Selasa, 27 Maret 2012

Muara Dari Perbedaan Dalam Kehidupan Adalah Maut


MUARA DARI PERBEDAAN DALAM KEHIDUPAN ADALAH MAUT

… karena tak seharusnya
perbedaan menjadi jurang
bukankah kita diciptakan
untuk dapat saling melengkapi
mengapa ini yang terjadi…

Masih ingat kan penggalan lirik lagu ini? Sebagai manusia kita memang diciptakan berbeda, tapi perbedaan itu bukan hal untuk menimbulkan perpecahan. Perbedaan adalah keanekaragaman, kalau dipadukan akan menhasilkan sesuatau yang luar biasa. Perbedaan juga merupakan kekayaan, jadi tidak perlu diperdebatkan. Perbedaan itu adalah wajar, kalau tidak ada perbedaan, mari kita bayangkan sejenak apa yang akan terjadi apabila kita semua sama. 

Bangsa Indonesia mempunyai banyak suku bangsa, sudah tentu akan ada perbedaan yang paling terlihat di antara suku-suku tersebut. Akan tetapi alangkah indahnya saat ditemukannya alat pemersatu bangsa yang diperingati pada setiap tanggal 28 Oktober itu. Sumpah Pemuda, begitulah disebutnya, yang mengungkapkan bahwa Bangsa Indonesia itu satu, berbahasa satu dan bertanah air satu. Semangat itu tetap membara dalam dada pemuda Indonesia.

Namun demikian meskipun manusia itu memnag diciptakan berbeda, namun akhirnya mereka adalah sama, mempunyai tujuan yang sama yaitu menghadap Sang pencipta, untuk mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya selama hidup di bumi.

Menyikapi adanya perbedaan  itu seorang pernyair muda yang berasal dari provinsi termuda di Indonesia, Muhammad Rois Rinaldi, menelurkan sebuah puisi yang sungguh mengelitik hati. Dengan gaya khasnya dia menyajikan puisi yang sarat dengan suara lantangnya dalam  meneriakkan isi hati.

DUA ALIRAN AIR

sahabatku, kita serupa dua aliran air, diam-diam bertanya akan keberadaan muara, dalam tenang riak-riak mendesah resah, juga kegamangan ini menghadirkan gelombang fatamorgana. tak usah risau serba tanya ketika aku menjadi genangan. meski perlahan akan menyusut, menjadi kerak-kerak bumi yang patah dan merabuk. aku enggan meminta agar tetap mengalir selamanya, biar menjadi kerak, biar menjadi rabuk, biar terbang dan hilang bentuk, biar! toh aku akan menjelma menjadi hujan, menyetubuhimu.

kau teruslah mengaliri fitrah juga titahNya yang tiada tertawar. sebelum kita bertemu dan aku serupa tamu membawa sebungkus kenangan. sampah-sampah akan silih datang menyelam dan tenggelam, kotoran manusia tercemplung lantas buyar, burung, bebek, ayam, apa saja yang berjenis binatang semuanya akan bertandang untuk mengucapkan salam juga menyekat aliran.

berhenti memberi tanda kurung pada makna, melarungkannya jauh ke laut lepas, sedangkan deburnya pun belum nampak, untuk apa merasa risih? takut berbaur dan tak lagi dikenali. bukankah tawar diri akan mengkristal di bawah terik matahari? teruslah mengalir hingga kelak kita akan sama-sama menemukan muara beraroma mawar. bening.

CILEGON-BANTEN
20-01-2012


Di bumi air alami ada dua macam yaitu asin (air laut) dan tawar. Dua air ini bertemu di muara dan menyatu di lautan yang luas. Tuhan menciptakan segala sesuatu selalu berpasangan (dua). Rois melukiskan hal ini dalam puisinya sebagai perbedaan yang dapat menyatu. Perbedaan itu adalah hal yang biasa, jadi tidak perlu takut untuk berbeda.

“sahabatku,” inilah kata yang diucapkan Rois dalam mengawali puisinya, menyapa pembaca sebagai sahabat. Sahabat ini dapat diartikan orang yang mempunyai hubungan jiwa, tempat mengadu baik dalam suka maupun duka. Rois mengharapkan pembacalebih dekat dengan dirinya. “ serupa dua aliran air,” ya, manusia memang berbeda, manusia kembar tetap berbeda dalam hal apapun, namun pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama dan akhir hidup yang sama. Pemilihan kata air di sini juga menyiratkan makna bahwa air itu sifatnya dapat berubah menuru tempat yang ditempatinya. Air juga merupakan sumber kehidupan yang utama, dan di muka bumi ini jumlah air juga lebih banyak.

Dua aliran air itu seakan-akan resah dan gelisah menghadapi suatu yang pasti ada namun belum dapat dilihat, “diam-diam bertanya akan keberadaan muara,”  kalau aliran air itu ibaratnya kehidupan, maka muaranya adalah maut. Manusia akan selalu gelisah bila membicarakan yang namanya kematian, entah itu apakah bekal mereka kurang atau sebab yang lain. Tentang kapan maut berpihak kepadanya manusia juga tidak mengetahuinya karena itu adalah rahasia Sang Pencipta. Rois juga menggambarkan “dalam tenang riak-riak mendesah resah, juga kegamangan ini menghadirkan gelombang fatamorgana.”  Meskipun manusia itu sejati seperti tidak peduli dengan apa yang namanya maut, sebenarnya hati mereka selalu berontak dan terus mempertanyakan keadaannya. Apakah mereka akan hidup atau akan mati saat itu juga. Manusia itu percaya atau bahwa yang hidup akan mati, namun angan mereka kadang terlalu jauh atau terlalu sempit dalam mengartikannya sehingga kepalsuan demi kepalsuan mereka tumpahkan di atas kanvas hidup, bahkan ada diantara mereka secara sengaja mereka atau meramal tentang kematian padahal kematian itu bukan hal untuk diramalkan. Kalau hal ini telah terjadi, maka keadaan yang ada semua seperti bayang-bayang yang mungkin menakutkan.

Lalu dengan keadaan yang seperti itu, Rois dengan tegas meminta “tak usah risau serba tanya ketika aku menjadi genangan. meski perlahan akan menyusut, menjadi kerak-kerak bumi yang patah dan merabuk”. Kalimat ini ironis, ada nada gelisah dan kekhawatiran yang tersembunyi diam-diam dalam benak penulis meskipun dia telah mengartikan hakikatnya sendiri sebagai air dan memberikan nasihat dengan tegas. Kepada sahabatnya (baca: pembaca) penulis juga berpesan  untuk tidak bertanya dan mencari tahu tentang hakikat dirinya sebagai air. Namun penulis tidak berada dalam aliran itu, dia ada dalam suatu tempat yang disebutnya genangan. Genangan ini biasanya bersifat sementara dan penulis juga tahu bahwa nanti dia akan hilang perlahan dan menjadi tiada sama sekali, bersatu dengan tanah tempatnya kembali menjadi sari-sari dalam bumi. 

“ku enggan meminta agar tetap mengalir selamanya,” kalimat sederhana ini adalah bentuk pemberontakkan penulis terhadap keadaan-- air itu selamanya mengalir dan mempunyai siklus, airà uapà hujan (air). Mengapa penulis meminta untuk tidak mengalir? Mau berada di manakah dia? Di tempat yang tertutup dan terlindung dari cahaya matahari yang membakar dan menempanya. Kalau dikaitkan dengan kehidupan keadaan yang seperti ini adalah sebuah nada keputusasaan, dan sungguh ironis jika manusia tidak ingin mengikuti takdir, jika air mengalir sebagai takdir, manusia ingin mengubah takdirnya. Inilah yang menjadikan penulis dan pembaca itu berbeda.  Namun akhirnya Rois membuka permintaannya “biar menjadi kerak, biar menjadi rabuk, biar terbang dan hilang bentuk, biar!”  Di kalimat ini kita akan tahu bahwa keinginannya ialah berkelana, dia tidak ingin dikurung oleh aturan yang harus dipatuhi. Bila menjadi kerak manusia akan tahu keadaan yang berada di bawah atau di dasar-dasar yang paling rendah dalam hidup ini. Lalu ada juga keinginannya menjadi rabuk, rabuk itu serupa pupuk yang sangat diperlukan oleh kehidupan, ingin berguna bagi yang lainnya dengan menyusupi seluruh kehidupan dan berbaur dengan kehidupan itu sendiri. Juga ingin terbang, ya siapa manusia yang tidak ingin berada di atas atau berada dalam tahap mulia? Semua manusia menginginkan kemulian dan itu pasti tempatnya di tempat tertinggi. Intinya di sini penulis ingin berbeda dan menentang takdir—atau ingin berusaha mengubah takdirnya. Meskipun nanti akan mengalah juga kepada keputusan akhir Sang Pencipta atau bisa disebut pasrah kepada takdir. Hal ini dilukiskan dalam diksi  toh aku akan menjelma menjadi hujan, menyetubuhimu. Itulah hakikatnya manusia, seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk mengubah dirinya, hakikatnya nanti dia akan tetap menjadi air yang mengalir pada tenmpat yang semestinya. Sadar atau tidak manusia masih pada siklusnya—lahir, hidup dan akhirnya kembali ke tanah.
 
Lalu bersama dengan hal itu Rois berpesan kepada pembaca agar pembaca tidak berontak kepada takdir kau teruslah mengaliri fitrah juga titahNya yang tiada tertawar. Di sinilah kita tahu bahwa memang benar si penulis ingin berbeda dengan yang lainnya, kalau yang lain berserah pada takdir, mengikuti yang sudah menjadi garis tangan tiap-tiap insan. Menjaga kesucian dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya yang setiap manusia tidak akan mampu melawannya. Namun jika melihat larik seterusnya sebelum kita bertemu dan aku serupa tamu membawa sebungkus kenangan.sepertinya penulis menuliskan pesan ini kepada seseorang yang dia anggap sebagai aliran yang lain itu dan  mengenali seseorang yang disebut “kau” lirik di sini. Atau bisa juga sebagai langkah untuk Rois bisa dekat dengan pembaca. Meskipun hakikatnya berbeda. Membuat sebuah perjanjian dengannya meskipun mereka dalam kehidupan berbeda dan jalan hidupnya beraneka ragam, namun semuanya nanti pasti bertemu dan dikumpulkan  di Padang Maksyar untuk mempertanggung jawabkan apa yang menjadi perbuatannya di dunia. Manusia di dunia hanyalah tamu, itulah peribahasa yang dipakai untuk menggambarkan keadaan singkat sebuah kehidupan. Manusia harus mencari bekal yang nanti akan dipakai untuk menghadap Illahi, dan di puisi ini penulis menggambarkannya sebagai “kenangan”. Berbagai macam dan ragam manusia akan menunjukan apa yang diperbuatnya di muka bumi. Di Padang Maksyar pun manusia berbeda semua amal dan perbuatan mereka dihisab dan akan memperoleh balasan setimpal dan serupa perbuatannya. “sampah-sampah akan silih datang menyelam dan tenggelam, kotoran manusia tercemplung lantas buyar, burung, bebek, ayam, apa saja yang berjenis binatang semuanya akan bertandang untuk mengucapkan salam juga menyekat aliran.”

Namun sepertinya si penulis tidak ingin hanya berangan-angan lagi tentang perbedaan yang ada di kehidupan abadi. Dia mengajak pembaca untuk menjalani kehidupan yang saat ini nyata dan berjalan.  “berhenti memberi tanda kurung pada makna,”  Diksi ini menginginkan manusia agar manusia itu tidak mengurung dirinya atau selalu menutupi apa yang tersembunyi atau apa yang seharusnya dirahasiakan. Manusia harus bisa lebih terbuka agar keselarasan tercapai dalam perbedaan itu. Biarkan semua terlihat apa adanya dan biarkan semua mengembara mencari hakikatnya untuk sampai pada muara.

Namun untuk sampai pada muara itu kita belum tahu kapan dan bagaimana muara itu manusia juga tidak  mengetahui. Manusia belum tahu namun karena kepercayaannya kan muara kehidupan adalah maut itu sudah pasti. “melarungkannya jauh ke laut lepas, sedangkan deburnya pun belum nampak,”  Lalu Penulis juga berpesan “untuk apa merasa risih? takut berbaur dan tak lagi dikenali.” Bahwa manusia tidak perlu merasa rendah diri dalam hidup ini. Tidak perlu takut mengahdapi kemelut dalam kehidupan. Juga tidak perlu takut untuk berbeda meski nantinya perbedaan itu akan menyebabkan dia tak lagi diketahui oleh orang lain. Atau dengan perbedaan dia akan dikucilkan oleh kelompoknya. “bukankah tawar diri akan mengkristal di bawah terik matahari? teruslah mengalir hingga kelak kita akan sama-sama menemukan muara beraroma mawar. bening.” Meskipun manusia selalu memberontak untuk berbeda namun juga pemberontakkannya itu tidak berfungsi. Karena akhirnya harus berada di salah satu aliran air yang dia gambarkan itu. Tinggal memilih yang mana. Aliran-aliran itu akhirnya akan berkumpul dalam satu muara. Berusahalah untuk menjadi yang terbaik, berbuat baik dan tetaplah pada aliran itu. Sehingga suatu saat nanti akan menemukan sebuah akhir yang baik dan indah. Sebuah ketenangan jiwa di alam baka.


Luluk Andrayani
Ma On Shan, 13032012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar