Jumat, 24 Agustus 2012

PELAJARAN NYATA DALAM KEPENYAIRAN MAYA


PELAJARAN NYATA DALAM KEPENYAIRAN MAYA

Dalam era internetisasi ini semua menjadi serba instant dan  mudah sekali kita mendapatkannya. Tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak—cukup dengan membayar paket data kita dapat menikmati dunia secara gratis. Untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan pun kita cukup dengan satu kali klik sudah dapat menjangkau seluruh dunia. Seolah segalanya telah menjadi milik kita. Apa yang kita mau seolah kita menggenggam semuanya.

Hal ini tentu juga mempengaruhi dunia kepenyairan. Sebab terlalu mudahnya kita berkomunikasi lewat dunia internet, mengembangkan karya lewat dunia internet, telah muncul beberapa bahkan banyak manusia-manusia yang berbakat dalam dunia sastra.Memajang dan berargumentasi tentang  karyanya. Bahkan  mereka juga mendirikan sebuah kelompok atau komunitas-komunitas sastra. Komunitas-komunitas ini semakin lama semakin banyak layaknya laron musim penghujan.

Diantara sekian banyaknya komunitas yang berdiri di dunia maya ini ada sebagian yang memang diolah secara khusus oleh ahli sehingga menjadi tempat belajar yang menyenangkan bagi pemula-pemula yang betul-betul ingin belajar dan bisa menapakkan kakinya di dunia nyata. Namun untuk “menjadi” itu tidak akan mudah, akan banyak tantangan dan rintangan yang pasti dihadapi. Lalu apakah tantangan dan  rintangan yang kita hadapi itu jugamudah meskipun di dunia yang serba mudah dan serba bisa? Jawabannya tentu “tidak!” sebab yang bernama tantangan dan rintangan (khusus bagi yang serius) tidak akan pernah habis.

Sebagian orang yang hanya beranggapan bahwa dunia maya ini mudah, mereka akan cepat frustasi jika apa yang mereka inginkan tidak tercapai. Bahkan ada yang lebih gila lagi yaitu menunjukkan ketidak puasan secara berlebihan dan menjatuhkan lawan maya dengan cara menyebar “fitnah” atau berganti-ganti wajah agar tidak dikenali atau dengan seenaknya mengumbar kata dari kebun binatang sampai neraka jahanam pun dikeluarkan.

Namun karena dunia maya memang hanya selebar imaji dan serba mudah, maka apapun usaha yang dilakukan akan ketahuan dengan mudah juga. Ya ibaratnya sepandai-pandainya membungkus bangkai pasti akan tercium juga baunya. Tulisan tidak akan pernah bisa mennutupi sifat asli dari seseorang yang menuliskannya. Kata-kata adalah pikiran dan hati seseorang yang menuliskan. Kata-kata yang tertulis adalah cermin dari keseharian di dunia nyata. Bahkan dunia maya ini aan bisa menampakkan wujud asli dari orang yang mengendalikanya, sebab pikiranlah yang mendominasi kerja dunia maya.

Kembali kepada persoalan kepenyairan, puisi atau karya penyair adalah wujud dari paduan pikiran, hati dan kemauan yang dilandasi oleh seni. Sudah tentu dalam hal ini puisi adalah kata-kata perwakilan hati yang ingin disuarakan oleh seorang penyair tersebut. Si penyair ingin orang lain tahu apa yang dimaunya, namun karena di sini mengacu seni, maka akan ada teknik yang digunakan seorang untuk meyampaikannya melalui unsur seni dan caranya tersendiri. Penyair akan memadupadatkan kata-kata agar tercipta sebuah karya sederhana, unik dan padat, namun memiliki keindahan dan menjangkau pengertian luas. Namun hal ini, tidak ditemukan dalam kepenyairan maya, sebab dalam dunia maya yang ada hanya imajinasi mudah dan indah. Sehingga jiwa-jiwa akan memberontak jika mereka tidak menemukan kemudahan dan keindahan seperti angannya.

Kekecewaan yang ada dalam benak akan keluar lewat tulisan juga, terpampang di mana-mana, mengumpat dan menyumpah-serapahi teman-temannya seperti api yang menjilat dan melahap daun kering.Tak pelak menimbulkan kontra dan perseteruan. Lalu pergi meninggalkan lubang di dada dan kembali dengan wajah baru bertopengkan entah apa namanya. Inilah yang membawa mereka sehingga mendapatkan julukan penyair maya(t). Berkeliaran kesana-kemari tanpa punya matahati.

Tak pelak juga kita akan keracunan kata “sombong” atau “arogan” sehingga kita menjadi lupa diri, lupa kawan nahkan lupa daratan. Tidak bisa disalahkan tapi gampang menyalahka seolah kita yang paling benar. Tidak mau menerima nasihat tapi sok jadi penasihat. Tidak mau masukan atau kritikan tapi sok jadi kritikus. Padahal apa yang kita dapat di dunia maya itu berasal dari dunia nyata yang mereka bermurah hati untuk berbagi dengan kita.

Menilik pertikaian-pertikaian dan kesombongan yang terjadi di dunia maya ini, seorang penyair dari Bali yang biasa saya panggil Bli—Widya Sudyatmika, melukiskan perasaannya dalam sebuah puisi yang terkesan agak aneh—sememangnya Widya adalah penyair yang aneh menurut saya. Kegelapan diksi selalu memenuhi puisinya sehingga tampak sulit untuk dijelajahi. Pilihan kata yang selalu berbeda, suka semaunya sendiri dan lain dari yang lain adalah gaya puisi Widya. Kali ini Widya menuangkan kekesalan, kesakitan dan kemarahan bahkan keharuan dalam puisinya.

Raj A Rogan

Aku meludah api
jalan tangis terbakar
menyimpan bara di dada
maka aku meludah api

jari tetap lengket dengan minyak
tapi tak terbakar
maka api ludah
tak kubuang dengan tangan
atau jabat harapan

Aku meludah api
meski deras hujan mata
menatap derita memupuk
bisa tahan nondiri
jadi ini sakit
ciri ini ludahku
penanda lahan kaki
penopang linglung peraduan
yang lambat hati tiada lepuh

Aku meludah api
kemana saja
tak ada amati
di situ raga meledak
menahan sekumpulan kelenjar
yang enggan berkasih
dengan tangan
apalagi jemari

Aku meludah api
kebiasaanku
sakitku

Maya tanpa T,23/8/2012

Seperti yang saya katakan sebelumnya, Widya memang selalu aneh, judul puisi ini dia buat aneh sehingga mirip dengan nama-nama Hindustan (India). Tetapi sebenarnya ini adalah bahasa Indonesia asli, yaitu RAJA dan AROGAN. Raja mempunyai kekuasaan dan arogan adalah sifat yang paling berkuasa atau pongah, di sini mempunyai hubungan yang kuat dalam hal menentukan atau menjatuhkan sesuatu yang bisa mempengaruhi orang lain atau publik. Namun arogan justru membuat kita sendiri yang terjatuh terjatuh. Namun dalam judul puisi ini, saya katakan kurang sampai meskipun dari segi lain ada kreatifitas yang bisa dikembangkan. Tapi sampai atau tidak sampai kepada pembaca iu adalah masalah si pembaca sendiri untuk menggali kemungkinan-kemungkinan yang ada.

Menilik bait dan lariknya puisi ini mempunyai keunikan, seperti frase-frase patah tapi saling berhubungan. pada bait pertama dan kedua, entah apakah ini satu bait yang sebenarnya atau memang menjadi dua bait, sebab dalam bait selanjutnya selalu diawali dengan kata “Aku meludah api.(Aku meludah api/jalan tangis terbakar/menyimpan bara di dada/maka aku meludah api//jari tetap lengket dengan minyak/tapi tak terbakar/maka api ludah/tak kubuang dengan tangan/atau jabat harapan. Metafora api adalah simbol dari semangat dan kemarahan, tetapi jika harus mengartikan dengan semangat, maka akan menyimpang jauh dari judul juga kata yang sebelumnya. Api di sini menunjukan kemarahan dan kemuakan si aku lirik dalam menghadapi sesuatu yang terjadi dalam hidupnya atau menghadapi perilaku seseorang yang di sebutnya sebagai “raja” dalam judul. Api bisa juga simbol dari kata-kata pedas dan tajam dari aku lirik.

Mungkin saat itu hal yang dirasakan aku lirik telah mencapai puncak kerawanan sehingga apa yang ada  hanyalah seperti api, panas dan mudah hangus terbakar, kebencian dan saling menjatuhkan. Tiada lagi kesedihan, kasih sayang dan penghargaan juga penghormatan terhadap sesama. Sehingga mau tidak mau si aku lirik harus melontarkan kata-kata yang bisa membakar atau membahayakan atau menyulut pertikaian.

Dan satu pesan yang dapat saya petik dari sini adalah jika emosi dan arogansi menyatu dalam benak kita maka pintu maaf dan harapan tidak lagi terbuka, baik di dunia nyata maupun dunia maya, Arogansi atau kesombongan adalah petaka yang harus disingkirkan cepar-cepat.

Lalu menyusul bait ketiga, Aku meludah api/meski deras hujan mata/menatap derita memupuk/bisa tahan nondiri/jadi ini sakit/ciri ini ludahku/penanda lahan kaki/penopang linglung peraduan/yang lambat hati tiada lepuh// . Kembali setelah aku lirik melepaskan emosinya, sekarang Widya menggambarkan aku lirik meratapi penderitaan yang mendalam  tapi siapa pun  tidak ada yang  peduli. Dan memang dalam dunia maya tidak akan pernah ada yang benar-benar peduli meskipun kita menjerit, mereka hanya akan menertawakan kita. Sebab memang dunia maya adalah tempat mencari hiburan atau kesenangan. Lalu jika mereka menemui hambatan, hal yang dilakukan adalah mengumpat dan menyumpah, tanpa peduli dengan hal itu banyak yang terluka. Tentu karena kesombongan maka manusia tanpa pernah bisa berpikir tentang sesama, seolah hanya ada diri mereka sendiri di dunia ini.

Lalu bait keempat dari puisi ini, Aku meludah api/kemana saja/tak ada amati/di situ raga/meledak/menahan sekumpulan kelenjar/yang enggan berkasih/dengan tangan
apalagi jemari//. Dalam bait ini Widya menggambarkan bahwa aku lirik melakukan pencarian peleraian dari kemarahan namun karena kesombongan dan keangkuhan aku lirik tidak menemukan apa-apa, masih tetap sama tidak ada yang mau peduli terhadap apa yang dia lakukan. Merupakan sebuah pelajaran, jika kita sombong maka apapun yang kita lakukan tidak berguna di mata orang lain.

Sebagai bait penutup Widya menuliskan, Aku meludah api/kebiasaanku/sakitku//. Penjelasan tiga larik ini sungguh unik, Widya menggambarkan bahwa melontarkan kata-kata pedas atau sejenisnya merupakan kebiasaan aku lirik sekaligus kesakitannya atau ketidakpuasannya.  

Dengan penjelasannya saya mengenai puisi ini dan pendahuluan mungkin seperti tidak ada kaitan namun dengan penanda akhit (Maya Tanpa T, 23 Agustus 2012) kita bisa mengambil kesimpulan, puisi ini dituliskan Widya untuk mengkritisi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di dunia kepenyairan maya yang selalu penuh dinamika, penuh kesombongan, ingin diakui sebagai penyair, namun kita belum bisa mengukur baju yang sesuai dengan tubuh kita sendiri.

Sebagai pelajaran yang mendasar yaitu kita harus bisa menjauhkan diri dari sifat arogan (sombong) sebab sifat ini akan menghancurkan kita sendiri. Kita harus bisa menerima masukan dan menyaring apa yang baik kita simpan dan membuang apa yang buruk atau tidak baik. Kesakitan dalam proses dan progress adalah syarat kita menjadi penyair sejati, jangan mudah patah hati, sepahit apapun kritik adalah pupuk yang baik guna kesuburan dunia kata-kata. Dalam kancah kepenyairan nyata lebih kejam dan sengit lagi penyeleksiannya. Semua orang bisa menulis dan membaca tapi tidak semua orang bisa menjadi penyair atau pujangga. Kenyataan yang harus bisa kita terima.

Puisi ini baik sebagai pelajaran bagi yang bisa mengambil hikmahnya, singkat dan padat, punya alur dan gambar kreatifitas yang tinggi. Namun tidak ada gading yang tak retak, karena kepekatannya mungkin tidak semua mengerti, bahkan saya juga tidak mengerti sama sekali arah mana yang dituju. Punya alur namun alur yang diusung samar-samar sehingga kelihatan semua penuh ketegangan dari bait ke bait. Juga pemenggalan kata yang “semau gue”, membuat saya kebingungan membacanya sehingga yang ada dalam puisi ini adalah keangkuhan, namun memang berhasil “angkuh”-nya sebab judulnya ada “RAJA AROGAN”.

Akhir kata mari berjabat tangan menuju kancah kepenyairan yang sebenar.



luluk, 24 Agustus 2012