Minggu, 03 Juni 2012

KOMUNIKASI ESKA WAHYUNI DENGAN TUHAN DAN AJAKANNYA


KOMUNIKASI ESKA WAHYUNI DENGAN TUHAN DAN AJAKANNYA

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah terlepas dari yang namanya komunikasi atau dengan kata lainnya adalah cara menyampaikan informati—pesan , baik itu dengan Tuhan, alam sekitar (lingkungan) dan juga dengan manusia itu sendiri dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Berbagai macam cara dilakukan agar tercipta keselarasan dan keseimbangan.

Menurut Laswell agar komunikasi itu bisa diterima dengan baik maka harus ada komponen-komponen pendukung yaitu harus ada si pengirim atau pihak yang menyampaikan pesan, ada pesan yang ingin disampaikan, ada media atau perantara untuk menyampaikan pesan, ada penerima pesan, ada umpan balik atau tanggapan dari penerimaan pesan dan ada aturan-aturan yang disepakati (Wikipedia).

Dewasa ini, meskipun tekhnologi sudah maju dan serba mesin, ada hal yang manusia lupakan atau bahkan kehilangan komunikasi yaitu komunikasi dengan alam dan Tuhan. Melihat keadaan yang demikian, sebagai seorang penyair yang masih ingat akan hal itu Eska Wahyuni mengajak kita untuk kembali melakukan renungan dalam puisinya. Renungan yang mendalam tentang pentingnya komunikasi dengan Tuhan di era globalilasi dan modernisasi ini.


di pinggir masjid
(by: eska wahyuni)

pernah aku berbaring di pasir putih. menatap tiang tiangmu
pohon pohon kesepian, juga langit yang tiba tiba bisu saja. sementara
percakapan kita bertabrakan di udara

aku dan kau adalah kisah tentang laut. rindu risau taut menaut
seperti pasang laut, seperti kabut, juga arus surut
letih disana tersangkut. terkapar di perahu kecil, di tambatan
yang mati. angin tak singgah, tak meleraikan waktu
atau sesuatu. antara semua, kita adalah yang paling sunyi

pernah aku berbaring di pasir putih
di sekelilingku, manusia membariskan kata kata
dan untukmu: rindu, terasing sendirinya

yogyakarta, 2012


Puisi Eska Wahyuni selalu menawarkan gaya pengungkapan baru khas Eska—begitu saya menyebutnya, keneranian memenggal dan bermetafora itu adalah kunci utama dari diksi yang digunakan Eska, meskipun kelihatan sederhana namun memikat dan memabukkan. Saya katakan memabukkan di sini kerena untuk mengapresiasi dan memaknai puisinya harus memutar seluruh dimensi, mengaduk-aduk isi kepala sampai tumpah dan juga sedikit membingungkan tentang arah yang harus dibawa. Serta keberanian Eska untuk mendobrak tata bahasa—pengalamanan dari puisinya dengan  judul INSOMNIA—yaitu penggunaan kata ulang tanpa tanda hubung atau dirangkaikan dan penggunaan huruf kecil semua dalam puisinya. Ya, penyair punya licentia poetica untuk membebaskan kreasinya dan ini sudah jelas dalam gaya penulisan puisi Eska.

Begitu juga dalam puisi Eska yang satu ini—awal saya membaca memang terlalu berani itu yang ingin saya ungkapan—menggunakan kebebasan untuk berkreasi itu. Namun dari sini gaya ini punya kelemahan yaitu ketidaksampaian pesan kepada pembaca karena kebanyakan pembaca masih patuh dan berkutat kepada aturan tata bahasa yang telah ada. Namun bukankah ciri puisi yang kuat itu punya berbagai macam pemaknaan? Saya rasa di sini Eska telah memenuhi hal itu.

Dalam kaca mata baca sederhana saya ingin menguraikan puisi yang berjudul, “di pinggir masjid” Mengapa Eska memilih diksi “di pinggir” bukan di tengah atau di dalam atau yang lainnya? Pada pembacaan saya Eska menyuruh kita untuk merenungi diri kita dan tempat yang paling nyaman atau stategis untuk merenung adalah di pinggir atau bisa dikatakan kita menepi dari segala hal sambil berkaca dan mengamati lalu lalang yang terjadi di hadapan kita. Menepikan diri dari hal-hal yang membuat hati tidak nyaman atau hal-hal yang buruk. Apalagi digandengkan dengan kata “masjid” yang secara umumnya adalah tempat suci atau tempat beribadah umat Islam. Kemungkinan di dalam masjid itu telah banyak kejadian-kejadian yang menarik atau tidak menarik di mata, oleh karenanya Eska mengajak kita mengajak kita untuk menepi sebentar saja. Lalu apakah saat kita berada di pinggir itu diam saja?

Tenyata tidak kawan, Eska memulai puisinya dengan kalimat pernah aku berbaring di pasir putih. menatap tiang tiangmu sebuah metafora kejutan yang mengajak kita untuk merenung lebih dalam. Diksi ini membuat saya untuk membayangkan ketika saya berada di gurun atau padang yang luas sekali dan pada hakikatnya kehidupan inilah yang di sebut sebagai gurun atau padang pasir. Kita—manusia—mengembara untuk mencari bekal bagi kehidupan akhir nanti. Pada saat kita lelah dalam perjalanan adakalanya kita beristirahat sejenak, lalu tiduran atau berbaging sambil menghayati apa yang sebenarnya kita cari di dunia ini. “aku” lirik dalam puisi ini juga manusia jadi dia pun merasakan hal yang sama. Dalam keadaan itu, aku lirik kembali pada hakikat. Tiang adalah penyangga, untuk menjaga beban agar tidak ambruk maka tiang harus kuat dan kokoh. Dan kemunculan mu lirik di sini, dalam kaca mata baca saya adalah menunjuk Tuhan, sebab tiada siapapun saat itu yang menemani aku lirik. Sehingga saya membaca tiang di sini adalah soko guru kehidupan, jika dalam Islam maka tiang agama itu adalah shalat lima waktu. ku lirik mengamati tiang agamanya—shalat—apakah sudah benar-benar dilakasanakan dengan baik dan benar atau masih saja bolong-bolong?(hehe, hal ini marilah kita tanyakan kepda hati kita masing-masing saja tidak perlu saya menunjuk pada orang lain, koreksi diri lebih penting sebab yang tahu hati kita adalah kita sendiri).

Dalam metafora pohon pohon kesepian, juga langit yang tiba tiba bisu saja. sementara
percakapan kita bertabrakan di udara ini saya diajak Eska untuk lebih menelaah dan mengerti kehidupan manusia. Sebab kadang-kadang manusia itu seperti pohon, akarnya menenancap di bumi namun pucuknya selalu terombang-ambing ingin menggapai langit dan tak aral badai dan angin pun datang menyerbu dengan berbagai macam kekuatannya, semakin tinggi pohon itu maka angin yang menerpanya semakin kuat. “pohon pohon kesepian” frase ini mengingatkan saya bahwa hakikatnya manusia itu sendiri dan berteman kesepian meskipun di dunia yang hirukpikuk namun manusia tetap saja merasa sepi. Disinilah anehnya kita sebagai manusia menyukai keheningan untuk menjernihkan pikiran dan menggunakannya secara positif. Lalu diperkuat dengan “juga langit tiba tiba bisu saja” dapatkah kita bayangan jika saat itu kita tidak bisa mendengar satu apapu saking khusuknya kita menikmati keheningan. Ya, semua dalam keadaan sepi dan sunyi. Buat apakah kita berada dalam puncak hening itu, Eska menjawab, “sementara perkacapan kita bertabrakan di udara.” Jawaban yang sungguh mengejutkan, metafora yang sederhana namun sempat membuat kita kebingungan, ya selayaknya kita adu mulut mulut atau bercakap-cakap dengan orang lain, maka lewat medium udaralah kita dapat mendengarkan suara tersebut. Namun dalam hal ini karena ku lirik dalam keadaan sendiri dan mengadu kepada kepada Tuhannya dalam keheningan, maka percakapan atau komunikasi itu dalam bentuk doa. Doa ku lirik mengetarkan udara di sekelilingnya karena terlalu hening, menggetarkan hatinya karena kekhusukan.

Lalu pada bait kedua kita diajak Eska untuk menjelajahi dan mengingatkan kepada saya tentang betapa kecilnya manusia di hadapan Tuhan, betapa tidak berartinya ilmu manusia dibandingkan pengetahuan Tuhan, seumpama setetes air dibanding lautan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya,

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (QS Al-Khafi: 109)

Selain hal itu Eska juga menjaga rima akhir kata pada awal bait kedua aku dan kau adalah kisah tentang laut. rindu risau taut menaut/ seperti pasang laut, seperti kabut, juga arus surut/ letih disana tersangkut. Dalam hal ini Eska juga memberikan renungannya bahwa pikiran, imantakwa dan jiwa manusia itu ibaratnya lautan adakalanya pasang adakalanya surut serta juga kadang tidak dapat ditebak karena kesuraman (seperti kabut). Penyebabnya ada banyak hal, diantaranya—yang dapat saya baca dalam puisi ini—adalah kegelisahan akan rindu kepada Tuhan. Ya, saya sendiri pun kadang selalu gelisah dan berharap agar segera bertemu dengan Tuhan, namun saya belum cukup bekal untuk segera menemuinya (hehe takutnya nanti ditolak dan dilempar ke neraka). Memikirkan dan menggelisahkan hal itu kadang manusia manusia merasa letih dan ingin mengadu kepada Tuhan, kita pun mencari tempat yang bisa meredamkan kegalauan (istilahnya sekarang) yang mendera hati kita. Lalu tempat yang seperti apakah yang kita cari menurut pandangan Eska?

Pertanyaan kita akan tejawab pada larik selanjutnya terkapar di perahu kecil, di tambatan/ yang mati. angin tak singgah, tak meleraikan waktu/ atau sesuatu. antara semua, kita adalah yang paling sunyi. Wadah atau tempat yang unik menurut saya, perahu kecil jika bagi para nelayan akan menggunakannya untuk pergi ke lautan yang luas demi mencari ikan. Jika dalam pencarian manusia, ibadah adalah perahu kecil untuk menuju kehidupan yang abadi nantinya, perahu kecila adalah amal kita yang akan mengantarkan kita menemui kekasih kita—Allah SWT. Serta kita pun harus menambatkan hati kita pada tiang yang kuat yaitu shalat lima waktu. Shalat lima waktu merupakan hukum paten tidak dapat ditawar lagi dan wajib dikerjakan oleh semua orang yang beragama Islam sebab shalat adalah tiang agama. Apapun yang terjadi (kecuali kita telah mati dan dalam keadaan darurat) shalat lima waktu tidak dapat ditawar waktunya. Intinya, bait ini mengajak kita untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya dengan mengukuhkan shalat lima waktu dan berama kebaikan—ibadah.

Sebagai bait penutup Eska kembali lagi mengajak kita merenung dalam hati kita yang putih dan suci, pernah aku berbaring di pasir putih/ di sekelilingku, manusia membariskan kata kata/ dan untukmu: rindu, terasing sendirinya. Dalam bait ini kita sepertinya tidak sendiri lagi karena kita telah melihat manusia-manusia yang lainnya juga melakukan hal sama dengan kita—berdoa kepada Illahirobi. Semua manusia memang merindukan Rahman dan Rahim-Nya menuju kerinduan abadi, saat kita semua telah terasing sendiri-sendiri dan tidak ada penolong kecuali Dia dan amal kia sewaktu hidup.  Namun diksi di sekelilingku, manusia membariskan kata kata ini seakan mematahkan bait pertama berlawanan sekali ya, padahal tadinya ku lirik hanya sendirian tiba-tiba banyak dikelililingi oleh manusia, dan juga bertentangan dengan judul, sebab ku lirik melakukan pengamatan itu di pinggir masjid, bukan ditengahnya.

Demikian apresiasi saya, puisi ini memang mengandung unsur keberanian seorang Eska untuk menabrak konvensi tata tulis bahasa. Namun bukan untuk menyesatkan, justru mengajak kita untuk berpikir lebih agar kita dapat mengenal Eska yang sebenarnya. Puisi Eska ini juag kemungkinan lahir dari kesedihan namun karena ramuannya yang manjur, kesedihan itu seperti terhapus begitu saja—tidak terlihat bila tidak menyelami. Buat Eska, saya akan menunggu karyamu yang lebih memabukan lagi (hehe).

LA, 03 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar