Minggu, 30 September 2012

[PUISI] DAKI MALAM

DAKI MALAM

mungkin kebosanan mulai merayapi
panggilan-panggilan sengaja kuabaikan
sejak senja tadi aku bersikukuh
menggelar kembali peta
mengeja denah siang yang belum terhubung
titik-titiknya

permulaan pada nyala damar

tuntun jejak membaca warta
dimana bebatuan dan pepohonan meramu
pahit manis kesaksian hidup

sementara setapak jalan belum menemu ujung
panggilan semakin kuat mendekat
gedor pintu tutup jendela
dan gelap-terang bergantian
di puncak

la, 30092012

[CERPEN] ANAKKU


ANAKKU


"Mama, Papa dimana Ma? Kenapa Asma tidak punya papa, Ma?" tanya gadis kecil yang baru berumur tiga tahun suatu senja pada Dara.

Dara tersentak dari lamunananya, apa yang harus aku katakan? Kalimat apa yang harus kurangkai agar anak ini mengerti? Aku tahu hal ini pasti terjadi, namun ini terlalu cepat namun ini terlalu cepat dari yang kuperkirakan. Aku belum menyiapkan kata yang tepat.

"Mama, kok diam?" suaranya kembali memecah lamunan Dara. "Mama aku juga ingin seperti teman yang di ujung itu," kata Asma lagi sambil menunjuk keluarga kecil yang jalan-jalan juga di taman itu.

Dara hanya diam, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sedang,dia alami selama ini. Ada kebahagian sekaligus bencana dalam hidupnya. Kejadian ini sungguh di luar skenario yang dia ingin tulis selama ini.

Di kampungnya, Dara adalah bunga desa, hidup sederhana sebagai seorang bidan muda yang baru menyelesaikan pendidikannya. Karena di puskesmas desanya belum ada bidan yang menggantikan bidan yang sebelumnya, maka dengan mudah dia mendapatkan kerja itu.

Meskipun dibilang dia sudah mapan, namun jika ditanya masalah pasangan hidup dia akan menjawab dengan senyuman dan kata yang sama, aku sedang menunggu seseorang yang telah mengikat janji denganku.

Namun takdir berkata lain, selama ini dia hanya menanti kekosongan. Keyakinannya mulai berkurang ketika Arya, seseorang yang ditunggunya itu tidak pernah menghubunginya. Dara hanya berharap dan janji adalah janji yang harus  ditepati sebab janji adalah hutang yang harus dibayar. Dara tidak mau nmengigkarinya dan dia hanya berpikir mungkin kekasihnya itu sibuk dengan pekerjaannya.

Hingga suatu senja yang muram sebab hujan tak berhenti dari pagi, Dara menerima sebuah telepon dari nomor yang tidak dia kenal namun setelah dia angkat dia tahu betul siapa yang meneleponnya itu. Yang tak lain adalah Arya, kekasihnya yang dia tunggu selama ini.

“Maafkan aku Dara…”

“Tidak apa-apa aku mengerti kok, kamu pasti sibuk Mas Arya, sebab kerjamu sekarang di rumah sakit besar ibukota.”

“Bukan itu yang kumaksud, Dara.”

“Lalu kapan kamu ke sini Mas Arya?”

“Dara aku minta maaf, tentang janji kita…”

“Iya saya mengerti, tapi pulanglah dulu Mas!” suara Dara penuh harap dan haru.

“Bukan itu yang kumaksud Dara, tolong dengarkan dulu penjelasan saya.” Suasana menjadi hening, Dara dan Arya sama-sama diam. “Dara aku terpaksa tidak bisa menepati janji setia kita.”

Dara terdiam, benarkah apa yang dia dengar itu,”Kapan Mas Arya pulang?” hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.

“Dara aku benar-benar minta maaf, Dara. Tolong jangan menantiku lagi. Dan berbahagialah kamu.”

Senja yang hujan, senja yang berkabung, membanjir airmata dan bah bersamaan. Dara melarikan segala kenangannya hari itu juga. Tiada siapa yang tahu, tiada siapa yang mengerti rasanya saat itu. Dia masih belum percaya tentang apa yang didengarnya. Da masih menumpukan harapnya pada kekosongan.

Ambulance baru saja tiba di puskesmas tersebut, mengangkut dua tubuh yang bersimbah darah. Dara mematung bisu, menghadapi salah satu pasien dari ambulance tersebut, seorang wanita muda sedang hamil tua dengan darah bersimbah di sana sini. Wanita itu masih setengah sadar dan mengerang kesakitan sambil memegang perutnya.

“Tolong selamatkan anak saya… tolong!” suaranya terbata dan memandang penuh harap terhadap Dara.

Belum pernah Dara menghadapi situasi yang seperti ini, namun Dara harus menyelamatkan dua nyawa sebisa mungkin, dia pun secepat kilat beraksi sambil membersihkan darah yang bersimbah di kepala wanita tersebut. Dia harus membantu persalinan darurat ini. Lalu dia pun mengisyaratkan perintah-perintah kepada wanita itu, namun keadaan wanita itu terlalu lemah sehingga keadaan semakin memburuk.

“ Tolong selamatkan anakku dan berjanjilah untuk mengasuhya kelak, Mbak.” Kata itu terbata lirih dari suara wanita itu disaksikan beberapa perawat pembantu Dara.

“Ya, Mbak, tapi Mbak harus kuat dulu.”

Dengan mengerahkan sekuat tenaga terakhirnya, wanita itu akhirnya bisa melahirkan anaknya, namun kebahagiaan itu justru akhir dari hidup wanita itu. Tangis bayi itu adalah tangis kepedihan kehilangan seorang ibu. Bayi itu sudah dicap sebagai anak piatu. Dan Dara baru sadar bahwa janjinya adalah janji yang harus ditepati.

Sementara di ruangan lain, seorang laki-laki berusaha berjuang melawan malaikat yang ingin menjemput nyawanya. Dialah bapak dari anak yang baru lahir tersebut. Sebab mereka adalah sepasang suami istri yang berkunjung ke desa tersebut. Alangkah terkejutnya Dara, setelah tahu bahwa lelaki tersebut adalah kekasihnya, Arya.

Lelaki tersebut sadar namun luka parah di kepalanya tidak bisa menjamin untuk hidupnya, ketika dara mendekatinya dan menyorongkan bayinya. Arya hanya tersenyum tipis.

Dara menghela nafas, ketika tangan mungil mengentuh pipinya. Lembut tangan itu menerbangkan lamunannya.

“Mama, papa dimana, Ma?” tanyanya kembali berulang.

“Asma…” suara Dara tersendat. “Asma harus belajar dan jadi anak yang pandai agar kelak kalau papa pulang, papa bangga terhadap Asma.”

Kata itulah yang Dara ucapkan, benarkah kalimat ini? Sedangkan pada kenyataannya ayah dan ibunya tidak mungkin lagi kembali ke dunia ini. Mungkin mereka telah bahagia di alam sana.

Dara tidak merasa terbebani dengan semua kecelakaan ini, sebab dia harus membesarkan anak dari orang yang dia cintai. Dan dia tahu bahwa semua ini sudah diatur oleh-Nya. Dia juga teringat cerita terakhir dari almarhum Arya, bahwa pernikahan mereka tidak direstui oleh kedua belah pihak, namun karena kecelakaan—istri Arya hamil duluan, mereka menikah siri dan Arya mengkhianatinya.

Asma telah resmi menjadi anak angkat Dara, sejak anak itu baru lahir, namun Dara tidak tahu harus bagaimana meghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi esok hari, dia hanya bisa berserah.

Rabu, 26 September 2012

[PUISI] APARTEMEN 1103

APARTEMEN 1103


(dalam lift)
setiap hari penyaksian bersaksi atas langkah-langkah
tertatih menyisir lempeng logam—naik turun
getar nafas rongga dada tertumpah
pada putih perca terbuang dan terpendam
bersama kepingan teka-teki

ingin lari mengejar bayang-bayang diri
yang datang dan pergi tanpa permisi
mendobrak kuat balok pengurung
dalam tanya ketidakpastian
keseimbangan tercabar

(lantai sebelas, pintu ketiga)
lorong gelap kutemukan
langkah-langkah kembali pelan
mencari celah cahaya

di sini pilihan-pilihan tersuguh
usung pintu persilahkan tujuan
dan penyaksian kembali tergelar
lempengan berderit menelan kebekuan
waktu terus berputar
sinar memancar

(ruang imaji)
terhampar memar di seluruh sasar
kepingan rasa
serabut duka
buraian airmata
mengalir pelan dari waktu ke waktu
kembali langkah-langkah terayun
lima penjuru bersaksi atas hitamputih
rasa asin dan amis di sepanjang ruang tualang

bersama jarum berputar
cahaya kembali meredup

(pembaringan malam)
ini saat langkah terhenti
lelapkan diri bersama sepi
mengeja hakiki dalam penantian
dan kucuran airmata menghilang 
di barisan kenang


Juni-September 2012