Minggu, 25 Agustus 2013

(APRESIASI PUISI) KETIKA KATA TABU MASUK PUISI

KEPADA ABAH
Oleh: MR. Rinaldi

Abah... kutemukan sebutir kelereng
bisakah kau menunjukkan satu lagi
atau mungkin ingin beli sekantung?
ah... terlanjur tabu, lupakanlah!

cukur saja kumis, jenggot juga jembutku
aku ingin telanjang, lari memanggil hujan
aku benci petir, coba tanyakan pada cuaca
adakah tempat untuk sembunyikan gemanya
juga kilat yang membutakan mata
tapi, siapa yang akan menemani?
teman-temanku sudah kawin
tak lagi rindu taman bermain

Abah, masihkah kau sanggup menggendongku
menapaki pematang sembari bersalawat nabi
terus melangkah ke arah magrib dan berkata
"di sana, di balik awan itu malaikat sedang berdoa"
"untukku?" dalam senyummu kutemukan diriku sendiri
: menghisap susu hitam dari puting zaman. lelap.

Cilegon-Banten.
11-05-2012



Puisi ini semacam surat atau bahkan bisa dikatakan curhat kepada “Abah” dan siapakah abah dalam puisi ini. Tentu saja berbagai macam jawaban akan timbul karena sememangnya puisi adalah karya multitafsir. Sebagai pembaca yang awam dan “cethek” pengetahuannya, saya mendefinisikan abah di sini sebagai sesuatu atau tempat kita mencurahkan rasa, orang yang bijaksana, dapat dijadikan panutan dan contoh oleh generasi muda, orang yang penuh kasih sayang, tulus dan penuh wibawa, orang yang dapat membimbing kita.

Aku lirik dalam puisi ini adalah orang yang sangat merindukan kehadiran bapak, sebab banyak kebahagiaan yang dia dapatkan dari “abah.” Bahkan aku lirik adalah orang yang paling kehilangan abah. Aku lirik ingin mengabarkan pada “abah” bagaimana keadaannya saat ini. Menemukan sesuatu yang sangat disukainya, namun sebagai manusia—pada umumnya manusia sifatnya serba kurang—aku lirik pun selalu merasa kurang dengan apa yang dia dapatkan, dia ingin lebih dan meminta lebihnya itu pada sesosok yang di beri nama abah. Namun hal ini tidak mungkin terjadi sebab bila dituruti yang namanya “nafsu” tidak akan pernah puas. Dengan nada yang tegas aku lirik menepiskan semua angan-angannya, ingin melupakan semua yang menjadi kegelisahan nafsunya.

Bait pertama ini menyeret saya untuk berpikir bahwa aku lirik itu masih seperti anak kecil, selalu merenggek, menangis dan manja, padahal kenyataan aku lirik adalah orang yang dewasa (lihat bait kedua). Semua jelas, tumbuhnya rambut halus di tempat-tempat tertentu adalah menunjukkan bahwa manusia itu telah memasuki masa dewasa—menurut biologi. Memasuki bait kedua ini akan semakin terasa bahwa aku lirik ingin kembali atau mengulangi lagi masa-masa kecilnya.

“cukur saja kumis, jenggot juga jembutku
aku ingin telanjang, lari memanggil hujan”


Kata-kata ini menunjukkan bahwa dengan ketiadaan rambut halus di bagian tersebut maka seseorang itu dikatakan masih kanak-kanak yang sukanya selalu telanjang dan bermain hujan (hehehehe kenyataan pada masa kanak-kanak). Namun kemungkinan “telanjang” di sini adalah saat aku lirik masih bersih dan belum terkena racun dunia atau dosa-dosa yang dilakukan sepanjang perjalanan sampai saat ini. Belum mengenal seluk-beluk kehidupan yang gampang-gampang susah. Belum mengenali hiruk pikuk dunia, yang ada saat itu adalah semua indah. Belum bisa mengartikan hitam dan putih yang sebenarnya.

Namun sebagai kanak-kanak ada juga hal yang ditakuti yaitu suara petir (kalau zaman saya dahulu katanya kalau ada petir dan kita menutup telingga, maka nanti jika hari kiamat kiamat kita tidak bisa mendengar panggilan Allah atau ajakan Nabi Muhammad). Nah, dari sini jelas bahwa ketakutan aku lirik semakin menjadi bahkan dia ingin melabrak cuaca untuk menyembunyikannya. Ya, manusia memang selalu ditakutkan oleh masalah-masalah besar yang ada dalam kehidupan ini.Kadang saya pun takut atau bahkan ketakutan sendiri bila berpikir tentang bahaya yang saya hadapi dan bila saja bisa saya ingin memutarbalikan kenyataan serta mengatur apa yang ada di hadapanku namun aku tidak bisa, begitu juga aku lirik di puisi ini. Indra manusia yang paling sering menghadapi bahaya adalah mata dan telinga(penglihatan dan pendengaran) sehingga kenapa penyair memilih petir untuk melambangkan bahaya atau masalah besar dalam puisinya adalah itu kejadian alam yang melibatkan mata sekaligus telinga.

Namun aku lirik di sini selalu merasa sunyi dan sendiri meskipun dia di tengah keramaian. Dia ingin bermain-main lagi namun tidak ada yang peduli. Itulah hakikatnya hidup di dunia ini. Manusia itu seelalu sendiri meskipun dia dikatakan sebagai makhluk sosial. Semua serba sendiri, tidak aka nada orang yang peduli pada nasib kita kecuali diri sendiri. Apalagi jika semua sudah berkutat pada dirinya sendiri. Berpusat pada diri sendiri, manusia akan melupakan kebersamaan dan indahnya bersama.

Lalu sebagai penutup puisi, dengan permohonan yang lirih aku lirik bertanya kepada sosok abah apakah masih sanggup menggendongnya (ya jelas saja tidak sanggup dong, hehehe, orang sekarang seharusnya yang digendong justru sosok abah). Sebuah kerinduan pada masa-masa yang indah ada kalanya mengiris hati (sebagai seorang melankolis sempurna, saya hanya memanen air mata bila mengingat masa lalu yang indah). Kenangan seperti apakah yang selalu dirindu seorang aku lirik puisi ini, mungkin sederhana saja yaitu digendong ayah, menembus waktu magrib menuju surau untuk melaknakan panggilan kewajiban menghadap yang Maha Kuasa, lalu sang ayah tak bosan menasehati dan mendongengi aku lirik dengan petuah-petuah yang bijak. Seorang ayah, sudah saya tuliskan di awal tadi, adalah seorang yang bijak dan berwibawa, dia akan selalu sabar dalam menghadapi berbagai pertanyaan yang terlontar dari mulut anaknya meskipun kadang pertanyaan anaka kecil ada konyol dan tidak masuk akal, senyuman adalah senjata ampuh untuk meluluhkan keingintahua n seorang anak. Sebagai sosok abah penerus, aku lirik tahu bahwa dia sendiri pun  akan mengalami hal itu. Semua akan berputar datang silih berganti.

Seluruh kepahitan hidup yang muncul dari pergantian zaman, berputarnya waktu akan terus ada bahkan terasa oleh manusia sampai dia lelap menuju keabadian. Kenangan-kenangan yang indah dulu tidak mungkin kembali lagi jika kita tidak menciptakannya sendiri. Semua akan menyaksikan siapa kita, jangan merasa sendiri, toh kita semua sama.


MOS, 11 Mei 2012

1 komentar: