Rabu, 17 Juli 2013

FAKSI BERSAMBUNG



KESAKSIAN LAMPU NEON DAN TONG SAMPAH
DI POJOK VICTORIA PARK
 


Seperti biasa, bila hari Minggu tiba, saya dan temanteman satu markas berkumpul dan lesehan untuk menggelar buku di bawah jembatan layang sebelah kiri Victoria Park, Causeway Bay, Hong Kong. Ini adalah rutinitas kami sebagai Buruh Migran Indonesia di hari libur.

Pagi hari ini pun kami memulai aktifitas yang sama. Dari membongkar buku yang dipinjamkan kepada temanteman seperantauan yang mempunyai hobi membaca sampai ngobrol ngalor ngidul seputar karya dan buku yang baru kami terbitkan.

Di tengah kesibukan masingmasing, ada seorang teman anggota markas, sebut saja namanya Lia, mencoba mengajak saya ngobrol.

"Luk, saya sudah putus dengan si Agung," Lia berkata dengan cepat sehingga membuat saya tersentak. Saya amati saja wajahnya, tidak ada sebentuk kesedihan di sana, yang ada justru wajah sumringah penuh senyum.

"Kenapa Mbak?" tanyaku purapura bego. Padahal seingat saya, dulu Lia bilang bahwa Lia dan Agung mau mengadakan antologi bersama untuk mengabadikan hubungan mereka.

"Tidak ada apaapa, putus ya putus," jawab Lia sambil tertawa. "Tetapi sekarang saya sudah menemukan pengganti yang super, dia lebih ganteng, lebih mengerti agama, pokoknya super deh. Dan saya merasa nyaman bersandar di dadanya."

Jleb... jantung ini seakan melompat, semudah itukah cinta, ketika yang satu putus, yang lain dengan mudah menggantikannya. Saya terbengongbengong.

"Siapa sih Mbak si pengganti itu? Kelihatannya wah banget."

"Pokoknya nanti kamu akan tahu, biasa dech, kubuat kamu penasaran, Luk."

Hari semakin panas, tidak ada waktu dan tempat di otak untuk memikirkan orang lain, saya memilih untuk cuek bebek dan tidak peduli.  Dengan kepercayaan diri, saya mencoba membuka laptop yang sedari tadi terbiar begitu saja. Belum sampai setengah jam, tibatiba Lia yang sedari tadi menelepon seseorang menyodorkan hapenya kepada saya.

"Siapa?"

"Seseorang, mau bicara denganmu."

Saya terima hape itu dan mengucap salam. Diujung sana terdengar suara lakilaki yang sedang tertawa renyah. Dia berbasabasi dan ingin berkenalan dengan saya. Tetapi anehnya dia sudah tahu nama saya.

"Ini siapa ya?"

"Ini Luluk kan? Luluk yang rumahnya Trenggalek itu?"

"Betul, kamu siapa?"

"Ah, begitu ya, kalau sukses di rantauan, lupa sama orang sekotanya sendiri." Siapa? Saya tidak pernah kenal dengan orang dari Trenggalek. Apalagi seorang lakilaki.

"Siapa sih?"

"Siapa yang kemarin kamu bilang sebagai pemberontak? Masak lupa?"

"Ah, Mas Anton ya?" saya baru ingat kalau seminggu yang lalu habis bentrok di sebuah group sastra, sebab Anton mem-posting sebuah puisi yang bukan puisi dengan menjungkirbalikan licentia poetica. Di ujung sana masih terdengar suara yang terkekehkekeh membenarkan ingatan saya.


"Owh jadi sampeyan tha, pacar barunya Mbak Lia?" kembali saya buka percakapan.

"Ya begitulah!" jawab Anton senang.

"Apa motifmu memacari Mbak Lia, Mas? Setahu saya, anak Trenggalek itu ya begitubegitu saja." Saya meragukan ketulusan "cinta" sebab ada salah satu penjahat facebook  dari Trenggalek dan kebetulan tetangga saya sendiri yang tidak segansegan memloroti kepunyaan buruh migran.

"Tidak ada motif kok, Luk. Tenang saja!"

"Tetapi saya tidak mau nama Trenggalek menjadi lebih buruk lagi dan saya juga tidak mau teman saya menjadi korban," kesabaran saya sudah mulai menghilang.

"Hahahaha, bicara apa sih kamu Luk?"

"Kamu sendiri pun punya anak dan istri, Mas Anton, ingatlah!"

"Anak dan istri? Saya tidak bahagia dengan istri saya, lagi ada masalah."

"Lantas dengan adanya masalah itu, kamu bukan memperbaiki malah selingkuh."

"Kamu belum tahu saya, Luk!"

"Ya sudah, terserah kamu. Tetapi awas jangan sampai mencemarkan lagi nama Trenggalek! Wasalam!"

Buruburu saya kembalikan telepon itu kepada Lia dan mengeratkan gigi hingga suara gemeletuknya terdengar. Jni adalah pertanda emosi saya lagi memuncak.

***

Hari berlalu begitu cepat, menyeret saya untuk kembali menjalani kewajiban sebagai babu. Membawa pulang segudang tanya ke rumah majikan. Setelah menyelesaikan ritual malam (merebus air, mandi dan sembahyang) saya langsung kabur menuju pulau kapas. Melayarkan segala beban di pulau ini. Tetapi mata tak mau terpejam, jika hal ini terjadi hape adalah teman setia, mengantarkan imajinasi saya menuju dunia maya. 

Di facebook inbox, banyak sekali yang masuk, salah satunya milik Anton, iseng dia menanyakan kabar. Ah, tetapi mengingat kejadian siang tadi sungguh memukulku padahal saya pernah berikrar dengan dia untuk memajukan kesusasteraan di Trenggalek, sebab dialah satusatunya orang yang saya kenal yang berasal dari sana. Namun, semua harapan itu terkubur oleh perselingkuhannya.

Malam ini juga saya meminta penjelasan Anton bahwa dia tidak sedang selingkuh dan saya memintanya untuk tidak selingkuh, mengingat dia masih punya tanggungan, anak dan istri. Tetapi jawaban bukan meredam ledakan emosiku, justru memperparahnya.

Anton: "Kamu tidak tahu siapa saya, Luk. Ini saya lakukan juga demi istri dan anak saya."

Saya: "Tetapi bagaimana kalau istrimu tahu, hormatilah dan hargailah dia! Juga jangan selingkuh demi anakmu. Bagaimana perasaan anakmu jika tahu bapaknya seperti ini?"

Anton: "Kamu tidak tahu saya, Luk, bapak saya saja juga kawin cerai, kawin cerai, sampai berberapa kali. Saya ingin balas dendam terhadap hal itu."


Degh... astagfirullahaladzim! Ya Allah beginikah orang yang ingin saya percaya dan jadikan panutan itu, hatiku perih. Lalu saya tuliskan di layar hp dengan tangan gemetar.

Saya: "Mas Anton, ketahuilah meskipun dalam Islam hukum karma itu tidak ada, tetapi sebabakibat dan pembalasan itu nyata adanya. Kalau kamu tidak mengubahnya, tidak akan ada yang mampu mengubahnya. Jadi secara tidak langsung karma itu ada. Jika kita tidak memutusnya sekarang, hal itu akan terus berkelanjutan, sampai kapanpun."

Anton: "Kamu tidak tahu saya, Luk, bagaimana saya dan apa perasaan saya."

Saya: "Saya tahu, saya telah ditinggalkan oleh seorang bapak sejak kecil. Jadi saya tahu bagaimana perasaan seorang anak, saya di sini mengingakan kamu di pihak anak kamu, Mas Anton. Sehatusnya kamu juga paham bagaimana nanti perasaan anak kamu. Apakah kamu mau anak kamu menderita seperti kamu?"

Saya menunggu lama tidak ada lagi balasan, kemudian saya tuliskan lagi.

Saya: "Dan perlu kamu ingat Mas Anton, saya tidak akan membiarkan Trenggalek menjadi sarang dan sasaran keburukan. Kalau sampai hal itu kamu letupkan,  saya tidak segansegan menjatuhkan kamu. Sebab saya ingin            citra buruk tentang Trenggalek tidak berkelanjutan, saya ingin berjuang demi Trenggalek. Ingat itu!"

Selepas itu tidak ada balasan lagi, dan saya pun tidak mau tahu. Ada hal yang lebih penting yang harus saya kerjakan, yaitu penyelesaian antologi kedua saya. Saya harus memicingi hape, mengedit puisipuisi yang bertebaran di dalam online drive, memilah dan memilih puisi mana dan mana yang harus saya terbitkan nanti. Satu kata kunci "kualitas" yang harus saya utamakan bukan kuantitas.

Sebagai akhir dari aktifitas dan pengantar tidur, saya menuliskan sebuah status di dinding facebook :

"Karma itu tidak ada dalam Islam, tetapi sebab akibat dan pembalasan itu ada. Maka berhatihatilah dengan kelakuan kita. Siapa yang menanam pasti akan menuainya. Jangan sampai karma itu berkelanjutan sampai keturunan atau anakcucu. Kalau bisa putuskan karma itu sesegera mungkin. Ingatlah bagaimana derita kita, jangan sampai anakcucu kita merasakan derita yang kita rasakan ini."

***

"Luk, kamu ikut antologi puisi "K" tidak?" tanya De padaku.

"Antologi mana lagi tuh, De?"

"Masa kamu ga tahu, lawong yang mengadakan itu teman satu kabupaten denganqmu gitu lho?"

"Siapa?"

"Anton dan Lia di group sebelah!"

"Wow... mereka tha? Noway De, lagian saya masih harus mempersiapkan antologi duet yang ini kok." Saya tersenyum melihat ekspresi Dea. Lalu dia mengangguk. Tetapi dalam matanya tersimpan satu pertanyaan yang ragu untuk diucapkan.

Tibatiba Ayu dan Adin mengahampiri saya dan De yang termanggu.

"De, saya sudah keluar dari group  itu, saya tidak tahan melihat kelakuan Anton dan Lia. Saya juga tidak jadi ikut antologi," suara cemprang Ayu menguatkan dugaan saya.

"Saya juga telah menarik semua karya yang telah saya masukan." Adin menimpali dengan mata sembab.

"Lho ini apa-apaan kok kalian keluar dan malah mencabut semua karya yang akan diterbitkan? Ada masalah apa lagi?" saya mencoba menyelidiki.

"Kamu di group "K" tidak sih Luk?" tanya Dea.

"Tidak masuk kok. Group mana dan kenapa?"

"Dulu group itu kita yang buat Luk, saya, Adin dan Dea, tujuannya adalah untuk belajar mendalami puisi. Tetapi tibatiba group itu diambil alih seseorang. Malah sekarang dipakai untuk selingkuh lagi.  Saya terpaksa relakan dan keluar. Meski nantinya nama buku kita juga direbut oleh mereka," Ayu menjelaskan.

"Tahu tidak padahal Mas Anton juga punya anak dan istri. Mbak Lia juga punya tanggungan. Tetapi diinggatkan mereka malah menentang habishabisan," tambah Ayu.

Wah kenapa pagi ini? bisik hatiku. Ah, ternyata bukan hanya saya saja yang tahu, member group sebelah pun tahu tentang perselingkuhan Mbak Lia dan Mas Anton. Duh Gusti Allah!

Saya menepi, memadamkan api kebencian yang membara. Bersandar di tiang lampu neon dan menghadap tong sampah. Lalu membuka facebok dari handphone butut. Saya telusuri semua laporan yang masuk. Ternyata status yang mampir di beranda adalah milik teman saya yang           sekarang ini tengah meletupkan emosi juga.

Mengingat status saya minggu lalu, saya pun jadi geram. Memang di sini saya dan temanteman masih belum berkeluarga jadi tidak tahu bagaimana permasalahan dalam rumah tangga. Saya pribadi ingin belajar dengan dan dari orang yang lebih tahu. Namun saat kami menemukan seseorang yang kami anggap mampu mengajari, justru dianya berkelakuan bejat. Tidak bisa diharapkan.

Kembali saya ingin mencoba menuliskan sebuah unekunek yang berjejalan di kepala saya. Tetapi belum sampai terkirim, tiba tiba Ayu menjerit memanggil saya.

"Luk, lihat inbox Anton ini!"

Saya terima handphone itu. Saya baca tulisan yang berderet di sana. Tulisan itu membuatku tertegun sambil mengenang apa kesalahan yang pernah saya lakukan. Tetapi tidak ada, saya hanya mengingatkan tetapi mengapa justru nama saya diharamkan olehnya untuk disebut. Sampai seperti itukah?








(bersambung)