Selasa, 30 Oktober 2012

REVIEW BUKU



PERMAINAN BUNYI DEDET SETIADI



Judul Buku: Gembok Sang Kala
Penulis: Dedet Setiadi
Tebal: viii + 100 halaman
ISBN: 978-979-185-385-9
Penerbit: Forum Sastra Surakarta (Cetakan I, Juli 2012)


Pertama kali buku ini sampai di tangan, saya terpana dengan sampulnya yang memadukan warna biru dengan gambar gembok yang telah berkarat. Hal ini memutar pikirannku untuk mengingat harta karun yang karam di lautan lepas. Yang berkemungkinan, Dedet ingin memberitahukan bahwa untuk memahami isi puisi serupa berburu harta karun.

Di dalam buku ini terdapat 87 puisi Dedet Setiadi yang ditulis pada tahun 2011-2012. Buku ini diawali dengan puisi berjudul Potret Diri dan diakhiri dengan Sajak Para Pendaki. Hampir semua puisi yang tertulis dalam buku ini bertemakan kehidupan atau bisa dikatakan secara khusus yaitu perjalanan manusia dalam mengisi waktu selama manusia itu hidup di dunia ini—yang berawal dari perpaduan darah merah dan darah putih sampai kembali merata tanah.

Ada juga puisi-puisi yang menunjukkan nasehat turun-temurun. Puisinya berjudul Fragmen Perjalanan 1, Fragmen Perjalanan 2 dan Fragmen Perjalanan 3. Ketiga  puisi ini menjelaskan kepada kita tentang riwayat empat keturunan, yang terhitung dari kakek/nenek, ayah/ibu. diri kita dan anak-anak kita. Isinya berkisah tentang perbandingan bagaimana perubahan zaman itu terjadi baik dilihat dari cara berpakaian, tata letak rumah, sarana transportasi juga kebiasaan-kebiasaan manusianya. Pada Fragmen Perjalanan 1 menunjukkan itu masih zaman dahulu kala waktu kakek/nenek Dedet, pada zaman itu semua masih serba sederhana, merka menggunakn blangkon dan surjan, mainannya gasing, duduk di tikar sambil makan ubijalar rebus. Lalu pada Fragmen Perjalanan 2 mengalami perkembangan yaitu pada zaman bapak/ibu dan kelahiran Dedet, waktu itu banyak anak-anak yang telah mengenal huruf hijaiyah, tidak main gundu lagi, lalu pakaiannya sudah berubah memakai sarung dan kopiah, dan tempat duduknya sudah di kursi rotan. Sedang pada Fragmen perjalanan 3, nah… ini dia zaman modern yang saat ini kita semua lalui, semua serba modern dan zaman internetisasi. Dari ketiga puisi itu saya menyaksikan betapa drastic perubahan hidup yang dialami oleh manusia, padahal masih empat keturunan saja.

Uniknya lagi, puisi-puisi Dedet yang tertulis di dalam buku ini adanya mengambil tiruan bunyi dari benda-benda yang ada di sekitar kita. Contohnya,

segerombol anak berlarian, bermain ketapel
main perang-perangan
seperti barisan tenntara di medan gerilya
plok!
seorang menembakkan ketapel ke udara
(KISAH SEEKOR BURUNG SAJAK, Hal. &7)

tiba-tiba dari ceruk malam
berkelibat sebilah kelewang, menebas-nebas keheningan
crak!
crak!
darah menyembur dari kesadaran
yang terpotong dan tergeletak di lantai ruangan
(NOCTURNO, Hal. 16)

pyar!
suara embun itu pecah, menebarkan jutaan cahaya
cinta menujju alam baka
(PELUKIS EMBUN, Hal. 64)

dan masih banyak lagi tiruan-tiruan bunyi lainnya. Hal ini bisa membuat imajinasi atau bayangan saya seandainya benar-benar menghadapi sesuatu yang ingin Dedet ungkapkan dalam puisinya itu. Misalkan saja saya saat itu sedang bermain ketapel dan melentingkan batu lalu batu itu mengenai sasaran pasti suaranya jelas terdengar.

Dedet juga mengubah seluruh benda-benda mati menjadi seolah-olah hidup dalam puisinya. Semuanya berbicara sendiri-sendiri menurut tempat dan waktunya. Bebatuan, pepohonan, debu, air, udara bahkan sampai ke toilet pun bisa hidup dalam diksi puisinya.

Ada satu puisi yang sungguh menggelitik hati, mengajarkan kepada kita tentang kesederhaan namun justru dari sederhana itu menjadikan kita sebagai kekuatan yang tidak terbandingi. Bahwa semua orang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. semua mendapatkan tempat sesuai dengan peranan dan kemampuan masing-masing. Kita semua adalah berbeda, namun perbedaan itu bukanlah hal yang menjadikan perpecahan, tapi perbedaan adalah kekayaan dalam kehidupan.
MOZAIK TAMBAL SULAM
: kepada semua


Jadilah pecahan batu
Untuk menjadi fondasi rumahmu

Jadilah sebatang kayu
Untuk menjadi tiang yang menyangga rumahmu

Jadilah selembar sirap
Untuk menjadi atap bagi rumahmu

Jadilah apa saja
Untuk mengisi yang belum ada
Itulah hakikat beda
Untuk menuju bangunan yang sempurna

Magelang, 2012


(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar