Kamis, 15 November 2012

ESAI PUISI



MENEMBUS MISTERI PUISI WIDYA
: Menyibak Hubungan Manusia


Dunia puisi memang kadang membingungkan, tetapi asyik untuk ditelisik sebab setiap puisi selalu mempunyai daya tarik tersendiri, baik itu puisi terang, remang bahkan yang gelap sekalipun. Sebagai seorang apresiator seharusnya tidak perlu takut tentang benar atau tidaknya apresiasi tentang puisi itu. Sebab puisi tidak melulu menuju kepada satu titik, melainkan bisa jadi penafsiran pembaca satu dengan lain berbeda-beda.

Dalam mengapresiasi puisi seorang apresiator akan mencari titik-titik tertentu yang menjadi  kunci utama puisi yang diapresiasinya. Jika telah menemukan kunci ini maka tidak akan ada istilah puisi terang, remang dan gelap. Tinggal bagaimana selanjutnya apresiator itu mengaitkannya dengan seluruh elemen kehidupan.

Salah satu contoh puisi terang.

Ini bicara blak-blakan saja, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehinga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami sebenarnya pada uang

Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Sehingga buat apa basi dan basa
Sila kami Keuangan Yang Maha Esa

Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kuasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu jelas ideologi rupiah

Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan
Setiap jeroan berjajar kelihatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku memang keserakahan.

1998 (SYAIR EMPAT KARTU DI TANGAN, MAJOI hal. 28)

Puisi Taufik Ismail ini adalah puisi terang, sebab apa yang dimaksud oleh penyair dapat langsung diketahui tanpa harus bersusah payah mencari kunci dan kaitannya. Kunci utama puisi ini adalah kata “uang” yang kemudian dijabarkan atau dikaitkan sedemikian rupa dengan keadaan atau hal-hal yang berbeda sehingga tercipta seolah-olah membentuk suatu pemikiran yang berbeda. Namun pada hakikatnya masih tetap kembali kepada kunci utama.

Berbeda lagi dengan puisi di bawah ini.

HUJAN SEPTEMBER

/1/
lantaran debu nempel di tangkai dan lembarlembar daun
kuangkat selang sebelum matahari bangkit dari rasa sakit

kemarau meruang dalam kamar jiwa kuncup bunga
berguguran sebelum jadi buah

satusatu kupungut tetes hujan
menyiram dahaga jiwa

/2/
mencintai ranah ini
serupa membalut luka bernanah

teriris oleh sayatan sejarah
yang dibelah

bendera setengah tiang tertunduk gamang
penuh genang kenang cahaya kunangkunang

/3/
"pa, mari kubantu punguti daun dan bunga"
nurani tersenyum tawar, terasa benarbenar hambar

"inikah makam pahlawan itu pa?"

debu menutup segala pandang
tubuhku mengabu dan mengejang

september 2011
(SKETSA SAJAK DIMAS ARIKA MIHARJA, 2012)

Puisi yang ini membuka gerbang remang-remang sehingga dalam pengapresiasiannya harus mengetahui seluk-beluk kunci utama yang ada dalam puisi itu. Penggalian puisi remang-remang juga memerlukan jalur alternatif tentang pengetahuan situasi dan kondisi pada puisi bisa berupa tempat, waktu atau kejadian-kejadian yang mengikuti kunci utama. Bedanya dengan puisi terang adalah dimana saat puisi terang meruncing ke satu titik sedangkan puisi remang-remang bermula dari satu titik.


Lalu bagaimana nasib puisi yang ditulis oleh Widya Arternia ini? Masuk dalam kategori manakah?


Proklamator Tangis

Ketika pena pertama bertinta puisi
menorehkan kata-kata rapuh
yang meyakini kesendirian
adalah sebuah jawaban
dari pengembaraan
jemari-jemari letih
maka terlahirlah
cermin muda
berembun
air mata

Ketika puisi merasa senasib padaku
bersedih deru wanita dipangkuan
melunglai sebagai kekasih hati
mengisyaratkan pengorbanan
perjalanan liku tanpa asa
maka bebas batin ini
meradang larutan
asin menetes
menghiasi
kertas
putih

Ketika puisi jadi pencerah harapan
lalangbuana kalbu pendosaMu
bersujud cari paduan jiwa
yang Kau sembunyikan
sebagai misteri hidup
di benak rangkaian
makna renungan
sepih kesunyian
awali sebentuk
bait pendasar
baris goyah
emosi diksi
menajam
hasrat
bebas
untuk
nulis
aku

Oleh: Widya
Kuta,6/8/2012

Puisi ini tampil dengan tiphografi meruncing ke bawah, mirip segitiga siku-siku terbalik. Dari ketiga bait tersebut ukuran segitiganya berbeda-beda—bait pertama tersusun dari 10 larik, bait kedua 11 larik dan bait ketiga 18 larik. Jumlah larik dalam bait ini sendiri memiliki makna yang tersendiri, pada bait pertama terdapat sepuluh larik dan angka 10 mewakili perintah Tuhan terhadap hamba-Nya. Sepuluh perintah ini berasal dari kitab Taurat yang diturunkan kepada  Nabi Musa AS dan dikenal sebagai “10 Hukum Taurat.” Sampai saat ini semua agama menganjurkan umatnya untuk menjalankan sepuluh perintah tersebut. (Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Sepuluh_Perintah_Allah).

Pada bait kedua mempunyai sebelas larik dan angka 11 itu sendiri mempunyai peran penting dalam berbagai bidang kehidupan, misal dalam bidang  matematika, sains, agama, musik, olahraga dan hal-hal lainnya. Angka 11 ini pula bisa menunjuk kepada kepastian-kepastian yang berluku( http://en.wikipedia.org/wiki/11_%28number%29).

Bait terakhir ada delapanbelas larik dan  delapanbelas adalah jumlah kitab dari karya sastra kuno Mahabarata yang ditulis oleh Begawan Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi. Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari. Jadi jika dikaitkan dengan kebudayaan, maka angka delapanbelas adalah angka akar peradapan kerajaan Hindu di Indonesia. (Wikipedia, Kitab Mahabarata)

Namun demikian bagaimana dengan isi puisi, bisakah menembus akar dari kisah di sebalik tersusunnya jumlah larik dalam bait tersebut? Di sini saya mencoba mengupas dengan segala keterbatasan dan ingin menentukan puisi ini masuk jenis mana?

“PROKLAMATOR TANGIS” adalah judul yang unik dan sepertinya dalam metafora Widya ingin mengungkapkan perpaduan antara jiwa semangat dan  jiwa kerapuhan. Sebab dalam kata “proklamator” itu sendiri berarti orang yang memberitahukan kepada umum/khalayak secara resmi, biasanya proklamator itu mempunyai semangat yang tinggi serta mempunyai pengaruh yang besar terhadap lingkungannya. Sedangkan kata “tangis” ini lebih cenderung mendekati lemah atau rapuh dibanding mendekati kebahagiaan atau haru, dan biasanya tangis itu lebih cenderung mendekati wanita. Sehingga bisa mengambil kesimpulan bahwa judul ini mengungkapkan tentang semangat dan kelemahan jiwa dalam berbagai kehidupan, sebab dalam diri manusia pasti terjadi hal tersebut. Di satu sisi ada semangat yang membara dan di sisi lain ada ketakutan-ketakutan yang menjegal semangat itu sendiri.

Dalam bait yang pertama tertulis,
Ketika pena pertama bertinta puisi
menorehkan kata-kata rapuh
yang meyakini kesendirian
adalah sebuah jawaban
dari pengembaraan
jemari-jemari letih
maka terlahirlah
cermin muda
berembun
air mata

dan seperti penjelasan sebelumnya tentang kaitan jumlah bait dan angka 10, dalam bait ini ada sebuah penjelasan tentang kewajiban seorang penyair (penyair adalah pemilik pena bertinta puisi). Bahwa seorang penyair yang baik adalah seorang penyair yang mampu berdiri sendiri dalam kembara katanya. Juga harus mampu mengajari penyair pemula yang saat ini masih belum mengerti apa itu sebenarnya tujuan seorang penyair menulis puisi meskipun harus menuai kepedihan yang mendalam (air mata).

Pada bait kedua,
Ketika puisi merasa senasib padaku
bersedih deru wanita dipangkuan
melunglai sebagai kekasih hati
mengisyaratkan pengorbanan
perjalanan liku tanpa asa
maka bebas batin ini
meradang larutan
asin menetes
menghiasi
kertas
putih
Pada kaca mata bacaku, terlihat ada takdir yang pasti dalam bait ini yaitu penciptaan pria dan wanita sebagai pasangan. Jika meraka telah berjodoh maka sehidup semati mereka akan menjaga kesucian ikatan yang telah dibangun dalam rumah tangga. Meskipun tak jarang juga halangan dan rintangan itu selalu ada.

Selanjutnya bait terakhir yang berbunyi, 
Ketika puisi jadi pencerah harapan
lalangbuana kalbu pendosaMu
bersujud cari paduan jiwa
yang Kau sembunyikan
sebagai misteri hidup
di benak rangkaian
makna renungan
sepih kesunyian
awali sebentuk
bait pendasar
baris goyah
emosi diksi
menajam
hasrat
bebas
untuk
nulis
aku
dalam bait ini ada penjelasan tentang taubat kepada Tuhan dan juga tentang penyerahan diri kepada Tuhan. Pengakuan aku lirik tentang tujuannya dalam mennuliskan puisi (ketika puisi jadi pencerah harapan). Dalam larik pembuka itu Widya mengatakan bahwa puisi bisa menjadi pencerah bila dituliskan dengan hati dan tujuan hanya kepada Tuhan.

Namun hal itu juga tidak terlepas dari hubungan manusia dengan Tuhan. Semua agama pasti ada patokan tersendiri yang mengatur seluk beluk antara hubungan manusia dengan Tuhan, Islam telah diatur sedemikian rupa dan detail dalam AlQuran, Kristen dalam Injil, Budha dalam Tripitaka, serta Hindu dalam kitab Weda/Veda.

Lalu apa hubungan Weda/Veda dan Mahabarata—sebab dalam puisi ini mengacu pada angka 18 dan 18 merupakan jumlah kitab dari Mahabarata? Di dalam Chandogya Upanisad  (VII.1.2, dan VII.2.1) dinyatakan bahwa Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan Purana (kitab-kitab kuno) adalah Veda yang ke-5 (itihasa-puranam pañcamam vedanam vedam), dan mengingat Mahabharata adalah salah satu dari kitab Itihasa, maka Bhagavadgita dengan sendirinya merupakan Veda yang ke-5, di samping kitab Catur Veda  (Rigveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda) yang dikodifikasikan terlebih dahulu. (Dikutip dari BhagavadgitaAjaran Moralitas, Kemanusiaan dan Kerukunan Umat Beragama, http://www.parisada.org/index.php?Itemid=29&id=501&option=com_content&task=view).

Menjawab pertanyaan, masuk bagian puisi manakah puisi ini? Bagi saya, puisi ini adalah puisi remang-remang menuju terang, sebab secara kasat kita akan tahu bagaimana maksud dari puisi tersebut, namun di samping itu masih ada maksud yang tersembunyi dari puisi tersebut.

Secara keseluruhan puisi ini mengacu kepada hubungan yang diciptakan manusia yaitu hubungan manusia dengan manusia(baik dengan orang lain lain maupun dirinya sendiri), hubungan manusia dengan kekuatan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini merupakan sebuah segitiga yang seharusnya samasisi, sebab hubungan-hubungan itu harus harmoni, selaras dan seimbang, agar tercipta kehidupan bahagia dunia akhirat. Namun puisi ini jika memakai tipografi semacam ini bagi saya kurang memenuhi, sebab memakai segitiga siku-siku. Kekurangan lain dari puisi ini adalah serasa patah dan berdiri sendiri setiap baitnya jika tidak bisa mengungkapkanapa yang sebenarnya ingin diangkat, lalu pemilihan judul juga tidak ada hubungan yang klop dengan isi puisi.


Esais,

Luluk Andrayani
Ma On Shan, November 15, 2012

Selasa, 06 November 2012

[PUISI] BAYOLAN PERANG



BAYOLAN PERANG


kesekian kalinya engkau berteriak
lawan, Bung!
lawan!
roda berputar di dada
melindas tebas
hilang sisa tawa
yang asin dalam kerak
peadaban terbelah

ini perang, Bung!
serumu kembali
bangunkan mimpi buta
peluru tembus lurus
tubuh kurus anak sendiri
kejang tiang
noda tercecer
dalam lembar sejarah
yang terkoyak

konon inilah namanya perang
gulingkan tiang di jantung
sendiri!


mos71112la