Selasa, 27 Maret 2012

Muara Dari Perbedaan Dalam Kehidupan Adalah Maut


MUARA DARI PERBEDAAN DALAM KEHIDUPAN ADALAH MAUT

… karena tak seharusnya
perbedaan menjadi jurang
bukankah kita diciptakan
untuk dapat saling melengkapi
mengapa ini yang terjadi…

Masih ingat kan penggalan lirik lagu ini? Sebagai manusia kita memang diciptakan berbeda, tapi perbedaan itu bukan hal untuk menimbulkan perpecahan. Perbedaan adalah keanekaragaman, kalau dipadukan akan menhasilkan sesuatau yang luar biasa. Perbedaan juga merupakan kekayaan, jadi tidak perlu diperdebatkan. Perbedaan itu adalah wajar, kalau tidak ada perbedaan, mari kita bayangkan sejenak apa yang akan terjadi apabila kita semua sama. 

Bangsa Indonesia mempunyai banyak suku bangsa, sudah tentu akan ada perbedaan yang paling terlihat di antara suku-suku tersebut. Akan tetapi alangkah indahnya saat ditemukannya alat pemersatu bangsa yang diperingati pada setiap tanggal 28 Oktober itu. Sumpah Pemuda, begitulah disebutnya, yang mengungkapkan bahwa Bangsa Indonesia itu satu, berbahasa satu dan bertanah air satu. Semangat itu tetap membara dalam dada pemuda Indonesia.

Namun demikian meskipun manusia itu memnag diciptakan berbeda, namun akhirnya mereka adalah sama, mempunyai tujuan yang sama yaitu menghadap Sang pencipta, untuk mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya selama hidup di bumi.

Menyikapi adanya perbedaan  itu seorang pernyair muda yang berasal dari provinsi termuda di Indonesia, Muhammad Rois Rinaldi, menelurkan sebuah puisi yang sungguh mengelitik hati. Dengan gaya khasnya dia menyajikan puisi yang sarat dengan suara lantangnya dalam  meneriakkan isi hati.

DUA ALIRAN AIR

sahabatku, kita serupa dua aliran air, diam-diam bertanya akan keberadaan muara, dalam tenang riak-riak mendesah resah, juga kegamangan ini menghadirkan gelombang fatamorgana. tak usah risau serba tanya ketika aku menjadi genangan. meski perlahan akan menyusut, menjadi kerak-kerak bumi yang patah dan merabuk. aku enggan meminta agar tetap mengalir selamanya, biar menjadi kerak, biar menjadi rabuk, biar terbang dan hilang bentuk, biar! toh aku akan menjelma menjadi hujan, menyetubuhimu.

kau teruslah mengaliri fitrah juga titahNya yang tiada tertawar. sebelum kita bertemu dan aku serupa tamu membawa sebungkus kenangan. sampah-sampah akan silih datang menyelam dan tenggelam, kotoran manusia tercemplung lantas buyar, burung, bebek, ayam, apa saja yang berjenis binatang semuanya akan bertandang untuk mengucapkan salam juga menyekat aliran.

berhenti memberi tanda kurung pada makna, melarungkannya jauh ke laut lepas, sedangkan deburnya pun belum nampak, untuk apa merasa risih? takut berbaur dan tak lagi dikenali. bukankah tawar diri akan mengkristal di bawah terik matahari? teruslah mengalir hingga kelak kita akan sama-sama menemukan muara beraroma mawar. bening.

CILEGON-BANTEN
20-01-2012


Di bumi air alami ada dua macam yaitu asin (air laut) dan tawar. Dua air ini bertemu di muara dan menyatu di lautan yang luas. Tuhan menciptakan segala sesuatu selalu berpasangan (dua). Rois melukiskan hal ini dalam puisinya sebagai perbedaan yang dapat menyatu. Perbedaan itu adalah hal yang biasa, jadi tidak perlu takut untuk berbeda.

“sahabatku,” inilah kata yang diucapkan Rois dalam mengawali puisinya, menyapa pembaca sebagai sahabat. Sahabat ini dapat diartikan orang yang mempunyai hubungan jiwa, tempat mengadu baik dalam suka maupun duka. Rois mengharapkan pembacalebih dekat dengan dirinya. “ serupa dua aliran air,” ya, manusia memang berbeda, manusia kembar tetap berbeda dalam hal apapun, namun pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama dan akhir hidup yang sama. Pemilihan kata air di sini juga menyiratkan makna bahwa air itu sifatnya dapat berubah menuru tempat yang ditempatinya. Air juga merupakan sumber kehidupan yang utama, dan di muka bumi ini jumlah air juga lebih banyak.

Dua aliran air itu seakan-akan resah dan gelisah menghadapi suatu yang pasti ada namun belum dapat dilihat, “diam-diam bertanya akan keberadaan muara,”  kalau aliran air itu ibaratnya kehidupan, maka muaranya adalah maut. Manusia akan selalu gelisah bila membicarakan yang namanya kematian, entah itu apakah bekal mereka kurang atau sebab yang lain. Tentang kapan maut berpihak kepadanya manusia juga tidak mengetahuinya karena itu adalah rahasia Sang Pencipta. Rois juga menggambarkan “dalam tenang riak-riak mendesah resah, juga kegamangan ini menghadirkan gelombang fatamorgana.”  Meskipun manusia itu sejati seperti tidak peduli dengan apa yang namanya maut, sebenarnya hati mereka selalu berontak dan terus mempertanyakan keadaannya. Apakah mereka akan hidup atau akan mati saat itu juga. Manusia itu percaya atau bahwa yang hidup akan mati, namun angan mereka kadang terlalu jauh atau terlalu sempit dalam mengartikannya sehingga kepalsuan demi kepalsuan mereka tumpahkan di atas kanvas hidup, bahkan ada diantara mereka secara sengaja mereka atau meramal tentang kematian padahal kematian itu bukan hal untuk diramalkan. Kalau hal ini telah terjadi, maka keadaan yang ada semua seperti bayang-bayang yang mungkin menakutkan.

Lalu dengan keadaan yang seperti itu, Rois dengan tegas meminta “tak usah risau serba tanya ketika aku menjadi genangan. meski perlahan akan menyusut, menjadi kerak-kerak bumi yang patah dan merabuk”. Kalimat ini ironis, ada nada gelisah dan kekhawatiran yang tersembunyi diam-diam dalam benak penulis meskipun dia telah mengartikan hakikatnya sendiri sebagai air dan memberikan nasihat dengan tegas. Kepada sahabatnya (baca: pembaca) penulis juga berpesan  untuk tidak bertanya dan mencari tahu tentang hakikat dirinya sebagai air. Namun penulis tidak berada dalam aliran itu, dia ada dalam suatu tempat yang disebutnya genangan. Genangan ini biasanya bersifat sementara dan penulis juga tahu bahwa nanti dia akan hilang perlahan dan menjadi tiada sama sekali, bersatu dengan tanah tempatnya kembali menjadi sari-sari dalam bumi. 

“ku enggan meminta agar tetap mengalir selamanya,” kalimat sederhana ini adalah bentuk pemberontakkan penulis terhadap keadaan-- air itu selamanya mengalir dan mempunyai siklus, airà uapà hujan (air). Mengapa penulis meminta untuk tidak mengalir? Mau berada di manakah dia? Di tempat yang tertutup dan terlindung dari cahaya matahari yang membakar dan menempanya. Kalau dikaitkan dengan kehidupan keadaan yang seperti ini adalah sebuah nada keputusasaan, dan sungguh ironis jika manusia tidak ingin mengikuti takdir, jika air mengalir sebagai takdir, manusia ingin mengubah takdirnya. Inilah yang menjadikan penulis dan pembaca itu berbeda.  Namun akhirnya Rois membuka permintaannya “biar menjadi kerak, biar menjadi rabuk, biar terbang dan hilang bentuk, biar!”  Di kalimat ini kita akan tahu bahwa keinginannya ialah berkelana, dia tidak ingin dikurung oleh aturan yang harus dipatuhi. Bila menjadi kerak manusia akan tahu keadaan yang berada di bawah atau di dasar-dasar yang paling rendah dalam hidup ini. Lalu ada juga keinginannya menjadi rabuk, rabuk itu serupa pupuk yang sangat diperlukan oleh kehidupan, ingin berguna bagi yang lainnya dengan menyusupi seluruh kehidupan dan berbaur dengan kehidupan itu sendiri. Juga ingin terbang, ya siapa manusia yang tidak ingin berada di atas atau berada dalam tahap mulia? Semua manusia menginginkan kemulian dan itu pasti tempatnya di tempat tertinggi. Intinya di sini penulis ingin berbeda dan menentang takdir—atau ingin berusaha mengubah takdirnya. Meskipun nanti akan mengalah juga kepada keputusan akhir Sang Pencipta atau bisa disebut pasrah kepada takdir. Hal ini dilukiskan dalam diksi  toh aku akan menjelma menjadi hujan, menyetubuhimu. Itulah hakikatnya manusia, seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk mengubah dirinya, hakikatnya nanti dia akan tetap menjadi air yang mengalir pada tenmpat yang semestinya. Sadar atau tidak manusia masih pada siklusnya—lahir, hidup dan akhirnya kembali ke tanah.
 
Lalu bersama dengan hal itu Rois berpesan kepada pembaca agar pembaca tidak berontak kepada takdir kau teruslah mengaliri fitrah juga titahNya yang tiada tertawar. Di sinilah kita tahu bahwa memang benar si penulis ingin berbeda dengan yang lainnya, kalau yang lain berserah pada takdir, mengikuti yang sudah menjadi garis tangan tiap-tiap insan. Menjaga kesucian dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya yang setiap manusia tidak akan mampu melawannya. Namun jika melihat larik seterusnya sebelum kita bertemu dan aku serupa tamu membawa sebungkus kenangan.sepertinya penulis menuliskan pesan ini kepada seseorang yang dia anggap sebagai aliran yang lain itu dan  mengenali seseorang yang disebut “kau” lirik di sini. Atau bisa juga sebagai langkah untuk Rois bisa dekat dengan pembaca. Meskipun hakikatnya berbeda. Membuat sebuah perjanjian dengannya meskipun mereka dalam kehidupan berbeda dan jalan hidupnya beraneka ragam, namun semuanya nanti pasti bertemu dan dikumpulkan  di Padang Maksyar untuk mempertanggung jawabkan apa yang menjadi perbuatannya di dunia. Manusia di dunia hanyalah tamu, itulah peribahasa yang dipakai untuk menggambarkan keadaan singkat sebuah kehidupan. Manusia harus mencari bekal yang nanti akan dipakai untuk menghadap Illahi, dan di puisi ini penulis menggambarkannya sebagai “kenangan”. Berbagai macam dan ragam manusia akan menunjukan apa yang diperbuatnya di muka bumi. Di Padang Maksyar pun manusia berbeda semua amal dan perbuatan mereka dihisab dan akan memperoleh balasan setimpal dan serupa perbuatannya. “sampah-sampah akan silih datang menyelam dan tenggelam, kotoran manusia tercemplung lantas buyar, burung, bebek, ayam, apa saja yang berjenis binatang semuanya akan bertandang untuk mengucapkan salam juga menyekat aliran.”

Namun sepertinya si penulis tidak ingin hanya berangan-angan lagi tentang perbedaan yang ada di kehidupan abadi. Dia mengajak pembaca untuk menjalani kehidupan yang saat ini nyata dan berjalan.  “berhenti memberi tanda kurung pada makna,”  Diksi ini menginginkan manusia agar manusia itu tidak mengurung dirinya atau selalu menutupi apa yang tersembunyi atau apa yang seharusnya dirahasiakan. Manusia harus bisa lebih terbuka agar keselarasan tercapai dalam perbedaan itu. Biarkan semua terlihat apa adanya dan biarkan semua mengembara mencari hakikatnya untuk sampai pada muara.

Namun untuk sampai pada muara itu kita belum tahu kapan dan bagaimana muara itu manusia juga tidak  mengetahui. Manusia belum tahu namun karena kepercayaannya kan muara kehidupan adalah maut itu sudah pasti. “melarungkannya jauh ke laut lepas, sedangkan deburnya pun belum nampak,”  Lalu Penulis juga berpesan “untuk apa merasa risih? takut berbaur dan tak lagi dikenali.” Bahwa manusia tidak perlu merasa rendah diri dalam hidup ini. Tidak perlu takut mengahdapi kemelut dalam kehidupan. Juga tidak perlu takut untuk berbeda meski nantinya perbedaan itu akan menyebabkan dia tak lagi diketahui oleh orang lain. Atau dengan perbedaan dia akan dikucilkan oleh kelompoknya. “bukankah tawar diri akan mengkristal di bawah terik matahari? teruslah mengalir hingga kelak kita akan sama-sama menemukan muara beraroma mawar. bening.” Meskipun manusia selalu memberontak untuk berbeda namun juga pemberontakkannya itu tidak berfungsi. Karena akhirnya harus berada di salah satu aliran air yang dia gambarkan itu. Tinggal memilih yang mana. Aliran-aliran itu akhirnya akan berkumpul dalam satu muara. Berusahalah untuk menjadi yang terbaik, berbuat baik dan tetaplah pada aliran itu. Sehingga suatu saat nanti akan menemukan sebuah akhir yang baik dan indah. Sebuah ketenangan jiwa di alam baka.


Luluk Andrayani
Ma On Shan, 13032012

Iman Dan Takwa Dalam Bingkai Kaca


IMAN DAN TAKWA DALAM BINGKAI KACA

Dewasa ini, manusia semakin disibukkan oleh dunia. Mata hati tak mampu melihat lagi, karena mata kepala maju di atas segalanya. Gemerlap dunia memang memikat, penuh warna-warni keindahan dan kenikmatan, namun itu semua adalah ujian yang diturunkan Allah SWT kepada kita untuk menguji seberapa kuat iman dan takwa kita kepada-Nya.

Kadang manusia akan lupa segala-galanya saat pujian bersarang ke benaknya. Hatinya akan tersanjung dan berjalan membusung. Siapapun akan merasakannya dan menikmati pujian itu, kecuali mereka yang benar-benar kuat iman dan sadar kalau semua itu bukan miliknya. Tanpa mereka sadari pujian itu adalah cara setan untuk membuat manusia lupa kepada fitrahnya. Setelah itu setan akan terus memuat sangkar di hati insan yang imannya semakin melemah dan memperbudaknya.

Diam-diam kegelisahan ini berpengaruh juga di dalam kancah dunia kepenyairan, penyair-penyair pemula akan merasa “wahhh!!” ketika karyanya mendapat sedikit perhatian dan mereka akan lupa kepada tugasnya sebagai penulis puisi yang memuisi. Melihat fenomena-fenomena yang seperti ini, hati seorang penyair yang mengaku dalam kesehariannya selalu dikelilingi empat bidadari, Dimas Arika Mihardja (DAM),  menuliskan sebuah sajak percakapan dengan belahan jiwanya.


AYAT 729, UKIRAN KAYU JATI
: percakapan dengan yessika susastra

telunjukmu menunjuk kaligrafi baitul mekah
terbuat dan terpahat dari kayu jati
dalam bingkai kaca dan warna emas
seorang lelaki, mungkin kafilah memanggul-nya
melintas depan rumah, katamu: "mas

warna emas serasi dipajang di rumah ibadah
persis di muka saat kita mendirikan sholat, menghadap kiblat
aku ingin membingkai hatiku dengan kaca bening
lalu kupajang sebagai hiasan dinding seperti ukiran kayu jati"
lalu kataku: "yes

ukiran kayu jati hanyalah wujud benda
apakah kita akan menjadikannya berhala?
usah kaubingkai hatimu dan dipajang pada dinding
biarkanlah ia terpajang pada bidang dadamu"

bpsm, 08/02/2012


Puisi yang berjudul “AYAT 729, UKIRAN KAYU JATI” ini adalah hasil percakapan DAM dengan Yessika Susastra, istrinya. Dalam judul ini mengandung  makna yang dalam dan merujuk kepada tingkatan rohani yang paling tinggi kualitasnya. AYAT dalam judul puisi ini telah menyeret kita kepada peraturan-peraturan yang menjadi patokan dan harus ditaati, sebab biasanya ayat itu adalah bagian dari kitab yang di dalamnya ada hukum dan hukum adalah puncak yang mengatur hubungan manusia, baik dengan manusia itu sendiri, alam dan Tuhan.
Angka atau bilangan 729 sendiri adalah angka yang hanya bisa dibagi oleh bilangan yang mempunyai kelipatan 3. Dalam kehidupan ini manusia sebenarnya melalui tiga tahapan yaitu lahir, hidup dan mati. Sedangkan UKIRAN KAYU JATI menggambarkan suatu fenomena keindahan dengan kualitas yang sangat tinggi. Di tanah Jawa, kayu yang paling bagus adalah kayu jati, kayu ini mempunyai kualitas dan daya tahan yang sangat lama. Dibuat dan diolah menjadi berbagai macam peralatan atau istilah kerennya adalah furniture, dan tentunya bila dinominasikan harganya cukup tinggi. Ukiran merupakan salah satu hasil karya manusia dengan ketekunan dan kesabaran sang pengrajin menjadikan sebuag bongkah kayu yang semula tidak benilai menjadi sangat indah dan menarik.

telunjukmu menunjuk kaligrafi baitul mekah
terbuat dan terpahat dari kayu jati
dalam bingkai kaca dan warna emas
seorang lelaki, mungkin kafilah memanggul-nya
melintas depan rumah, katamu: "mas

Diksi “telunjukmu menunjuk kaligrafi baitul mekah” menggambarkan tentang keadaan pada saat syahadat dalam melaksakan shalat fardhu maupun sunah telunjuk kita selalu menunjuk kepada kiblat (kakbah) yang berada di kota Mekah, kota suci umat islam. Lalu kiblat itu oleh DAM digambarkan sebagai kaligarafi yang “terbuat dan terpahat dari kayu jati” hal ini cukup memberikan pesan bahwa iman dan takwa seseorang itu adalah ukuran kemuliaan manusia di mata Tuhan, Allah SWT. Dalam usaha meningkatkan iman dan takwa, manusia akan berusaha untuk selalu mendekatkan diri, melukisi dirinya dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi sala larangan-Nya. Manusia terus berusaha dan berdoa agar iman dan takwa mereka selalu melekat erat dan awet di dalam hatinya sampai nanti. Namun iman dan takwa itu ibaratnya berada “dalam bingkai kaca dan warna emas”, sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat, keadaan mudah mengombang-ambingkan hingga bisa dikatakan rawan, mudah pecah seperti kaca, sekali jatuh sudah tidak berbentuk lagi dan tentunya setan pun tidak akan tinggal diam dalam hal ini. Iman dan takwa yang kuat itu dimiliki oleh seseorang yang oleh DAM disebut sebagai kafilah, “seorang lelaki, mungkin kafilah memanggulnya”.  Kafilah itu sendiri adalah orang atau kelompok yang sedang mengembara di tengah padang pasir, ini adalah metafora yang berarti seseorang yang sedang menjalanai kehidupan di tengah rawannya kehidupan itu sendiri, kuat menghadapi tantangan, melawan haus dan lapar hanya untuk mencari sesuatu yang menjadi tujuan dari pengembaraannya itu sendiri. Tujuan itu bermacam-macam bentuk dan ukurannya, sesuai dengan niat pada diri masing-masing. Kita juga pengembara meskipun kita tidak berada di tengah padang pasir dan tujuan utama manusia yaitu menghadap Sang Khaliq, dan di tengah pengembaraan itu kita harus menyiapkan bekal dan bekal itu tidak lain adalah iman dan takwa. Pada sudut pandang DAM, semua manusia yang ada di muka bumi ini diibaratkan sebagai pengembara yang lalu lalang dan kebetulan saat itu ada salah satu pengembara itu melintas di hadapannya yang dicerminkan dari, “melintas depan rumah”, rumah itu dalam kepercayaan Jawa diibaratan sebagi raga, dan apabila bermimpi rumahnya roboh, orang jaman dahulu percaya bahwa aka nada keluarga itu yang sakit atau meninggal dunia. Berarti diksi “melintas depan rumah” dapat diartikan bahwa seseorang yang dimaksudkan oleh DAM sebagai pengembara yang sedang mencari bekal untuk menghadap Allah SWT, itu seolah-olah berjalan dihadapannya, tiba-tiba belahan jiwanya DAM, Yessika Susastra berkata, yang dilukiskan dengan “katamu, Mas”

warna emas serasi dipajang di rumah ibadah
persis di muka saat kita mendirikan sholat, menghadap kiblat
aku ingin membingkai hatiku dengan kaca bening
lalu kupajang sebagai hiasan dinding seperti ukiran kayu jati"
lalu kataku: "yes

Pembukaan percakapan Yessika menyinggung tentang warna emas, emas itu sendiri adalah logan mulia yang bisa dijadikan berbagai macam perhiasan dan tentunya setiap orang akan menyukainya terlebih lagi kalangan wanita. Banyak yang mengorbankan harta bahkan harga diri hanya untuk mendapatkan apa yang disebut emas itu. Dan dalam pemikiran Yessika warna emas itu ada warna yang mulia sehingga sangat bagus untuk dipajang di tempat dia menghadapkan diri kepada penciptanya, sholat. Hal ini dapat kita baca dari diksi “warna emas serasi dipajang di rumah ibadah/persis di muka saat kita mendirikan sholat, menghadap kiblat”, Yessika juga memberikan informasi kepada DAM bahwa dalam pemikirannya rumah ibadah itu adalah  tempat yang istimewa dan harus dimuliakan dengan warna yang mulia juga dan akan lebih mulia lagi kalau dipasang di muka atau di hadapan mereka saat menjalankan ibadah, dalam usahanya untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT. Lalu ada juga keinginan yang diam-diam diidamkan yaitu “aku ingin membingkai hatiku dengan kaca bening/lalu kupajang sebagai hiasan dinding seperti ukiran kayu jati”. Dalam pandangan manusia, bening adalah sesuatu yang mudah terlihat dan mudah dibaca oleh orang awam sekalipun, Yessika diam-diam mengungkapkan isi hatinya dan ingin isi hatinya itu diketahui oleh semua orang yang melihatnya. Agar orang yang melihatnya akan kagum kepada, memuji dan paling tidak dia ingin terkenal oleh sesuatu yang ada dalam hatinya. Namun dengan tegas sebelum semua terlambat DAM, sebagai suami yang mengerti, menasehatinya dan tercermin dari “lalu kataku: yess”
ukiran kayu jati hanyalah wujud benda
apakah kita akan menjadikannya berhala?
usah kaubingkai hatimu dan dipajang pada dinding
biarkanlah ia terpajang pada bidang dadamu"

Ya, ukiran kayu jati hanyalah wujud benda/apakah kita akan menjadikannya berhala?, iman dan takwa pun bisa dikatakan sebagi benda, dan jika kita menyembah benda maka kita akan dicap sebagai seorang yang musyrik, dan dosa kita tidak akan diampuni oleh Allah SWT. Perhiasan dunia semua berwujud benda, manusia hanya boleh mengaguminya karena iman dan takwa kepada Allah SWT. Lalu apabila iman dan takwa yang kita usahakan itu kita pamerkan kepada orang lain, bukan pahala yang kita terima melainkan justru Allah mengutuk kita dan menempatlkan kita sama dengan golongan orang-orang yang kafir. Memang sesuatu yang menggiurkan untuk memperoleh nama di mata umum melalui iman da takwanya kepada Allah, namun ini sekaligus jebakan setan agar kita terperangkap ke dalam hujan pujian, sehingga dengan puian itu menjadikan kita lupa kepada tujuan kita semula yaitu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dengan pujian kita bisa menyekutukan Tuhan Yang Maha Esa. Lalu dengan sabar DAM juga melukiskan nasehatnya “usah kaubingkai hatimu dan dipajang pada dinding/biarkanlah ia terpaja pada bidang dadamu”, nasehat ini juga tepat buat semua pengembara kehidupan yang mencari hakiki dan berusaha untuk mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Tidak perlu membingkai dam memajang apa yang menjadi kebaikan kita, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. Apapun yang ada di dalam hatimu, bahkan kamu bersembunyi di lubang yang tidak ditemukan oleh manusia lainnya, Allah mengetahui. Kebaikan dan keburukan manusia itu ada di hatinya, Biarlah iman dan takwa itu tersimpan dan berkembang di hati. Amalkanlah saja, tidak perlu tempat untuk menyiarkan.

Dari puisi di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada saat ini, manusia kebanyakan bertopengkan iman dan takwa padahal hati mereka adalah iblis. Berkoar kesana-kemari, dengan dandanan ala kiai, padahal dibalik jubahnya tersimpan rencana hitam yang mengerikan. Mereka senang dipuja dan dipuji. DAM begitu gelisah menghadapi hal ini sehingga dia berpesan lewat puisinya yang berkesan sederhana namun mengena. Juga pesan kepada manusia untuk menjadi diri sendiri, jangna terpengaruh oleh hal-hal yang dilihat oleh mata kepala baik. Gunakan mata hati untuk melihat apa yang ingin dilakukan. Tingkatkan iman dan takwa kepada Allah, namun biarkanlah hanya Allah saja yang menilai sehingga kita Dia anggap sebagai hamba-Nya yang mulia.


Luluk Andrayani
MOS17032012

Buah Simalakama: Dimakan Atau Tidak?


BUAH SIMALAKAMA ITU ...
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal

buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?

buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!

bpsm, 11/1/2012


Menilik judulnya “BUAH SIMALAKAMA ITU …” saya menemukan ada suatu bagian kalimat yang dihilangkan dengan tanda epilepsies (…). Entah tentang apa dan apa yang sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penulis. Ini masih menjadi teka-teki dan hanya penulis yang tahu kepastiannya.

Menurut artinya, buah simalakama itu ada karena ungkapan yang menyatakan bahwa dimakan atau tidak buah itu tetap mengandung bahaya atau membahayakan. Dan ini jelas dalam kehidupan sehari-hari kita pasti akan mengalami dan/atau menemui suatu keadaan yang seperti ini. Ini menantang saya untuk berpikir bagaimana caranya menghadapi keadaan seperti ini.

Dan diteruskan dengan “: bagi penyair generasi kini”, dari sini saya menemukan bahwa si penulis ingin membagi pesan kepada kita semua -- penyair yang hidup masa ini --. Bahwa untuk menjadi penyair itu sama artinya dengan kita menemui buah simalakama yang tersebut diatas.







buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal

Dalam bait pertama ini saya mememukan bahwa untuk menjadi seorang penyair yang berkepribadian kita akan menghadapi segala sesuatu yang berbahaya, halangan dan rintangan. Semua itu sudah seperti santapan keseharian kita dan  berada pasti di hadapan kita, siap menerjang kita suatu saat, siap menyandung kaki kita saat kita melangkah dan kita pun juga harus siap menghadapinya. Dan semua itu terjadi karena iyu awal dari  proses pembentukan jati diri kita sebagai penyair yang tangguh.

Kalau ada yang bertanya mengapa si penulis mengungkapkan kata “cintaku”, menurut pendapat saya, ini adalah bukti kepedulian penulis kepada kita semua, yaitu penyair-penyair muda yang ada saat ini. Dia menganggap kita sebagai orang terkasihnya yang harus dirawat dan dibimbing setiap saat.

Kemudian saya terkejut dan bertanya  mengapa ada barisan nama-nama penyair dan karyanya dalam bait ini? Dari sini saya mendapatkan bahwa si penulis memberikan suatu pilihan  kepada saya,  apakah saya akan selamanya menjadi seorang yang hanya menjadi ekor saja atau  akan mendapatkan suatu kepribadian tersendiri seperti penyair-penyair yang disebutkan dalam puisinya itu. Contohnya SDD menemukan kepribadiannya dalam puisinya yang berjudul Mata Pisau dan DukaMu Abadi, Goenawan Muhammad dalam puisinya yang berjudul Keraguan, Subagio dalam puisinya Kematian Semakin Akrab, juga SCB dalam puisinya O Amuk Kapak dan Afriza; Malna dengan puisinya Abad yang Berlari.


buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?


Dalam bait kedua ini saya menemukan penulis ingin menyampaikan bahwa halangan dan rintangan itu akan ada selama kita masih dalam proses pembentukan dan pencarian. Kemudian saya merasakan ada sebuah tantangan atau tawaran untuk mengikuti kejayaan Amir Hamzah dalam puisinya Nyanyi Sunyi Di Dada Doa,  atau memilih tetap  mencari dan terus mencari seperti halnya seorang pengembara ( saya tidak tahu apakah ini puisi dan pengarangnya “mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros”), atau kita menuju kelautan, berenang bahkan menyelami luas dan dalamnya seperti syair-syair yang dituli oleh Sutan Takdir Alisyabana, atau juga kita harus kembali lagi kedalam bentuk puis-puisi lama, contohnya Gurindam Dua Belas milik Raja Ali Haji.

Dari sini saya tahu bahwa penulis memang sengaja ingin memberikan gambaran-gambaran penyair yang telah menemukan jati dirinya, terus menyuruh kita untuk berpikir apakah akan terus mengekor atau memebnetuk jadti diri sendiri.

buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!

Dan sebagai bait penutup DAM menyampaikan suatu pesan yaitu sebagai penyair masa kini kita harus melahap semua proses yang ada, melalui semua rintangan dan halangan. Bahkan sampai saat-saat yang rawan pun kita masih harus bisa berpikir dan berpikir bagaimana caranya kita membentuk jati diri kita. Dan suatu saat bila kita telah benar-benar menemukan kepridian itu kita akan melahirkan senuah karya yang berkilauan dan akan kekal sepanjang masa.


Aku sangat terpesona dengan DAM yang sangat peduli dengan generasi penerus penyair, dengan ungkapan BUAH SIMALAKAMA, dia menyampaikan sebuah nasehat agar kita terus berjuang dan berjuang untuk menemukan kepribadian yang sesungguhnya, dengan menawarkan dan menyuguhkan berbagai kepribadian kekal penyair-penyair ternama dari zaman dahulu hingga kini.

ESAI: INSOMNIA OH INSOMNIA


Insomnia, kata ini memang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan kita. Dan setiap orang bisa mengalaminya. Apa sih yang dimaksud dengan insomnia itu sebenarnya?

Akan tetapi saya minta maaf, di awal ini saya ingin bercerita dahulu tentang penyalahgunaan kata insomnia. Beberapa bulan yang lalu saya tertawa sampai terpingkal-pingkal, karena ada salah satu teman maya saya (baca: facebook), membuat status tentang insomnia padahal itu masih sekitar waktu maghrib. Saya masuk dan bertanya di statusnya, ‘ini masih sore lo, kok sudah ngomong insomnia?’, lalu dia balik bertanya ‘insomnia itu apa sebenarnya?’. Parah sekali kan? Ada orang yang menggunakan bahasa asing tapi dia tidak tahu apa artinya. Kemudian saya jelaskan padanya kalau insomnia itu penyakit tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia sendiri ikut tertawa  dalam balasan komen di statusnya dan menjelaskan dia tidak tahu apa sebenarnya itu insomnia. Dari sini saya bisa memetik hikmah dan berjanji tidak akan menggunakan bahasa asing atau bahasa yang masih asing dalam setiap kata yang saya tulis. Takut ditanya tapi tidak tahu jawabnya.

Insomnia menurut bidang kesehatan adalah penyakit tidak bisa tidur atau mungkin penderita bisa tidur tapi tidurnya tidak bisa nyenyak. Saya yakin di antara sekian banyak manusia menganggap penyakit insomnia adalah penyakit yang remeh. Namun insomnia bukan semudah dan seremeh yang kita bayangkan. Insomnia sangat menyiksa, dan ini dapat mengganggu aktivitas kita. Bayangkan apa yang akan terjadi jika kita  ingin tidur tapi tidak bisa tidur atau bisa tidur tapi tidak bisa nyenyak –selalu terbayangi hal-hal yang tidak kita inginkan—menyiksa bukan. Saya yang ingin tahu dan selalu ingin tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam puisi, saya mencoba mengobrak-abrik untuk menemukan pesan yang terkandung di dalamnya. Walau mungkin saya bisa dikatakan masih “serba terbatas”, namun semangat yang meledak dan tertantang inilah yang membuat saya berani.

Kemungkinan karena mewabahnya penyakit ini, Eska Wahyuni prihatin dan mengambilnya sebagai bahan bahasan ide puisinya. Dia ingin mengungkapkan apa itu insomnia dan apa penyebabnya. Atau mungkin Eska punya maksud tertentu tentang insomnia dalam puisinya ini.



INSOMNIA
Oleh: Eska Wahyuni


tentu saja. ingatan itu kekal di matamu.
sesuatu kau bekukan di belakang lalu lalang orang orang.
kereta, lingkar jalan layang dan semua yang terserak dari
pecahan jam, tanggal, dan bulan yang berpilinan. yang bertabrakan.

wajah wajah. nama nama. suara suara. mereka yang berdesak
desak di sebuah laci, menjerit minta di temani. tetapi burung
burung itu telanjur sunyi. semua legenda tentang kota kota, tiang tiang baja,
gedung gedung kaca, dan boneka boneka di dalamnya (yang memaksakan
gelak tawa pada sisa umur baterainya), angin yang berhenti terbang
juga debu dalam lingkaran lingkaran yang diam, telah usai
di bacakan. hanya dalam satu halaman: mereka yang datang-mereka
yang pergi-mereka yang tak pernah dikenali lagi. prasasti didirikan.
tetapi kebisingan, seperti juga tatapan yang asing, menyangkarkan
kenangan lalu mengereknya pada tiang yang jauh. dan kereta
yang tak punya perhentian mengirimkan burung burung
(juga suara laut dan wangi rumput) ke alamat yang tak diketahui.

tiba tiba langit sudah tak berkotak kotak lagi. tak di warnai. tak punya tepi

tentu saja. ingatan itu kekal di matamu: sesuatu yang bisa meneteskan waktu
dari kumparannya, bahkan air mata, pada semua yang berwarna
abu abu.

jogja, jan 2011







Sebelum memasuki badan puisi dalam hati saya bertanya, seperti apakah insomnia yang dimaksud Eska itu sebenarnya, apa insomnia di sini sama dengan insomnia di bidang kesehatan?


tentu saja. ingatan itu kekal di matamu.
sesuatu kau bekukan di belakang lalu lalang orang orang.
kereta, lingkar jalan layang dan semua yang terserak dari
pecahan jam, tanggal, dan bulan yang berpilinan. yang bertabrakan.


Suatu kepastian dari tanda-tanda seorang yang mempunyai penyakit tidak bisa tidur (dalam bidang kesehatan) adalah selalu memikirkan sesuatu dalam kehidupannya. Sesuatu itu bisa berupa persoalan atau masalah yang sangat special sehingga si penderita  mau tidak mau akan terus mengenangnya. Mungkin persoalan ini bersifat sangat pribadi dan si pebderita akan terus merahasiakannya tanpa mau berbagi dengan orang lain. Persoalan itu juga dapat berupa kekayaan dan kemewahan yang mereka miliki. Atau bisa juga masalah itu tentang  kerumitan sosial ekonomi. Apabila semua permasalahan itu terlalu lama ditutupi  dan tidak segera mendapatkan pemecahan, seseorang itu akan terus menerus gelisah dan berpikir bagaimana ya baiknya.

“… dan semua yang terserak dari
pecahan jam, tanggal, dan bulan yang berpilinan. yang bertabrakan.”

Dalam penggalan ini saya mengartikan bahwa semua masalah yang menyebabkan insomnia itu adalah masalah yang terjadi setiap saat dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin terjadi di masa lampau dan masih berlangsung hingga saat ini. Kemudian akan muncul permasalahan-permasalahan baru yang serupa seiring berputarnya waktu, Dan semakin lama persoalan itu semakin banyak dan mungkin tidaka akan habis untuk dicarikan jalan keluar. Semua persoalan itu berseliweran di dalam otak secara terus menerus.

wajah wajah. nama nama. suara suara. mereka yang berdesak
desak di sebuah laci, menjerit minta di temani. tetapi burung
burung itu telanjur sunyi. semua legenda tentang kota kota, tiang tiang baja,
gedung gedung kaca, dan boneka boneka di dalamnya (yang memaksakan
gelak tawa pada sisa umur baterainya), angin yang berhenti terbang
juga debu dalam lingkaran lingkaran yang diam, telah usai
di bacakan. hanya dalam satu halaman: mereka yang datang-mereka
yang pergi-mereka yang tak pernah dikenali lagi. prasasti didirikan.
tetapi kebisingan, seperti juga tatapan yang asing, menyangkarkan
kenangan lalu mengereknya pada tiang yang jauh. dan kereta
yang tak punya perhentian mengirimkan burung burung
(juga suara laut dan wangi rumput) ke alamat yang tak diketahui.

Sepertinya dalam bait ini Eska ingin menunjukkan kepada kita sesuatu yang baru, bentuk ulang (wajah wajah. nama nama. suara suara) tapi tanpa tanda penghubung. Ini membuat saya bingung sejenak bagaimana caranya, dan menurut pendapat saya ini memang kata ulang tapi mempunyai maksud yang lain. Kalau dilihat mungkin si penulis ingin mengungkapakan bahwa semua hal yang ada di dunia pasti punya wujud, rupa, nama, arti dan fungsinya masing-masing. Semua persoalan atau hal itu pasti selalu ada di sekitar kita dan secara tidak langsung kita pun berhubungan dan masuk dalam pikiran kita.
… mereka yang berdesak
desak di sebuah laci, menjerit minta di temani. tetapi burung
burung itu telanjur sunyi. …
Saya merasakan bahwa penyair ingin menyampaikan bahwa persoalan atau hal itu mempunyai tempat tersendiri sesuai dengan bidangnya masing masing. Namun semua itu selalu berdampingan dan tidak bisa dilepaskan satu-satu atau dipreteli (bahasa Jawa) serta ada dalam satu wadah pemikiran seseorang. Satu persoalan juga dapat menumbuhkan atau mengundang persoalan-persoalan yang lain sehingga semua persoalan itu sudah seperti berkaitan. Si empunya persoalan ingin segara menyelesaikan semua persoalan itu namun ada yang terjadi di luar dugaannya, persoalan itu tidak akan mendapatkan tempat dan/atau persoalan yang serupa sudah ada yang memecahkan sebelumnya. Sehingga persoalan yang dimaksudkan sudak tidak ditanggapi oleh orang lain. Bahkan bila ada yang membukanya kembali, terpaksa mereka akan menutup mulutnya dan mereka tidak akan pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.


  semua legenda tentang kota kota, tiang tiang baja,
gedung gedung kaca, dan boneka boneka di dalamnya (yang memaksakan
gelak tawa pada sisa umur baterainya), …
Semua peristiwa yang terjadi di sebuah tempat, dapat berupa bencana, pembangunan, pembaharuan dan perubahan, serta penduduk yang berada di wilayah tersebut, akan menjadi bahan pemikiran juga. Karena mereka ( tempat dan penghuninya) adalah bagian dari kehidupan dan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka juga memerlukan perhatian, terlebih lagi kepada manusianya (maaf) di sini mungkin si penulis menyamakan manusia itu sebagai boneka, karena mereka tidak mempunyai kekuasaan sehingga dengan mudahnya diperintah oleh yang berkuasa dan sebenarnya ingin memberontak namun tidak mempunyai kekuatan, mereka takut, jadi manusia-manusia itu hanya mirip boneka, meski punya nurani tapi tidak melawan dan hanya akan membiarkanya.

Manusia sebenarnya menderita dan hanya akan berusaha untuk kelihatan seperti bahagia bila dipandang. Mungkin dalam pemikirannya “apa gunanya kita bersedih, ini sudah nasib kita untuk menerima semua perlakuan seperti ini, dan masa kita mungkin tidak akan lama lagi”. Dan ini juga menjadi beban atau permasalahan yang sangat serius. Dan mungkin bisa dikatakan akan mematikan semua sarana dan sumber daya manusia.







… angin yang berhenti terbang
juga debu dalam lingkaran lingkaran yang diam, telah usai
di bacakan. hanya dalam satu halaman: mereka yang datang-mereka
yang pergi-mereka yang tak pernah dikenali lagi. …
Dalam penggalan ini saya menemukan bahwa kabar atau peristiwa, dapat berupa bencana sudah terjadi bahkan tertalu sering sehingga manusia tidak mampu lagi untuk mengungkapkan bagaimana keadaan yang mereka alami. Hanya dalam sekejap dan dalam satu persoalan saja akan mengakibatkan atau mencetuskan banyak peristiwa-peristiwa lain terjadi dan semua itu datang silih berganti bahkan karena terlalu banyaknya peristiwa itu ada masalah yang terlupakan atau tersingkirkan begitu saja sehingga tak pernah ada yang menemukan jawabnya meskipun persoalan itu sebenarnya sangat serius dan perlu dipertimbangkan secara matang, serta perlu penyelesaian sesegera mungkin.


… prasasti didirikan.
tetapi kebisingan, seperti juga tatapan yang asing, menyangkarkan
kenangan lalu mengereknya pada tiang yang jauh. dan kereta
yang tak punya perhentian mengirimkan burung burung
(juga suara laut dan wangi rumput) ke alamat yang tak diketahui.
Meskipun peringatan tentang semua peristiwa itu telah diberikan dan tak pernah bosan disebarkan, namun tanda itu hanya akan seperti angin yang berlalu saja, tenggelam dalam keramaian yang semakin menjadi atau peristiwa-peristiwa kecil yang membesar. Atau bahlkan ada kejadian lain yang masih belum kita kenali sebelumnya menggesernya dan menjadikan peristiwa penting yang terjadi itu segera dilupakan.

Mungkin penulis ingin  menyampaikan bahwa hakikat sebagai manusia yang sebenarnya telah dilupakan dengan hal atau pemikiran baru yang kemungkin berasal dari seiring perkembangan zaman ini. Kita ada yang termakan globalisasi, sehingga kita lupa siapa jati diri kita. Kita akan terus berjalan seiring waktu namun kita tidak mengetahui seberapa jauh kita berjalan dan sampai kapan, bahkan kita akan dihantarkan kepada dunia yang baru yang kita tidak ketahui sebelumnya bahkan kita tidak mengenalinya. Dan peristiwa ini akan menjadikan kita untuk berpikir lebih lagi tentang apa dan bagaimana sehingga kita tidak bisa tidur.


tiba tiba langit sudah tak berkotak kotak lagi. tak di warnai. tak punya tepi
Dan dalam menghadapi situasi seperti ini si penulis ingin menyampaikan bahwa kita sepertinya melupakan sesuatu. Kalaulah langit di sini dimaknai sebagai Yang Maha Tinggi, maka kita seperti akan melupakan hakikat sebagai hamba Tuhan yang seharusnya beriman dan bertakwa kepada-Nya. Kita telah lupa segalanya, bahkan kita menjauh dari-Nya dan kita tidak lagi beribadah, hanya mengejar dunia dan dunia.
tentu saja. ingatan itu kekal di matamu: sesuatu yang bisa meneteskan waktu
dari kumparannya, bahkan air mata, pada semua yang berwarna
abu abu.
Dan sebagai bait penutup Eska juga menyebutkan suatu kepastian yang selalu ada dalam pemikiran seorang penderita insomnia adalah semua yang keluar dari hal yang telah ditentukan atau menyimpang jalannya. Semua penderitaan yang terjadi di dunia ini akan selalu saja ada dan terus mengganggu jalan pemikiran dan selalu membuat kita tidak bisa tidur. Namun penderitaan ini disamarkan sehingga orang lain tidak akan mengetahuinya. Atau mungkin juga dia tidak mau membaginya dengan orang lain, hanya memikirkannya sendiri.


Dari semua uraian yang saya buat di atas, saya menyimpulkan bahwa siapa sebenarnya yang terserang insomnia itu. Negeri kita beserta para pemikirnya yang tanggap akan hal dan penyebabnya adalah orang yang terserang insomnia dan mereka akan terus berpikir bagaimana caranya menyelesaikan masalah seperti yang Eska ungkapkan dalam puisinya ini. Sepertinya penyair pun punya andil untuk terserang insomnia. Karena penyair adalah seorang yang ingin melukiskan apa yang terjadi dan dia tidak akan pernah berhenti untuk memikirkan peristiwa yang tersebut dalam puisi ini. Meurut pembacaan saya isi puisi ini adalah sebab mengapa orang bisa menderita insomnia, apa yang sebenarnya ada dalam pemikirannya.

Dalam puisi ini saya juga seperti diajak Eska menjelajahi semua peristiwa dan bagaimana jalannya peristiwa itu, Eska juga seperti membuat saya menjadi seperti penderita insomnia, saya akan memikirkan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan dan dijelaskan olehnya dan tidak bisa tidur dengan nyenyak.


LukA
MOS 16012012

Proses Kreatif


Proses Kreatif


Puisi Sebagai Kata Hati

Terus terang, menulis itu bagi saya tidaklah mudah, terlebih puisi, harus melalui tahap-tahap yang mungkin bisa orang lain bilang membosankan. Proses kreatif sebenarnya itu milik diri sendiri (mengutip kata Pramodya Ananta Toer, saat ditanya tentang proses kreatif kepenulisannya), jadi saya bebas untuk mendedahkan atau tidak. Proses kreatif yang bagi saya adalah sebuah rahasia bagaimana saya bisa menulis puisi-puisi atau tulisan dalam bentuk lain itu adalah cara mengembangkan ide dari apa yang melintas di hadapan kita, kapan, di mana, bagaimana dan tentang siapa.

Sampai saat ini puisi seperti sudah menjadi kekasih saya, saat sedih, bahagia atau sedang apa saja, saya dapat curhat dengannya. Semenjak kelas 4 Sekolah Dasar saya sudah belajar menulis puisi karena saat itu sudah diberikan pelajaran tentang puisi, namun ya tahulah, namanya juga tulisan anak SD jadi ya belum bisa dikatakan puisi. Saya jatuh cinta pertama kepada puisi dengan judul Tunanetra, saya lupa pengarangnya siapa, saat itu saya tidak tahu apa itu tunanetra, pada gambaran saya seorang tunanetra itu adalah orang yang cantik rambutnya lurus dan panjang, karena pada ilustrasi gambarnya seperti itu (he he, maklumlah kalau Luluk telmi, soalnya tempat tinggal saya adalah daerah terpencil).

Saya juga pernah dendam kepada guru saya pada waktu disuruh oleh beliau mencari arti atau makna sebuah puisi, saya selalu saja salah dalam memberikan jawaban. Dendam itu terus bergema di ruang hatiku dan aku selalu menghabiskan waktuku untuk membaca dan membaca apa saja, agar saya bisa memecahkan PR yang diberikan guru kelas saya, untuk menjawab maksud puisi. Namun selalu saja gagal, karena saya dulu tidak tahu kalau puisi itu menyimpan makna, yang saja tahu tentang puisi adalah kata-kata yang disusun indah punya bait yang setiap baitnya itu ada empat baris.

Meskipun saya dibilang bodoh waktu itu, saya masih tetap berusaha untuk merangkai kata-kata menjadi sebuah puisi. Puisi pertama saya judulnya Sahabat Pena, tapi untuk menjelaskan tentang kata-katanya dan menuliskan isinya, jangan tanya karena saya sudah lupa dan kertas yang saya tulisi itu luntur dan remuk terkena air hujan waktu pulang sekolah. Tapi itu setelah aku pamerkan pada teman-teman. Akhirnya, saya terus berlatih menulis puisi, memadukan kata-kata sampai sekarang.

Dalam mengembangkan ide atau gagasan saya memilih sebuah ketenangan, kesendirian dan kesunyian, karena aku tidak akan pernah bisa mengembangkan sebuah ide dalam suasana yang sangat ramai. Harus ada sesuatu hal yang menyentuh hatiku yang paling dalam agar ide dapat muncul dan dapat aku kembangkan. Waktu saya SMA, saya pernah ketika ketagihan menulis puisi, saya lari ke atas bukit yang ada di belakang rumah saya, memandang langit malam yang penuh bintang dan merasakan semilirnya angin yang dingin, lalu saya merasakan adanya penyatuan dengan alam dan saya biasanya jika sudah mencapai puncak ketenangan, akan muncul lebih dari tiga puisi dalam waktu itu juga.

Ide atau gagasan yang saya kembangkan juga tidak jauh-jauh dari keadaan sekitar saya, karena dulu saya menyukai alam, maka puisi saya masih berkisar tentang alam. Ketika merasakan jatuh cinta pada saat itu aku pun menulis tentang puisi cinta. Banyak sekali puisi tentang cinta yang saya tulis hingga saya bosan membacanya, karena puisi cinta yang saya tulis adalah kisah perjalanan cintaku. Puisi saya  kebanyakan menjelaskan tentang perjalanan hidup  yang bisa berupa nasehat kepada diri sendiri agar selalu tabah menjalani kehidupan. Itulah mengapa saya katakan puisi adalah kata hati yang tidak mungkin saya ungkapan secara terus terang. Dan satu yang menjadi rutinitas tahunan saya yaitu membuat puisi ulang tahun buat saya sendiri sebagai hadiah buat diri sendiri, karena tidak ada yang pernah mengingat hari ulang tahhun saya.

Ini adalah puisi saya ketika saya putus cinta, namun saya revisi tahun 2011.

Terbanglah Sayap

di bawah wajah bisu sang purnama, merenung hati dalam gundah
terpikir tentang sayap-sayap cinta yang pernah terluka, patah dan bersimbah darah
kini pulih dalam putih berkilau suci, terkembang megah di netra memandang

dan hati gelisah mengukir bait nasib, bertanya, akankah sang sayap pergi atau tetap berpijak di bumi
sedang bumi penuh luka dan lara, masih sanggupkah merentang kembang
terbang mengelilingi, merentasi bukit-bukit menjulang; mengarungi samudera kenang

jika terbang ke khayangan, di sana indah, bertabur bunga-bunga dewata
penuh bidadari dan peri, siap menyambut mesra dengan pesta kencana raya
atau jika terbang bersama angan menuju keabadian, meski semu membayang
namun di sana lebih menjanjikan, tersambut oleh kenangan-kenangan indah yang tak terungkap
pun jua jika melayang bersama cinta, merengkuh relung maya, menyatukan jiwa-jiwa pengelana, sayap bebas menancap panah asmara

terbanglah sayapku, rela kumelepas demi bahagia meski sembilu menyayat
sebelum purnama tertutup gerhana agar dapat kau temukan khayangan impian di atas purnama penuh wibawa itu

Revisi Tai Wai, 06 Juli 2011


Puisi saya yang merupakan nasehat untuk diri saya sendiri

PENGORBANAN MAWAR PUTIH


malam berlalu sambut rekah
sisakan embun di rekah kelopak dan dedaun
lalu menguap bersama mentari, berharap esok kembali

pipit telah lelah berkicau
bersandar letih di ranting rapuh
menari berayun canda bersama
meski jerit hati menahan pedih
tak kan terdengar pun suara olehnya

bayu tertiup lembut ini
seakan mengantarkan bisikan rindu
dari keagungan sang Pencipta
membelai tunas tunas harapan
meneduhkan jiwa dari panas keangkuhan

meski pahit yang dirasanya
meski pijakan nakal cakar mungil si pipit
mematahkan ranting lapuknya
tapi hanya demi titah pertiwi
mawar putih pun tersenyum jua

2011

Suatu saat saya sedang galau mencari ide tapi tidak ada sama sekali ide yang masuk ke dalam jiwaku hingga terciptalah puisi yang mungkin dikatakan jaelangkung.

Tanda Tanya

datang tanpa diundang
pergi tanpa permisi

Soul, 4X3=12

Puisi tersebut sebenarnya pendek namun prosesnya panjang, melalui beberapa tahap meski hanya dalam hari itu. Kalau dikatakan sebagai puisi instans, ya boleh, karena puisi itu memang langsung publish tanpa revisi. Tapi ada sebuah kisah mendasarinya sehingga tercipta puisi itu. Dalam kebingungan mencari ide dan gagasan agar saya bisa mendapatkan puisi hari itu, namun sepertinya semua ide telah pergi dari pikiran dan jiwa saya, sehingga untuk mendapatkan kata-kata yang tepat saya kewalahan. Sudah kecapekan jiwa dan raga, lalu saya keluar masuk dapur untuk melihat-lihat apa sekiranya yang belum saya bereskan sebelum mandi, secara spontan kata datang tanpa diundang, pergi tanpa permisi, meloncat ke benak saya, dan saya menjiwainya, mengutak-utiknya bagaimana agar tulisan itu bisa berbeda dari mantra permainan jaelangkung tetapi masih terkesan bahwa itu dari jiwa yang terdalam. Nah, setelah beberapa jam merenung ya akhirnya jadilah seperti itu (he he masuk akal tidak ya).

Pastinya semua penulis pasti memerlukan situasi dan kondisi tertentu dalam mengembangkan idenya. Demikian juga saya, memerlukan ketenangan dan ketentraman jiwa agar saya bisa mengembangkan ide yang telah ada, jika pikiran lagi kacau balau tidak akan mungkin saya bisa berpikir jernih. Ide atau gagasan munculnya juga tidak setiap saat pada waktu  ingin sudah ada, saya harus mencarinya terlebih dahulu, yang paling mudah ketika menggambarkan keadaan manusia dengan alam sekitar.

Kiranya pertanyaan tentang proses kreatif itu sudah saya jawab, apapun yang terjadi tetap menulis dan menulis puisi, karena puisi adalah kata hati. Tetaplah menulis karena proses itu tidaklah mudah, ada yang prosesnya lebih berdarah-darah dari kita, kemajuan iptek seharusnya memajukan juga tentang pemikiran dalam bidang kepenulisan.



Salam
Luluk Andrayani
Ma On Shan, 8 Maret 2012