Selasa, 27 Maret 2012

Iman Dan Takwa Dalam Bingkai Kaca


IMAN DAN TAKWA DALAM BINGKAI KACA

Dewasa ini, manusia semakin disibukkan oleh dunia. Mata hati tak mampu melihat lagi, karena mata kepala maju di atas segalanya. Gemerlap dunia memang memikat, penuh warna-warni keindahan dan kenikmatan, namun itu semua adalah ujian yang diturunkan Allah SWT kepada kita untuk menguji seberapa kuat iman dan takwa kita kepada-Nya.

Kadang manusia akan lupa segala-galanya saat pujian bersarang ke benaknya. Hatinya akan tersanjung dan berjalan membusung. Siapapun akan merasakannya dan menikmati pujian itu, kecuali mereka yang benar-benar kuat iman dan sadar kalau semua itu bukan miliknya. Tanpa mereka sadari pujian itu adalah cara setan untuk membuat manusia lupa kepada fitrahnya. Setelah itu setan akan terus memuat sangkar di hati insan yang imannya semakin melemah dan memperbudaknya.

Diam-diam kegelisahan ini berpengaruh juga di dalam kancah dunia kepenyairan, penyair-penyair pemula akan merasa “wahhh!!” ketika karyanya mendapat sedikit perhatian dan mereka akan lupa kepada tugasnya sebagai penulis puisi yang memuisi. Melihat fenomena-fenomena yang seperti ini, hati seorang penyair yang mengaku dalam kesehariannya selalu dikelilingi empat bidadari, Dimas Arika Mihardja (DAM),  menuliskan sebuah sajak percakapan dengan belahan jiwanya.


AYAT 729, UKIRAN KAYU JATI
: percakapan dengan yessika susastra

telunjukmu menunjuk kaligrafi baitul mekah
terbuat dan terpahat dari kayu jati
dalam bingkai kaca dan warna emas
seorang lelaki, mungkin kafilah memanggul-nya
melintas depan rumah, katamu: "mas

warna emas serasi dipajang di rumah ibadah
persis di muka saat kita mendirikan sholat, menghadap kiblat
aku ingin membingkai hatiku dengan kaca bening
lalu kupajang sebagai hiasan dinding seperti ukiran kayu jati"
lalu kataku: "yes

ukiran kayu jati hanyalah wujud benda
apakah kita akan menjadikannya berhala?
usah kaubingkai hatimu dan dipajang pada dinding
biarkanlah ia terpajang pada bidang dadamu"

bpsm, 08/02/2012


Puisi yang berjudul “AYAT 729, UKIRAN KAYU JATI” ini adalah hasil percakapan DAM dengan Yessika Susastra, istrinya. Dalam judul ini mengandung  makna yang dalam dan merujuk kepada tingkatan rohani yang paling tinggi kualitasnya. AYAT dalam judul puisi ini telah menyeret kita kepada peraturan-peraturan yang menjadi patokan dan harus ditaati, sebab biasanya ayat itu adalah bagian dari kitab yang di dalamnya ada hukum dan hukum adalah puncak yang mengatur hubungan manusia, baik dengan manusia itu sendiri, alam dan Tuhan.
Angka atau bilangan 729 sendiri adalah angka yang hanya bisa dibagi oleh bilangan yang mempunyai kelipatan 3. Dalam kehidupan ini manusia sebenarnya melalui tiga tahapan yaitu lahir, hidup dan mati. Sedangkan UKIRAN KAYU JATI menggambarkan suatu fenomena keindahan dengan kualitas yang sangat tinggi. Di tanah Jawa, kayu yang paling bagus adalah kayu jati, kayu ini mempunyai kualitas dan daya tahan yang sangat lama. Dibuat dan diolah menjadi berbagai macam peralatan atau istilah kerennya adalah furniture, dan tentunya bila dinominasikan harganya cukup tinggi. Ukiran merupakan salah satu hasil karya manusia dengan ketekunan dan kesabaran sang pengrajin menjadikan sebuag bongkah kayu yang semula tidak benilai menjadi sangat indah dan menarik.

telunjukmu menunjuk kaligrafi baitul mekah
terbuat dan terpahat dari kayu jati
dalam bingkai kaca dan warna emas
seorang lelaki, mungkin kafilah memanggul-nya
melintas depan rumah, katamu: "mas

Diksi “telunjukmu menunjuk kaligrafi baitul mekah” menggambarkan tentang keadaan pada saat syahadat dalam melaksakan shalat fardhu maupun sunah telunjuk kita selalu menunjuk kepada kiblat (kakbah) yang berada di kota Mekah, kota suci umat islam. Lalu kiblat itu oleh DAM digambarkan sebagai kaligarafi yang “terbuat dan terpahat dari kayu jati” hal ini cukup memberikan pesan bahwa iman dan takwa seseorang itu adalah ukuran kemuliaan manusia di mata Tuhan, Allah SWT. Dalam usaha meningkatkan iman dan takwa, manusia akan berusaha untuk selalu mendekatkan diri, melukisi dirinya dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi sala larangan-Nya. Manusia terus berusaha dan berdoa agar iman dan takwa mereka selalu melekat erat dan awet di dalam hatinya sampai nanti. Namun iman dan takwa itu ibaratnya berada “dalam bingkai kaca dan warna emas”, sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat, keadaan mudah mengombang-ambingkan hingga bisa dikatakan rawan, mudah pecah seperti kaca, sekali jatuh sudah tidak berbentuk lagi dan tentunya setan pun tidak akan tinggal diam dalam hal ini. Iman dan takwa yang kuat itu dimiliki oleh seseorang yang oleh DAM disebut sebagai kafilah, “seorang lelaki, mungkin kafilah memanggulnya”.  Kafilah itu sendiri adalah orang atau kelompok yang sedang mengembara di tengah padang pasir, ini adalah metafora yang berarti seseorang yang sedang menjalanai kehidupan di tengah rawannya kehidupan itu sendiri, kuat menghadapi tantangan, melawan haus dan lapar hanya untuk mencari sesuatu yang menjadi tujuan dari pengembaraannya itu sendiri. Tujuan itu bermacam-macam bentuk dan ukurannya, sesuai dengan niat pada diri masing-masing. Kita juga pengembara meskipun kita tidak berada di tengah padang pasir dan tujuan utama manusia yaitu menghadap Sang Khaliq, dan di tengah pengembaraan itu kita harus menyiapkan bekal dan bekal itu tidak lain adalah iman dan takwa. Pada sudut pandang DAM, semua manusia yang ada di muka bumi ini diibaratkan sebagai pengembara yang lalu lalang dan kebetulan saat itu ada salah satu pengembara itu melintas di hadapannya yang dicerminkan dari, “melintas depan rumah”, rumah itu dalam kepercayaan Jawa diibaratan sebagi raga, dan apabila bermimpi rumahnya roboh, orang jaman dahulu percaya bahwa aka nada keluarga itu yang sakit atau meninggal dunia. Berarti diksi “melintas depan rumah” dapat diartikan bahwa seseorang yang dimaksudkan oleh DAM sebagai pengembara yang sedang mencari bekal untuk menghadap Allah SWT, itu seolah-olah berjalan dihadapannya, tiba-tiba belahan jiwanya DAM, Yessika Susastra berkata, yang dilukiskan dengan “katamu, Mas”

warna emas serasi dipajang di rumah ibadah
persis di muka saat kita mendirikan sholat, menghadap kiblat
aku ingin membingkai hatiku dengan kaca bening
lalu kupajang sebagai hiasan dinding seperti ukiran kayu jati"
lalu kataku: "yes

Pembukaan percakapan Yessika menyinggung tentang warna emas, emas itu sendiri adalah logan mulia yang bisa dijadikan berbagai macam perhiasan dan tentunya setiap orang akan menyukainya terlebih lagi kalangan wanita. Banyak yang mengorbankan harta bahkan harga diri hanya untuk mendapatkan apa yang disebut emas itu. Dan dalam pemikiran Yessika warna emas itu ada warna yang mulia sehingga sangat bagus untuk dipajang di tempat dia menghadapkan diri kepada penciptanya, sholat. Hal ini dapat kita baca dari diksi “warna emas serasi dipajang di rumah ibadah/persis di muka saat kita mendirikan sholat, menghadap kiblat”, Yessika juga memberikan informasi kepada DAM bahwa dalam pemikirannya rumah ibadah itu adalah  tempat yang istimewa dan harus dimuliakan dengan warna yang mulia juga dan akan lebih mulia lagi kalau dipasang di muka atau di hadapan mereka saat menjalankan ibadah, dalam usahanya untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT. Lalu ada juga keinginan yang diam-diam diidamkan yaitu “aku ingin membingkai hatiku dengan kaca bening/lalu kupajang sebagai hiasan dinding seperti ukiran kayu jati”. Dalam pandangan manusia, bening adalah sesuatu yang mudah terlihat dan mudah dibaca oleh orang awam sekalipun, Yessika diam-diam mengungkapkan isi hatinya dan ingin isi hatinya itu diketahui oleh semua orang yang melihatnya. Agar orang yang melihatnya akan kagum kepada, memuji dan paling tidak dia ingin terkenal oleh sesuatu yang ada dalam hatinya. Namun dengan tegas sebelum semua terlambat DAM, sebagai suami yang mengerti, menasehatinya dan tercermin dari “lalu kataku: yess”
ukiran kayu jati hanyalah wujud benda
apakah kita akan menjadikannya berhala?
usah kaubingkai hatimu dan dipajang pada dinding
biarkanlah ia terpajang pada bidang dadamu"

Ya, ukiran kayu jati hanyalah wujud benda/apakah kita akan menjadikannya berhala?, iman dan takwa pun bisa dikatakan sebagi benda, dan jika kita menyembah benda maka kita akan dicap sebagai seorang yang musyrik, dan dosa kita tidak akan diampuni oleh Allah SWT. Perhiasan dunia semua berwujud benda, manusia hanya boleh mengaguminya karena iman dan takwa kepada Allah SWT. Lalu apabila iman dan takwa yang kita usahakan itu kita pamerkan kepada orang lain, bukan pahala yang kita terima melainkan justru Allah mengutuk kita dan menempatlkan kita sama dengan golongan orang-orang yang kafir. Memang sesuatu yang menggiurkan untuk memperoleh nama di mata umum melalui iman da takwanya kepada Allah, namun ini sekaligus jebakan setan agar kita terperangkap ke dalam hujan pujian, sehingga dengan puian itu menjadikan kita lupa kepada tujuan kita semula yaitu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dengan pujian kita bisa menyekutukan Tuhan Yang Maha Esa. Lalu dengan sabar DAM juga melukiskan nasehatnya “usah kaubingkai hatimu dan dipajang pada dinding/biarkanlah ia terpaja pada bidang dadamu”, nasehat ini juga tepat buat semua pengembara kehidupan yang mencari hakiki dan berusaha untuk mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Tidak perlu membingkai dam memajang apa yang menjadi kebaikan kita, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. Apapun yang ada di dalam hatimu, bahkan kamu bersembunyi di lubang yang tidak ditemukan oleh manusia lainnya, Allah mengetahui. Kebaikan dan keburukan manusia itu ada di hatinya, Biarlah iman dan takwa itu tersimpan dan berkembang di hati. Amalkanlah saja, tidak perlu tempat untuk menyiarkan.

Dari puisi di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada saat ini, manusia kebanyakan bertopengkan iman dan takwa padahal hati mereka adalah iblis. Berkoar kesana-kemari, dengan dandanan ala kiai, padahal dibalik jubahnya tersimpan rencana hitam yang mengerikan. Mereka senang dipuja dan dipuji. DAM begitu gelisah menghadapi hal ini sehingga dia berpesan lewat puisinya yang berkesan sederhana namun mengena. Juga pesan kepada manusia untuk menjadi diri sendiri, jangna terpengaruh oleh hal-hal yang dilihat oleh mata kepala baik. Gunakan mata hati untuk melihat apa yang ingin dilakukan. Tingkatkan iman dan takwa kepada Allah, namun biarkanlah hanya Allah saja yang menilai sehingga kita Dia anggap sebagai hamba-Nya yang mulia.


Luluk Andrayani
MOS17032012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar