Kamis, 19 Juli 2012

BERKAH DAN PENYUCIAN HUJAN SEPTEMBER


BERKAH DAN PENYUCIAN DIRI  DALAM  HUJAN SEPTEMBER-NYA DAM





Membaca sketsa dari buku SKETSA SAJAK  dari seorang penyair yang bernama Dimas Arika Mihardja (selanjutnya DAM) ini, saya merasa seperti menikmati gado-gado. Saya menemukan berbagai macam tipogafi dan cara penulisannya. Selain indah, sajak sajak dalam buku ini juga dapat memuaskan dahaga baca dan tidak membosankan. Meskipun dengan kesederhanaan yang telah melekat pada pemilihan kata, DAM sanggup membawa berbagai macam perenungan dalam puisinya, sehingga berbagai macam pemahaman sering terjadi ketika DAM mempublikasikan puisinya dalam sebuah group cyber yang bernama Bengkel Puisi Swadaya Mandiri—karena saya mengenal DAM dari group sastra yang dibangunnya ini dan belajar menekuni puisi juga di sini.

Dari sekian banyak judul yang ditawarkan dalam buku ini, sebagai pemula yang masih harus banyak belajar, saya tergelitik untuk menelisik sebuah puisinya yang berjudul HUJAN SEPTEMBER. Entah mengapa waktu membaca sekilas puisi ini begitu menggoda saya pada pandangan pertama. Seperti ada unsur yang menggerakkan hati saya untuk mencoba merenungkannya lebih mendalam. Namun demikian di sini saya hanya mengapresiasi saja sebagai seorang penikmat karena saya bukan seorang kritikus dan juga hanya bisa mengapresiasi sesuai dengan pengetahuan minim.

HUJAN SEPTEMBER

/1/
lantaran debu nempel di tangkai dan lembarlembar daun
kuangkat selang sebelum matahari bangkit dari rasa sakit

kemarau meruang dalam kamar jiwa kuncup bunga
berguguran sebelum jadi buah

satusatu kupungut tetes hujan
menyiram dahaga jiwa

/2/
mencintai ranah ini
serupa membalut luka bernanah

teriris oleh sayatan sejarah
yang dibelah

bendera setengah tiang tertunduk gamang
penuh genang kenang cahaya kunangkunang

/3/
"pa, mari kubantu punguti daun dan bunga"
nurani tersenyum tawar, terasa benarbenar hambar

"inikah makam pahlawan itu pa?"

debu menutup segala pandang
tubuhku mengabu dan mengejang

september 2011

Puisi ini secara keseluruhan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing bagian terdiri tiga bait dan tentunya mengusung makna tersendiri dari judulnya. Membaca judul puisi HUJAN SEPTEMBER saja, pikiran saya mengatakan bahwa hal ini sungguh berlawanan dengan apa yang sesungguhnya ada di Indonesia, seperti yang telah kita ketahui bahwa Indonesia mempunyai dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kalau dilihat dari waktunya bulan September itu adalah musim kemarau atau kalau orang jawa bilang waktu itu adalah “mongso ketigo” yaitu masa-masa musim kemarau mencapai puncaknya. Lalu DAM menuliskan bahwa bulan September ada hujan, sungguh ironis, jika memang ada adalah sebagai suatu keajaiban atau anugerah yang sangat luar biasa. Namun metafore “hujan” dalam judul puisi ini adalah sebagai suatu berkah atau suatu hal yang dapat menyejukan jiwa pada saat-saat yang rawan atau gersang. Sesuatu yang dapat menyucikan diri dari hal-hal yang mengotori jiwa. Atau bisa juga sebagai pengharapan kebanyakan orang jika mereka berada pada situasi dan kondisi yang sulit.

Sedangkan “September” sendiri adalah bulan kesembilan dalam perhitungan tahun Masehi, entah kebetulan atau kesengajaan, angka sembilan merupakan angka tertinggi dalam perhitungan satuan bilangan. Jadi menurut pendapat saya makna yang ingin disampaikan DAM dalam judul puisi ini adalah suatu harapan tertinggi seseorang saat jiwanya dalam keadaan yang prihatin atau memprihatikan. Disambung dengan bagian pertamanya,

lantaran debu nempel di tangkai dan lembarlembar daun
kuangkat selang sebelum matahari bangkit dari rasa sakit,

kemarau meruang dalam kamar jiwa kuncup bunga
berguguran sebelum jadi buah

satusatu kupungut tetes hujan
menyiram dahaga jiwa

Dalam bagian pertama ini, saya seperti diajak oleh DAM untuk merenungi siapa dan bagaimana keadaan diri dan hati saat ini. lantaran debu nempel di tangkai dan lembarlembar daun baris pertama ini mengingatkan pada saya hakikat manusia ialah tempatnya kotoran yang berupa dosa-dosa baik disengaja maupun tidak. Dosa itupun bertebaran di seluruh tubuh, pikiran, perbuatan dan ucapan manusia. Lalu dengan tenang DAM diam-diam juga mengajak saya untuk menyucikan diri apapun jalannya. kuangkat selang sebelum matahari bangkit dari rasa sakit, baris ini mengandung metafore “selang” sungguh sederhana bila dipikir, namun selang di sini adalah sebagai alat untuk mengalirkan air yang bersih dari sumbernya yang biasanya berada di sebuah tempat yang sulit terjangkau menuju tempat yang manusia bisa gunakan dengan mudah, sehingga tujuan untuk menyucikan diri dan menyejukan hati dapat tercapai dengan mudah. DAM  juga ingin menyadarkan kepada kita bahwa sebelum terlambat dan semua menjadi serba sulit, marilah kita mulai melakukan persiapan agar nanti saat datang masalah-masalah yang paling menggelisahkan dan mencapi puncaknya kita tidak  lagi kebingungan menyeslaikan masalah itu.

Penegasan pada bait kedua menjelaskan pada kita bahwa setiap masalah yang serius pasti akan kita hadapi dan masalah itu tidak akan mengenal situasi dan kondisi jiwa kita. Bila permasalahan hidup itu telah hadir dalam diri kita, maka sudah tidak dapat dielakan lagi, semua bergantung kepada kita bagaimana menyikapi keadaan itu (kemarau meruang dalam kamar jiwa kuncup bunga).Apakah kita bisa menyelesaikan dengan baik atau kita justru terpuruk bersama keadaan yang sangat genting, hancur dan luruh seperti dijelaskan pada diksi berguguran sebelum jadi buah.

Sebuah pengharapan yang sangat diidamkan dalam menghadapi situasi yang memanas adalah suatu kesejukan yang dapat melepaskan dahaga jiwa, dapat menyuburkan kegersangan tanah hati dan melapangkan dada. Jika hal itu dikiaskan kepada alam maka larik puisi DAM  satusatu kupungut tetes hujan/menyiram dahaga jiwa ini telah memberikan jawaban kepada kita, bahwa tetes hujan itu dapat berupa siraman rohani dan  petuah-petuah bijak, sehingga jiwa seseorang yang sedang dalam permasalahan atau sedang memanas berangsur dapat tersejukan atau emosi dapat terkendali.

Lalu memasuki bagian kedua,

mencintai ranah ini
serupa membalut luka bernanah

teriris oleh sayatan sejarah
yang dibelah

bendera setengah tiang tertunduk gamang
penuh genang kenang cahaya kunangkunang.

Dari tubuh puisi bagian ini saya merasa terkejut, terlihat semacam pesimis terhadap sesuatu yang selama ini menggelisahkan jiwa. Timbul pula berbagai pertanyaan mengapa memilih diksi mencintai ranah ini/serupa membalut luka bernanah ini? Seperti ada penyesalan terhadap kebaikan yang selama ini DAM pelihara. Seperti sebuah kesia-siaan dan keputusasaan terhadap upaya yang dia lakukan. Kemudian DAM meneruskan lagi bait keduanya teriris oleh sayatan sejarah/yang dibelah, di sini saya menemukan sebab kegelisahan mengapa DAM merasa putus asa terhadap usahanya selama ini. Ya, berbagai masalah yang ada di dunia timbul karena ulah manusia itu sendiri. Bermacam bencana baik alam maupun bencana yang lainnya itu timbul karena pergeseran sejarah dan kebudayaan. Mungkin saat itu DAM gelisah karena usahanya terhadap dunia yang selama ini dia geluti telah teracuni oleh pergeseran kebudayaan yang akan mengubah budaya timur menjadi kebarat-baratan. Kedukaannya juga tidak berakhir di sini, DAM  pun mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda dia turut berduka atas amburadulnya sistem yang ada di tanah kita tercinta tercinta ini (bendera setengah tiang tertunduk gamang/penuh genang kenang cahaya kunangkunang.). Hal-hal yang terdahulu akan terus menjadi kenangan dan kemungkian tidak akan orang yang peduli lagi sehingga ketersesatan semakin jauh. Dari sinilah kita tahu mengapa kita perlu penyejuk tadi, menghadapi hal-hal yang rumit seperti ini seharusnya kita perlu tetesan hujan yang siap menyuburkan jiwa, meredakan amarah dan melapangkan dada.

Kemudian pada bagian ketiga,

"pa, mari kubantu punguti daun dan bunga"
nurani tersenyum tawar, terasa benarbenar hambar

"inikah makam pahlawan itu pa?"

debu menutup segala pandang
tubuhku mengabu dan mengejang

Saya seperti mendapati sebuah bisikan halus yang ditujukan kepada lirik “pa”. Sebenarnya yang selalu dipanggil “pa” oleh kebanyakan orang adalah seseorang kepala rumah tangga—sebutan modern untuk “bapak”. Yaitu seseorang yang mempunyai wibawa, kebijakan dan juga ketegasan dalam menyelesaikan masalah. Orang yang sanggup melindungi dari berbagai ancaman yang terjadi dalam sebuah wadah—baik dalam makna luas maupun sempit. Dengan sebuah ketulusan dan terdengar perih seseorang mengucap  "pa, mari kubantu punguti daun dan bunga” . Daun dan bunga adalah bagian utama tanaman yang mempunyai peran penting untuk kelangsungan hidup tanaman tersebut yang selalu saja bersiklus. Bisa jadi metafore ini adalah bagian-bagian yang terpenting dalam kehidupan atau masalah-masalah yang paling utama dalam hidup yang terus berputar dan berubah dai waktu ke waktu. Menyikapi hal itu “pa” lirik yang masih memiliki nurani merasakan kebahagiaan dan keharuan meskipun rasa itu terlalu dipaksakan (nurani tersenyum tawar, terasa benarbenar hambar) adanya namun hal itulah yang sanggup mengobati atau menyejukkan jiwa.

Seseorang itu juga bertanya, "inikah makam pahlawan itu pa?". Dengan kata “pahlawan” dalam baris ini saya seperti melihat kembali peristiwa yang sudah lama terjadi di Indonesia yaitu peristiwa pembunuhan 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 (G30S/PKI). Dalam gerakan ini begitu banyak darah yang tercecer menodai putihnya jiwa. Juga peristiwa yang ada di luar negeri yaitu pengeboman gedung WTC Amerika Serikat. Serta masih banyak peristiwa-peristiwa lainnya yang melibatkan nyawa-nyawa yang tidak berdosa berdosa menjadi korban. Sebagai seorang penyair tentu DAM menyaksikan peristiwa itu dalam keadaan prihatin, sehingga gejolak jiwanya selalu gelisah, juga serta perlu siraman agar kembali tenang menghadapi ujian-ujian itu. Kata “makam” sendiri adalah tempat peristiahatan manusia yang terakhir dan biasanya “pahlawan” adalah orang yang berjasa dan gugur dalam melaksanakan tugasnya. Dalam metafore ini sepertinya DAM menyuruh kita merenung kembali tentang perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh leluhur kita. Sudahkah kita mengisi dengan kebaikan atau justru kita berbuat kerusakan di atasnya.

Kemudian sebagai penutup DAM mengajak kita untuk mencermati kehidupan, jika semua keburukan telah menguasai hati, pikiran dan perbuatan, sudah pastilah manusia itu akan tertimpa dosa, bahkan dengan mata kepala pun sudah tidak mampu melihat lagi (debu menutup segala pandang). Semua inderanya seperti mati, hanyalah suatu kerusakan yang dapat mereka lihat. Hanyalah kesenangan pribadi yang mereka agungkan, tanpa mengenal saudara bahkan keluarga sendiri. Lalu muncullah “ku” lirik dalam baris tubuhku mengabu dan mengejang, hal ini sungguh mengejutkan, yang tadinya begitu rapat dapat bersembunyi dan merekat dalam kata yang lain, mengapa tiba-tiba bisa dimunculkan? Lalu pada kata “mengabu dan mengejang” jika ini adalah sebuah peritiwa dan dianalisa pakai logika sungguh tidak masuk akal jika tubuh yang mengabu dapat mengejang. Mungkin di sini DAM hanya mengejar rima akhir saja, agar rimanya sama dengan baris sebelumnya. Namun demikian tetap saja kembali ke awal, manusia akan kembali ke asalnya. Segala beban yang ditanggung di dunia ini pasti akan berakhir dan dimintai pertanggungjawaban kelak. Dalam hal inilah peran pentingnya siraman rohani di tengah kegersangan dan kemarau jiwa. Dengan dosa-dosa yang diperbuat, DAM berharap kepada kita untuk segera bertobat dan menyucikan diri supaya dosa-dosa terampuni oleh Sang Pencipta.

Sebagai penutup saya mengutip kata mutiara, “manusia adalah makhluk yang sempurna dengan akhlaknya, namun manusia yang hidup di dunia ini tiada yang sempurna”. Oleh karenanya marilah kita segera mengoreksi diri, menyadari kesalahan dan segera bersuci serta taubat sebelum ajal menjemput.



Luluk Andrayani
Ma On Shan, 22 Mei 2011

Selasa, 03 Juli 2012

Translate [Song on the End of the World by: Czeslaw Milosz]


Song on the End of the World
by: Czeslaw Milosz

On the day the world ends
A bee circles a clover,
A Fisherman mends a glimmering net.
Happy porpoises jump in the sea,
By the rainspout young sparrows are playing
And the snake is gold-skinned as it it should always be.

On the day the world ends
Women walk through fields under their umbrellas
A drunkard grows sleepy at the edge of a lawn,
Vegetable peddlers shout in the street
And a yellow-sailed boat comes nearer the island,
The voice of a violin lasts in the air
And leads into a starry night.

And those who expected lightning and thunder
Are disappointed.
And those who expected signs and archangels' trumps
Do not believe it is happening now.
As long as the sun and the moon are above,
As long as the bumblebee visits a rose
As long as rosy infants are born
No one believes it is happening now.

Only a white-haired old man, who would be a prophet,
Yet is not a prophet, for he's much too busy,
Repeats while he binds his tomatoes:
No other end of the world there will be,
No other end of the world there will be.



NYANYIAN DI AKHIR ZAMAN

Saat dunia akan berakhir
Lebah mengitari bebunga
Nelayan menjahit robekan jalanya
Lumba-lumba berlompatan ria di lautan
Pipit kecil bermain di bawah gerimis
Dan ular selalu bertukar sisik keemasannya

Saat dunia akan berakhir
Perempuan menyusuri padang di bawah payung mereka
Pemabuk pulas di tepi lapangan
Penjaja sayur berteriak di jalanan
Dan sebuah sampan kuning merapat di pulau
Suara biola tersisa di udara
dan bergema hingga langit malam bertabur bintang

Dan mereka yang mengharap kilat dan guruh
Kecewa
Dan mereka yang mengharap tanda-tanda dan suara sangkakala
Tidak akan percaya itu terjadi
Sepanjang matahari dan bulan masih mengambang di langit
Sepanjang kumbang merayu mawar
Sepanjang bayi masih lahir
Tak seorang pun percaya itu terjadi

Hanya lelaki tua beruban yang mengaku nabi
Tapi bukan nabi, sebab dia terlalu sibuk
Mengulang-ulang sambil mengikat tomatnya:
Tiada akhir zaman terjadi
Tiada akhir zaman terjadi

Diterjemahkan
Luluk Andrayani
2 Juli 2012