Selasa, 12 Juni 2012

Review Jejak Mata Pena By Usup Supriyadi

Sehimpun Puisi Dari Hati BMI

 

Kehidupan yang paling menyedihkan adalah ketidakberanian mengambil risiko sekecil apapun (safety player) - Parlindungan Marpaung

Pada sebuah kesempatan, saya berkunjung ke rumah kawan baru saya, ketika sampai di halaman depan rumahnya, saya melihat ada beberapa pohon bunga kemboja tengah mekar-mekarnya. Dalam hati saya langsung teringat bahwa bunga yang satu ini lebih sering dijumpai di pemakaman. Karena ini kali pertama, akhirnya saya tidak lantas bertanya soal itu. Singkat cerita, selepas saya menerima jamuan dan berbincang dengan kawan saya itu. Saya pun bertanya soal bunga kemboja yang ditanam di depan rumahnya. Dan jawabannya mengejutkan saya, katanya, "Saya menanam kemboja di depan rumah, agar selalu ingat, bahwa bukan soal di mana saya memulai, tetapi di mana nanti berakhir".

Dunia adalah tempatnya ujian. Kelebihan dan kekurangan sejatinya juga ialah ujian. Dan saya baru saja membaca sehimpun puisi dari hati BMI-Buruh Migran Indonesia, bertajuk Kemboja Mencari Warna: Jejak Mata Pena, Penerbit Abatasa Publishing. Sebuah antologi puisi bersama dari delapan perempuan yang kesemuanya berstatus-sampai tulisan ini dibuat-sebagai buruh migran Indonesia di Hong Kong. Sebagaimaa kebanyakan kasusu mengapa seseorang itu menjadi buruh migran, karena faktor kemiskinan yang menjerat (secara tidak wajar). Tetapi delapan puan tersebut termasuk manusia pemenang sebab tidak berpangku tangan. Adalah benar orang berpunya harus tahu diri bahwa sebagian harta mereka adalah milik yang tidak punya. Malah ada seorang yang berkata: "Harta saya adalah apa yang sudah saya berikan kepada orang lain". Namun, yang berkurangan pun jangan hanya berpangku tangan. Siapakah kedelapan bidadari yang saya maksudkan itu? Mereka adalah Adhe Bintang Generasi Biru, Astry Anjani, Lentera al Jaziran, Lintang Panjer Sore, Luluk Andrayani, Mei Triwahyuni, Nurul Rahmayanti, Yulia Kadam. Dengan kesederhana mereka menuliskan sebuah kata pengantar yang menggetarkan hati saya, "Jejak mata pena kami (ini) adalah tulisan yang berbentuk puisi ataupun sajak sederhana. Terurai dari bahasa kalbu, curahan sanubari, dari relung jiwa yang terdalam. Semoga sesuatu yang datang dari hati, maka hati pulalah yang akan menerimanya ... ".

Ya, sebuah harapan yang begitu menawan. Dari hati ke hati. Begitu berarti. Barangkali, sudah tidak asing lagi tema ke-BMI-an dijadikan puisi oleh para penyair, saya sendiri kerap menuangkan asa dan rasa lantas hal tersebut masuk ke dalam sajak (salah satunya termaktub dalam buku kumpulan sajak "Jembatan Sajadah: Kabar dari Negeri Seberang" Terbitan UmaHaju Publisher). Namun, tetap saja, kala saya membaca antologi dari mereka yang statusnya memang BMI rasanya begitu beda, meskipun, tentu saja setiap buku selalu ada kurang dan lebihnya. Secara afektif dan emotif saya dibawa hanyut ke dalam bait-bait yang tertoreh. Delapan wanita yang mengabarkan diri mereka sebagai delapan kuntum kemboja yang berani menghadapi apapun, termasuk kematian itu sendiri sebagai lambang dari kemboja. Dan itu, tentu saja, bukanlah tanpa perjuangan. Maka apa-apa saja yang selama ini dirasai sekaligus dialami secara sadar, kemudian dikristalkan dalam baris-baris puisi dalam antologi tersebut.

Ke-102 sajak yang menjejak kesaksian yang menurut Dimas Arika Miharja, 'kesaksian yang sexy', terbagi ke dalam enam bab atau tema besar yang hendak diungkap-sampaikan oleh ucap aksara. Di sini, saya akan mencoba menuliskan pandangan apa yang saya dapati dari 'gambaran' yang mereka 'lukiskan' melalu media bahasa Indonesia.

Pertama, "Persembahan untuk Sepasang Bidadari", kala membaca bagian ini saya langsung teringat lagu: "kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia". Kemudian ketika beberapa 'kuntum kemboja' bicara soal ayah, saya jadi ingin menyanyikan sebuah lagu: "untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi, walau air mata di pipiku, ayah, dengarkanlah, aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi".

Tentu saja, saya tidak sekadar mendapat pengalaman literer-estetis yang melagu tentang keselarasan ataupun kelaziman. Saya juga menjumpai pengalaman literer-estetis yang bertentangan atau memiliki pertentangan. Di mana ternyata, terkadang memang ada orang tua yang 'durhaka' kepada buah hatinya yang mana itu adalah titipan yang Mahakuasa. Betapa radar-radar budiah saya tertegun ketika mendalami baris-baris sajak tersebut. Misalnya, sajak "Buah Cinta yang Terbuang" oleh Nurul Rahmayanti, pada bait akhirnya tertulis:

Ayah, Bunda
untukmu kubingkis sepucuk surat
hentikan kisah cinta kasih syahwat
sebelum malaikat menjemputmu ke akhirat
aku menunggumu di pintu taubat

Seharusnya, orang tua yang ideal itu berprinsip sebagaimana yang dinyatakan oleh Patrick M. Morley yang luar biasa, katanya, "Saya lebih memilih untuk tidak menjadi siapa-siapa, asalkan bisa menjadi seseorang yang berarti bagi anak-anak saya". Syukurlah, bila seorang anak sadar bahwa mereka bisa menjadi jalan agar orang tua masuk ke surga, maka mereka harus bisa menasihati dengan bahasa hati. Dan, saya rasa, Nurul Rahmayanti sadar betul bahwa tugas anak tak hanya menginginkan yang terbaik dari orang tua, tetapi bagaimana mereka juga berupaya agar orang tua mereka menjadi lebih baik lagi dari hari ke hari, baik dari segi jasmani maupun ruhani. Kemudian sajak "Demi Sang Bocah"nya Lintang Panjer Sore yang mengurai perjuangan seorang ibu demi anaknya, harus jadi 'pekerja di malam hari'. Ya, tidak selalu memang setiap anak menerima "Ayunan Kasih" (judul sajak Adhe Bintang Generasi Biru) yang semestinya, tetapi kedelapan kuntum kemboja bukanlah anak-anak yang tak peduli dengan orang tua. Mereka tetap ingat bahwa surga ada di "Telapak Kaki Ibu" (judul sajak Nurul Rahmayanti) meski harus mengalami "Kelana dan Waktu" (judul sajak Adhe Bintang Generasi Biru) yang panjang penuh onak duri, "Sepenggal Sajak untuk Ayah" (judul sajak Lintang Panjer Sore) dan "Perempuan Melati" (judul sajak Astry Anjani) akan tetap membuat mereka (dan kita tentu saja) selalu menghadiahkan "Sekalung Doa untuk Ayah" (judul sajak Luluk Andrayani) dan Ibunda sebagai bentuk "Kidung Jingga" (judul sajak Yulia Kadam) "Tentangmu Ibu (dan Ayah)" (judul sajak Mei Triwahyuni) dan "Simfoni Rindu" (judul sajak Lentera al Jaziran) dari seorang anak kepada orang tua masing-masing. Begitu rasa lebihnya lagi, mengingat kedelapan puan ini adalah anak-anak yang terpisah ruang dan jarak, jadi begitu terasa sekali gejolaknya.

Kedua tentang "Asmara" sajak-sajak di dalamnya berisikan rasa tak sekadar kasmaran begitu menawan tetapi juga cukup menikam di beberapa bagian. Satu hal terungkap, bahwa mereka para BMI itu manusia biasa yang juga butuh dan pernah merasakan cinta melanda dari lawan jenis mereka. Bagian ini mungkin akan lebih dirasakan lain rasanya jika pembacanya adalah para lelaki. Betapa, saya dibuat oleh sajak-sajak bertemakan "asmara" mereka kembang kempis. Ah, cinta memang nggak ada habisnya, sebab dunia ini lahir karena cintaNya.

Ketiga tentang "Suara Hati Rakyat", Tosa Poetra dalam esainya bertajuk "Membaca Suara Hati Rakyat di Buku Kumpulan Puisi Jejak Mata Petani" sudah begitu gamblang menggambarkan suara-suara yang terus terang saja, lebih banyak tidak didengar oleh mereka yang seharusnya lebih banyak mendengar apa yang diucap oleh rakyat. Terlebih, ini disuarakan langsung oleh pelakunya sendiri, oleh perempuan yang statusnya BMI. Saya sendiri begitu dibuat terkejut dalam beberapa bagian. Saya kira, kalau WS. Rendra masih ada, dia tentu saja akan menitiskan air mata dan ikut menyuarakan lebih lagi tentang suara BMI yang termaktub itu. Saya sendiri terenyuh, dan kadang dibuat merenung ke dalam diri.

Keempat berlabel "Alam Terkembang" di sini sajak-sajaknya begitu menggambarkan kepedulian mereka sebagai manusia yang menghuni bumi yang begitu selalu memberikan yang terbaik yang ia miliki. Dan rupanya, di mana pun kaki dipijak, maka alam negerinya tetap menghujam hati mereka, pelbagai bencana yang terjadi juga membuat hati mereka ikut menangis. Sehingga akhirnya, mereka tak sekadar menyair tentang keakuan tetapi juga kepedulian terhadap alam serta penghuni lainnya. Tidak bisa tidak memang, penyair harus juga mengangkap tema lingkungan dan sosial, jangan hanya terus berkutat pada "sunyi sepi sendiri" sebab kita hidup tak benar-benar sendiri di dunia ini.

Kelima bernuansakan relijius dengan tajuk "Bisik Hati Pada Rabbi" sebagai muslimah, kedelapan kuntum kemboja yang menggembara ini begitu sadar bahwa hidup harus selalu diiringi tidak sekadar usaha tetapi juga doa. Dan, doa mereka cerdas, yakni tidak sekadar minta jangan diberikan ujian, tetapi diberikan kekuatan untuk bisa menyelesaikan segala macam ujian. Di bagian ini saya akui saya mendapati radar-radar yang memberikan keinsafan kepada diri, tanpa nada menggurui.

keenam perihal "Gejolak Jiwa Dalam Lara" hidup baik dalam hal apapun termasuk "Asmara" yang biasanya bara jika tidak hati-hati memang bisa membara dan membuat luka. Di sini, saya sebagai laki-laki banyak dapat pelajaran apa sebenarnya yang dikehendaki wanita, dan harus bagaimana seharusnya saya sebagai pria.

Sebagaimana diungkap Puja Sutrisna, tentu saja, dalam buku ini, bila ditolok dari struktur fisik, maka akan ditemui pengungkapan bahasa puisi yang beragam, sebagian begitu puisi sebagian lagi masih berupaya untuk mencapai ke situ. Namun, sebagai langkah awal, kumpulan puisi ini patut diapresiasi. Selamat buat kedelapan kuntum kemboja, kalian telah berani namun bukan karena nekad yang tanpa berpikir akal sehat. Di mana pun kita memulai, itu tidak masalah, selama kita akan tahu bahwa akhirnya akan ke mana. Ingat, hidup adalah perencanaan, bagaimana pun, walaupun yang menentukan hasil akhir itu Tuhan, adalah jelas sekali, Dia yang Esa lebih menyukai rencana-rencana dan langkah-langkah yang mulia. Akhirulkalam, hati saya bahagia membaca sajak-sajak dalam buku tersebut. Jelas ini adalah awal yang baik. Tetap berkarya. Demikianlah. Salam!



catatan: karena keterbatasan waktu, segini yang bisa saya sajikan, ini hanya ulasan secara umum, bila ada kesempatan saya akan coba mengulas beberapa sajak yang memang begitu berkesan di hati saya, walaupun saya akui semua memang berkesan, namun sebagaimana kata pepatah, di atas langit masih ada langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar