Jumat, 15 Juni 2012

MERENUNGKAN HAKIKAT DIRI AGAR TAHU DIRI BERSAMA LARONNYA HAMBERAN SYAHBANA


MERENUNGKAN HAKIKAT DIRI AGAR TAHU DIRI BERSAMA LARONNYA HAMBERAN SYAHBANA


Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan akalnya, namun dia juga menjadi tidak sempurna karena akalnya juga. Dikatakan sempurna dengan aklanya jika manusia itu bisa menggunakan akalnya di jalan yang telah ditentukan, sesuai dengan norma, hukum dan agama. Namun manusia kadang akan lupa diri jika kesenangan dan kebahagiaan telah dicapainya, kesombongan akan menutupi hatinya. Meskipun pada awalnya manusia itu berada pada titik terendah.

Dalam peribahasa Jawa ada yang namanya “kere munggah bale”, ini menjelaskan bahwa ada seseorang yang kaya mendadak atau mendapat kedudukan secara mendadak, akhirnya dia lupa diri, melupakan seluruh orang terdekatnya—sahabat, sanak family bahkan orang tuanya atau anak istinya.

Melihat fenomena yang ini, seorang pernyair dari pulau Borneo bernama Hamberan Syahbana ingin menyedarkan kepada kita dengan petuah-petuah yang sepele namun menggigit—nylekit.

Renungan saat ini

Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita juga bisa berubah peran menjadi seperti angin
di saat orang saling kejar saling tumpang tindih
rayap-rayap itu diam-diam menjadi laron
yang beterbangan mengejar cintanya di nyala api

Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita hanyalah kapal selam yang terdampar di gurun
padahal kapal selam itu selamanya sering di dalam air
sementara sesama kita sudah saling tuduh bagai
orang buta yang menyalahkan orang buta lainnya

Banjarmasin, Juni 2012

Judul puisi ini adalah “renungan saat ini”, terlalu bening menurut  pembacaan saya karena memang tiada majas ataupun ungkapan-ungkapan yang sulit, melainkan sebuah ajakan kepada kita untuk merenungi diri, koreksi diri dan juga membenahi apa yang salah dalam diri kita. Kapan waktunya?  “saat ini”, ya kapan pun itu waktunya, waktu yang tepat adalah saat ini,bukan tadi atau nanti, sebab tadi adalah masa yang telah lalu dan nanti adalah masa yang akan datang. Meskipun rentangnya hanya detik namun telah mencakup. Tidak boleh ditunda lagi dan harus tepat yaitu saat ini.

Memasuki bait pertama,
Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita juga bisa berubah peran menjadi seperti angin
di saat orang saling kejar saling tumpang tindih
rayap-rayap itu diam-diam menjadi laron
yang beterbangan mengejar cintanya di nyala api

Saya merasaan ada satu kecamuk atau permasalahan yang sering kali dihadapi oleh semua manusia namun masalah ini terabaikan. Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata/ kita juga bisa berubah peran menjadi seperti angin, kedua larik ini mengingatkan saya pada “nafsu” dan “nurani” yang sejatinya dalam diri manusia nurani  selalu berperang melawan nafsu untuk menentukan pilihan pilihan yang ada di hadapannya. Nafsu itu akan kuat sekali pengaruhnya untuk mengelabuhi nurani. Dalam perang ini manusia selalu gelisah dan kalau kata gaulnya adalah “galau” antara ya dan tidak.

Akhir dari perang antara nurani dan nafsu itu pasti ada satu keputusan, jika nurani lebih kuat maka nafsu akan menyingkir dan manusia tetap istiqomah di jalan-Nya, namun jika nurani kalah maka manusia akan menghindar dari jalan-Nya. Seperti dalam puisi Hamberan ini, nafsu telah memenangkan pertarungan sehingga manusia selalu berubah-ubah sesuai dengan tempat yang ditempatinya—seperti bunglon yang berubah warna (hal ini ditunjukan dari diksi seperti angin). Pendirian manusia tersebut tidak kuat atau tanpa tonggak kuat di dalam hatinya, Sehingga mudah berubah.

Lalu larik selanjutnya menjelaskan bahwa selalu ada perbedaan antara orang satu dengan yang lainnya. Dalam larik di saat orang saling kejar saling tumpang tindih/rayap-rayap itu diam-diam menjadi laron/yang beterbangan mengejar cintanya di nyala api mengandung sebuah metafora kontemplasi yang sangat menyentuh, juga ada majas ironi yang bikin gereget sekaligus nylekit dirasakan. Gabungan metafora dan ironi yang saya sebutkan adalah  subyek “rayap-rayap menjadi laron”, siapakah rayap-rayap yang menjadi laron itu?

Penggambaran manusia yang hanya bisa menggerogoti sisa-sisa manusia yang lainnya. Pada saat ada berkah (hujan) dia akan bermetamorfosis atau berubah mempunyai sayap. Lalu saat ada cahaya—entah itu cahaya lampu atau matahar—laron akan keluar dari sarang memamerkan bahwa dia bisa terbang membubung. Namun sang laron itu tidak menyadari bahwa dia hanya mampu bertahan beberapa menit saja pada ketinggian itu sebelum akhirnya dia kembali lagi ke tanah. Begitu juga yang terjadi pada manusia saat dia meresa paling tinggi, maka ia akan lupa segalanya, bahkan dia akan lupa pada hakikatnya bahwa dia juga akan kembali ke tanah. Saya jadi ingat suatu peribahasa, setinggi-tinggi tupai melompat jatuhnya ke tanah juga.

Juga pada saat itu, manusia tidak akan sadar pada keindahan-keindahan (cahaya) yang mereka datangi  itu berbabaya atau membahayakan dirinya, pada mata mereka yang penting itu adalah indah. Karena hati mereka telah tertutup oleh kebahagiaan semu.

Dari sini Hamberan mengharapkan manusia yang merasa telah tinggi kedudukannya untuk selalu ingat kepada Tuhan dan hakikatnya, juga kepada kita semua—karena hakikatnya manusia itu adalah makhluk yang tertinggi derajatnya dibandingkan makhluk yang lainnya. Hamberan mengharapkan agar kita selalu berhati-hati dalam memandang setiap keindahan dunia—sebab keindahan dunia ini hanya palsu dan juga membayakan layaknya bahan bakar yang berapi yang bisa membakar kita sewaktu-waktu.
Serta diteruskan pada bait ke dua,

Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata
kita hanyalah kapal selam yang terdampar di gurun
padahal kapal selam itu selamanya sering di dalam air
sementara sesama kita sudah saling tuduh bagai
orang buta yang menyalahkan orang buta lainnya

Dalam bait ini terjadi pengulangan kalimat di baris pertamanya yaitu Meski kita sudah mencoba menahannya, ternyata, tulisan yang sama persis namun berbeda dalam artinya karena frase selanjutnya kita hanyalah kapal selam yang terdampar di gurun/ padahal kapal selam itu selamanya sering di dalam air. Merujuk frase ini saya menemukan apa yang kita coba tahan kedua adalah takdir. Takdir yang berisi seluruh kemungkin dan ketidakmungkinan yang tidak dapat ditebak oleh otak manusia.

Namun dalam tiga baris pertama bait ke dua itu menunjukan suatu kemustahilan yang terjadi di kehidupan manusia (kapal selam di tengah gurun). Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak pernah puas akan apa yang dicapainya saat ini dan akan terus melakukan percobaan-percobaan yang sungguh di luar kemungkinan. Juga mengacu kepada penempatan hal yang tidak pada tempatnya—seiring dengan kemajuan zaman dan era globalisasi manusia akan lupa diri juga. Contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah dunia entertainment yang semakin marak, yang menyuguhkan tontonan yang hanya pantas ditonton dan dilakukan oleh pasangan suami istri—pornografi dan pornoaksi. Ini adalah hal yang patut kita renungkan karena membuat orang semakin lupa diri. Dari sini anak-anak di bawah umur yang tadinya belum tahu hal ini menjadi lebih tahu. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah banyak anak-anak remaja bawah umur yang telah berani melakukan seks bebas.

Namun siapa yang disalahkan dalam hal ini kita tidaklah tahu persis, semua orang saling menyalahkan satu sama lain, tuding menuding tanpa jawab pasti. Memang di sisi lain menguntungkan, tapi di lain merugikan. Seperti yang tertulis dalam larik selanjutnya, sementara sesama kita sudah saling tuduh bagai/ orang buta yang menyalahkan orang buta lainnya. Dalam larik ini Hamberan mengusung metafor “orang buta”. Namun apakah manusia itu buta dan seperti apakah orang buta itu? Ya, mereka hanya tidak bisa melihat dengan mata kepala saja, namun mereka mempunyai hati jika mau menggunakan juga punya akal jika masih sehat dan terawat.

Dari larik tersebut Hamberan mengajak kita untuk koreksi diri—bukan menuding dan menodong—apa yang harus kita lakukan saat ini untuk mengahadapi fenomena yang memilukan dan mencoreng harkat dan martabat sebagai manusia. Juga tuntutan untuk kita selalu menggunakan nurani dan hati untuk berpikir bukan hanya emosi dan ambisi yang maju.

Sebagai penutup, saya merasa kecil sebab belum melakukan apapun melihat fenomena-fenomena yang semakin jungkir balik oleh kemajuan teknologi dewasa ini. Saya merasa malu kepada Tuhan, bahwa sebagai makhluk yang sempurna dan diberi akal namun belum menggunakan akla dengan sempurna. Serta semoga jika kita suatu saat berada di atas sekali-kali marilah kita tengok ke bawah ke tempat kita yang dahulu, sebab di sana pun masih banyak tangan-tangan yang meminta uluran tangan kita. Renungan yang mantab, semoga kita bisa berkaca dan selalu di jalan-Nya.  Salam.


LA1562012

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar