepasang Bidadari", kala membaca bagian ini saya langsung teringat lagu: "kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia". Kemudian ketika beberapa 'kuntum kemboja' bicara soal ayah, saya jadi ingin menyanyikan sebuah lagu: "untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi, walau air mata di pipiku, ayah, dengarkanlah, aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi".

Tentu saja, saya tidak sekadar mendapat pengalaman literer-estetis yang melagu tentang keselarasan ataupun kelaziman. Saya juga menjumpai pengalaman literer-estetis yang bertentangan atau memiliki pertentangan. Di mana ternyata, terkadang memang ada orang tua yang 'durhaka' kepada buah hatinya yang mana itu adalah titipan yang Mahakuasa. Betapa radar-radar budiah saya tertegun ketika mendalami baris-baris sajak tersebut. Misalnya, sajak "Buah Cinta yang Terbuang" oleh Nurul Rahmayanti, pada bait akhirnya tertulis:

Ayah, Bunda
untukmu kubingkis sepucuk surat
hentikan kisah cinta kasih syahwat
sebelum malaikat menjemputmu ke akhirat
aku menunggumu di pintu taubat

Seharusnya, orang tua yang ideal itu berprinsip sebagaimana yang dinyatakan oleh Patrick M. Morley yang luar biasa, katanya, "Saya lebih memilih untuk tidak menjadi siapa-siapa, asalkan bisa menjadi seseorang yang berarti bagi anak-anak saya". Syukurlah, bila seorang anak sadar bahwa mereka bisa menjadi jalan agar orang tua masuk ke surga, maka mereka harus bisa menasihati dengan bahasa hati. Dan, saya rasa, Nurul Rahmayanti sadar betul bahwa tugas anak tak hanya menginginkan yang terbaik dari orang tua, tetapi bagaimana mereka juga berupaya agar orang tua mereka menjadi lebih baik lagi dari hari ke hari, baik dari segi jasmani maupun ruhani. Kemudian sajak "Demi Sang Bocah"nya Lintang Panjer Sore yang mengurai perjuangan seorang ibu demi anaknya, harus jadi 'pekerja di malam hari'. Ya, tidak selalu memang setiap anak menerima "Ayunan Kasih" (judul sajak Adhe Bintang Generasi Biru) yang semestinya, tetapi kedelapan kuntum kemboja bukanlah anak-anak yang tak peduli dengan orang tua. Mereka tetap ingat bahwa surga ada di "Telapak Kaki Ibu" (judul sajak Nurul Rahmayanti) meski harus mengalami "Kelana dan Waktu" (judul sajak Adhe Bintang Generasi Biru) yang panjang penuh onak duri, "Sepenggal Sajak untuk Ayah" (judul sajak Lintang Panjer Sore) dan "Perempuan Melati" (judul sajak Astry Anjani) akan tetap membuat mereka (dan kita tentu saja) selalu menghadiahkan "Sekalung Doa untuk Ayah" (judul sajak Luluk Andrayani) dan Ibunda sebagai bentuk "Kidung Jingga" (judul sajak Yulia Kadam) "Tentangmu Ibu (dan Ayah)" (judul sajak Mei Triwahyuni) dan "Simfoni Rindu" (judul sajak Lentera al Jaziran) dari seorang anak kepada orang tua masing-masing. Begitu rasa lebihnya lagi, mengingat kedelapan puan ini adalah anak-anak yang terpisah ruang dan jarak, jadi begitu terasa sekali gejolaknya.

Kedua tentang "Asmara" sajak-sajak di dalamnya berisikan rasa tak sekadar kasmaran begitu menawan tetapi juga cukup menikam di beberapa bagian. Satu hal terungkap, bahwa mereka para BMI itu manusia biasa yang juga butuh dan pernah merasakan cinta melanda dari lawan jenis mereka. Bagian ini mungkin akan lebih dirasakan lain rasanya jika pembacanya adalah para lelaki. Betapa, saya dibuat oleh sajak-sajak bertemakan "asmara" mereka kembang kempis. Ah, cinta memang nggak ada habisnya, sebab dunia ini lahir karena cintaNya.

Ketiga tentang "Suara Hati Rakyat", Tosa Poetra dalam esainya bertajuk "Membaca Suara Hati Rakyat di Buku Kumpulan Puisi Jejak Mata Petani" sudah begitu gamblang menggambarkan suara-suara yang terus terang saja, lebih banyak tidak didengar oleh mereka yang seharusnya lebih banyak mendengar apa yang diucap oleh rakyat. Terlebih, ini disuarakan langsung oleh pelakunya sendiri, oleh perempuan yang statusnya BMI. Saya sendiri begitu dibuat terkejut dalam beberapa bagian. Saya kira, kalau WS. Rendra masih ada, dia tentu saja akan menitiskan air mata dan ikut menyuarakan lebih lagi tentang suara BMI yang termaktub itu. Saya sendiri terenyuh, dan kadang dibuat merenung ke dalam diri.

Keempat berlabel "Alam Terkembang" di sini sajak-sajaknya begitu menggambarkan kepedulian mereka sebagai manusia yang menghuni bumi yang begitu selalu memberikan yang terbaik yang ia miliki. Dan rupanya, di mana pun kaki dipijak, maka alam negerinya tetap menghujam hati mereka, pelbagai bencana yang terjadi juga membuat hati mereka ikut menangis. Sehingga akhirnya, mereka tak sekadar menyair tentang keakuan tetapi juga kepedulian terhadap alam serta penghuni lainnya. Tidak bisa tidak memang, penyair harus juga mengangkap tema lingkungan dan sosial, jangan hanya terus berkutat pada "sunyi sepi sendiri" sebab kita hidup tak benar-benar sendiri di dunia ini.

Kelima bernuansakan relijius dengan tajuk "Bisik Hati Pada Rabbi" sebagai muslimah, kedelapan kuntum kemboja yang menggembara ini begitu sadar bahwa hidup harus selalu diiringi tidak sekadar usaha tetapi juga doa. Dan, doa mereka cerdas, yakni tidak sekadar minta jangan diberikan ujian, tetapi diberikan kekuatan untuk bisa menyelesaikan segala macam ujian. Di bagian ini saya akui saya mendapati radar-radar yang memberikan keinsafan kepada diri, tanpa nada menggurui.

keenam perihal "Gejolak Jiwa Dalam Lara" hidup baik dalam hal apapun termasuk "Asmara" yang biasanya bara jika tidak hati-hati memang bisa membara dan membuat luka. Di sini, saya sebagai laki-laki banyak dapat pelajaran apa sebenarnya yang dikehendaki wanita, dan harus bagaimana seharusnya saya sebagai pria.

Sebagaimana diungkap Puja Sutrisna, tentu saja, dalam buku ini, bila ditolok dari struktur fisik, maka akan ditemui pengungkapan bahasa puisi yang beragam, sebagian begitu puisi sebagian lagi masih berupaya untuk mencapai ke situ. Namun, sebagai langkah awal, kumpulan puisi ini patut diapresiasi. Selamat buat kedelapan kuntum kemboja, kalian telah berani namun bukan karena nekad yang tanpa berpikir akal sehat. Di mana pun kita memulai, itu tidak masalah, selama kita akan tahu bahwa akhirnya akan ke mana. Ingat, hidup adalah perencanaan, bagaimana pun, walaupun yang menentukan hasil akhir itu Tuhan, adalah jelas sekali, Dia yang Esa lebih menyukai rencana-rencana dan langkah-langkah yang mulia. Akhirulkalam, hati saya bahagia membaca sajak-sajak dalam buku tersebut. Jelas ini adalah awal yang baik. Tetap berkarya. Demikianlah. Salam!



catatan: karena keterbatasan waktu, segini yang bisa saya sajikan, ini hanya ulasan secara umum, bila ada kesempatan saya akan coba mengulas beberapa sajak yang memang begitu berkesan di hati saya, walaupun saya akui semua memang berkesan, namun sebagaimana kata pepatah, di atas langit masih ada langit.

Minggu, 03 Juni 2012

KOMUNIKASI ESKA WAHYUNI DENGAN TUHAN DAN AJAKANNYA


KOMUNIKASI ESKA WAHYUNI DENGAN TUHAN DAN AJAKANNYA

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah terlepas dari yang namanya komunikasi atau dengan kata lainnya adalah cara menyampaikan informati—pesan , baik itu dengan Tuhan, alam sekitar (lingkungan) dan juga dengan manusia itu sendiri dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Berbagai macam cara dilakukan agar tercipta keselarasan dan keseimbangan.

Menurut Laswell agar komunikasi itu bisa diterima dengan baik maka harus ada komponen-komponen pendukung yaitu harus ada si pengirim atau pihak yang menyampaikan pesan, ada pesan yang ingin disampaikan, ada media atau perantara untuk menyampaikan pesan, ada penerima pesan, ada umpan balik atau tanggapan dari penerimaan pesan dan ada aturan-aturan yang disepakati (Wikipedia).

Dewasa ini, meskipun tekhnologi sudah maju dan serba mesin, ada hal yang manusia lupakan atau bahkan kehilangan komunikasi yaitu komunikasi dengan alam dan Tuhan. Melihat keadaan yang demikian, sebagai seorang penyair yang masih ingat akan hal itu Eska Wahyuni mengajak kita untuk kembali melakukan renungan dalam puisinya. Renungan yang mendalam tentang pentingnya komunikasi dengan Tuhan di era globalilasi dan modernisasi ini.


di pinggir masjid
(by: eska wahyuni)

pernah aku berbaring di pasir putih. menatap tiang tiangmu
pohon pohon kesepian, juga langit yang tiba tiba bisu saja. sementara
percakapan kita bertabrakan di udara

aku dan kau adalah kisah tentang laut. rindu risau taut menaut
seperti pasang laut, seperti kabut, juga arus surut
letih disana tersangkut. terkapar di perahu kecil, di tambatan
yang mati. angin tak singgah, tak meleraikan waktu
atau sesuatu. antara semua, kita adalah yang paling sunyi

pernah aku berbaring di pasir putih
di sekelilingku, manusia membariskan kata kata
dan untukmu: rindu, terasing sendirinya

yogyakarta, 2012


Puisi Eska Wahyuni selalu menawarkan gaya pengungkapan baru khas Eska—begitu saya menyebutnya, keneranian memenggal dan bermetafora itu adalah kunci utama dari diksi yang digunakan Eska, meskipun kelihatan sederhana namun memikat dan memabukkan. Saya katakan memabukkan di sini kerena untuk mengapresiasi dan memaknai puisinya harus memutar seluruh dimensi, mengaduk-aduk isi kepala sampai tumpah dan juga sedikit membingungkan tentang arah yang harus dibawa. Serta keberanian Eska untuk mendobrak tata bahasa—pengalamanan dari puisinya dengan  judul INSOMNIA—yaitu penggunaan kata ulang tanpa tanda hubung atau dirangkaikan dan penggunaan huruf kecil semua dalam puisinya. Ya, penyair punya licentia poetica untuk membebaskan kreasinya dan ini sudah jelas dalam gaya penulisan puisi Eska.

Begitu juga dalam puisi Eska yang satu ini—awal saya membaca memang terlalu berani itu yang ingin saya ungkapan—menggunakan kebebasan untuk berkreasi itu. Namun dari sini gaya ini punya kelemahan yaitu ketidaksampaian pesan kepada pembaca karena kebanyakan pembaca masih patuh dan berkutat kepada aturan tata bahasa yang telah ada. Namun bukankah ciri puisi yang kuat itu punya berbagai macam pemaknaan? Saya rasa di sini Eska telah memenuhi hal itu.

Dalam kaca mata baca sederhana saya ingin menguraikan puisi yang berjudul, “di pinggir masjid” Mengapa Eska memilih diksi “di pinggir” bukan di tengah atau di dalam atau yang lainnya? Pada pembacaan saya Eska menyuruh kita untuk merenungi diri kita dan tempat yang paling nyaman atau stategis untuk merenung adalah di pinggir atau bisa dikatakan kita menepi dari segala hal sambil berkaca dan mengamati lalu lalang yang terjadi di hadapan kita. Menepikan diri dari hal-hal yang membuat hati tidak nyaman atau hal-hal yang buruk. Apalagi digandengkan dengan kata “masjid” yang secara umumnya adalah tempat suci atau tempat beribadah umat Islam. Kemungkinan di dalam masjid itu telah banyak kejadian-kejadian yang menarik atau tidak menarik di mata, oleh karenanya Eska mengajak kita mengajak kita untuk menepi sebentar saja. Lalu apakah saat kita berada di pinggir itu diam saja?

Tenyata tidak kawan, Eska memulai puisinya dengan kalimat pernah aku berbaring di pasir putih. menatap tiang tiangmu sebuah metafora kejutan yang mengajak kita untuk merenung lebih dalam. Diksi ini membuat saya untuk membayangkan ketika saya berada di gurun atau padang yang luas sekali dan pada hakikatnya kehidupan inilah yang di sebut sebagai gurun atau padang pasir. Kita—manusia—mengembara untuk mencari bekal bagi kehidupan akhir nanti. Pada saat kita lelah dalam perjalanan adakalanya kita beristirahat sejenak, lalu tiduran atau berbaging sambil menghayati apa yang sebenarnya kita cari di dunia ini. “aku” lirik dalam puisi ini juga manusia jadi dia pun merasakan hal yang sama. Dalam keadaan itu, aku lirik kembali pada hakikat. Tiang adalah penyangga, untuk menjaga beban agar tidak ambruk maka tiang harus kuat dan kokoh. Dan kemunculan mu lirik di sini, dalam kaca mata baca saya adalah menunjuk Tuhan, sebab tiada siapapun saat itu yang menemani aku lirik. Sehingga saya membaca tiang di sini adalah soko guru kehidupan, jika dalam Islam maka tiang agama itu adalah shalat lima waktu. ku lirik mengamati tiang agamanya—shalat—apakah sudah benar-benar dilakasanakan dengan baik dan benar atau masih saja bolong-bolong?(hehe, hal ini marilah kita tanyakan kepda hati kita masing-masing saja tidak perlu saya menunjuk pada orang lain, koreksi diri lebih penting sebab yang tahu hati kita adalah kita sendiri).

Dalam metafora pohon pohon kesepian, juga langit yang tiba tiba bisu saja. sementara
percakapan kita bertabrakan di udara ini saya diajak Eska untuk lebih menelaah dan mengerti kehidupan manusia. Sebab kadang-kadang manusia itu seperti pohon, akarnya menenancap di bumi namun pucuknya selalu terombang-ambing ingin menggapai langit dan tak aral badai dan angin pun datang menyerbu dengan berbagai macam kekuatannya, semakin tinggi pohon itu maka angin yang menerpanya semakin kuat. “pohon pohon kesepian” frase ini mengingatkan saya bahwa hakikatnya manusia itu sendiri dan berteman kesepian meskipun di dunia yang hirukpikuk namun manusia tetap saja merasa sepi. Disinilah anehnya kita sebagai manusia menyukai keheningan untuk menjernihkan pikiran dan menggunakannya secara positif. Lalu diperkuat dengan “juga langit tiba tiba bisu saja” dapatkah kita bayangan jika saat itu kita tidak bisa mendengar satu apapu saking khusuknya kita menikmati keheningan. Ya, semua dalam keadaan sepi dan sunyi. Buat apakah kita berada dalam puncak hening itu, Eska menjawab, “sementara perkacapan kita bertabrakan di udara.” Jawaban yang sungguh mengejutkan, metafora yang sederhana namun sempat membuat kita kebingungan, ya selayaknya kita adu mulut mulut atau bercakap-cakap dengan orang lain, maka lewat medium udaralah kita dapat mendengarkan suara tersebut. Namun dalam hal ini karena ku lirik dalam keadaan sendiri dan mengadu kepada kepada Tuhannya dalam keheningan, maka percakapan atau komunikasi itu dalam bentuk doa. Doa ku lirik mengetarkan udara di sekelilingnya karena terlalu hening, menggetarkan hatinya karena kekhusukan.

Lalu pada bait kedua kita diajak Eska untuk menjelajahi dan mengingatkan kepada saya tentang betapa kecilnya manusia di hadapan Tuhan, betapa tidak berartinya ilmu manusia dibandingkan pengetahuan Tuhan, seumpama setetes air dibanding lautan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya,

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (QS Al-Khafi: 109)

Selain hal itu Eska juga menjaga rima akhir kata pada awal bait kedua aku dan kau adalah kisah tentang laut. rindu risau taut menaut/ seperti pasang laut, seperti kabut, juga arus surut/ letih disana tersangkut. Dalam hal ini Eska juga memberikan renungannya bahwa pikiran, imantakwa dan jiwa manusia itu ibaratnya lautan adakalanya pasang adakalanya surut serta juga kadang tidak dapat ditebak karena kesuraman (seperti kabut). Penyebabnya ada banyak hal, diantaranya—yang dapat saya baca dalam puisi ini—adalah kegelisahan akan rindu kepada Tuhan. Ya, saya sendiri pun kadang selalu gelisah dan berharap agar segera bertemu dengan Tuhan, namun saya belum cukup bekal untuk segera menemuinya (hehe takutnya nanti ditolak dan dilempar ke neraka). Memikirkan dan menggelisahkan hal itu kadang manusia manusia merasa letih dan ingin mengadu kepada Tuhan, kita pun mencari tempat yang bisa meredamkan kegalauan (istilahnya sekarang) yang mendera hati kita. Lalu tempat yang seperti apakah yang kita cari menurut pandangan Eska?

Pertanyaan kita akan tejawab pada larik selanjutnya terkapar di perahu kecil, di tambatan/ yang mati. angin tak singgah, tak meleraikan waktu/ atau sesuatu. antara semua, kita adalah yang paling sunyi. Wadah atau tempat yang unik menurut saya, perahu kecil jika bagi para nelayan akan menggunakannya untuk pergi ke lautan yang luas demi mencari ikan. Jika dalam pencarian manusia, ibadah adalah perahu kecil untuk menuju kehidupan yang abadi nantinya, perahu kecila adalah amal kita yang akan mengantarkan kita menemui kekasih kita—Allah SWT. Serta kita pun harus menambatkan hati kita pada tiang yang kuat yaitu shalat lima waktu. Shalat lima waktu merupakan hukum paten tidak dapat ditawar lagi dan wajib dikerjakan oleh semua orang yang beragama Islam sebab shalat adalah tiang agama. Apapun yang terjadi (kecuali kita telah mati dan dalam keadaan darurat) shalat lima waktu tidak dapat ditawar waktunya. Intinya, bait ini mengajak kita untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya dengan mengukuhkan shalat lima waktu dan berama kebaikan—ibadah.

Sebagai bait penutup Eska kembali lagi mengajak kita merenung dalam hati kita yang putih dan suci, pernah aku berbaring di pasir putih/ di sekelilingku, manusia membariskan kata kata/ dan untukmu: rindu, terasing sendirinya. Dalam bait ini kita sepertinya tidak sendiri lagi karena kita telah melihat manusia-manusia yang lainnya juga melakukan hal sama dengan kita—berdoa kepada Illahirobi. Semua manusia memang merindukan Rahman dan Rahim-Nya menuju kerinduan abadi, saat kita semua telah terasing sendiri-sendiri dan tidak ada penolong kecuali Dia dan amal kia sewaktu hidup.  Namun diksi di sekelilingku, manusia membariskan kata kata ini seakan mematahkan bait pertama berlawanan sekali ya, padahal tadinya ku lirik hanya sendirian tiba-tiba banyak dikelililingi oleh manusia, dan juga bertentangan dengan judul, sebab ku lirik melakukan pengamatan itu di pinggir masjid, bukan ditengahnya.

Demikian apresiasi saya, puisi ini memang mengandung unsur keberanian seorang Eska untuk menabrak konvensi tata tulis bahasa. Namun bukan untuk menyesatkan, justru mengajak kita untuk berpikir lebih agar kita dapat mengenal Eska yang sebenarnya. Puisi Eska ini juag kemungkinan lahir dari kesedihan namun karena ramuannya yang manjur, kesedihan itu seperti terhapus begitu saja—tidak terlihat bila tidak menyelami. Buat Eska, saya akan menunggu karyamu yang lebih memabukan lagi (hehe).

LA, 03 Juni 2012